Fatwafikih.com

Friday, May 16, 2025

Tafsir Surat Hud Ayat 6 : Rezeki Jaminan Allah


Musa, sang Nabi, pun gelisah. Khawatir akan nasib dan rezeki keluarganya. Bukan karena kurang iman, tapi karena ia juga manusia. Ketika wahyu pertama kali mendatangi Musa, kata Imam Fakhruddin Ar Razi, yang datang lebih dulu bukanlah rasa lega, melainkan kegelisahan: bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan nasib anak-istriku, ketika aku harus berhadapan dengan Firaun?   Lalu datang perintah itu, pukul batu. Allah memerintahkan sang Musa, memukul batu yang ada di hadapannya. Ia pukul. Batu itu terbelah. Ia temukan batu lain. Ia pukul lagi. Terbelah lagi. Lalu ada batu ketiga. Ia hantam lagi.   Dari celah yang terkikis itu, keluar seekor ulat mungil, terlalu kecil untuk dipertimbangkan dalam diskusi politik, terlalu remeh untuk dimasukkan dalam wacana ekonomi. Tapi makhluk itulah yang membuat Musa tercenung. Karena ulat itu hidup. Dan ada sesuatu yang mengalir ke mulutnya. Itu makanan si ulat. 


Di sana, di tempat yang paling tersembunyi dan paling tak mungkin dijangkau oleh logika statistik atau peta logistik manusia, hidup sesuatu yang diyakini tak pernah luput dari perhatian Tuhan. Ulat itu, mendapatkan rezeki. Makanan dari Allah. Lalu Allah membuka pendengaran Musa. Ia dengar suara si ulat:  

 سُبْحَانَ مَنْ يَرَانِي، وَيَسْمَعُ كَلَامِي، وَيَعْرِفُ مَكَانِي، وَيَذْكُرُنِي وَلَا يَنْسَانِي 

Artinya, “Maha Suci Dzat yang melihatku, yang mendengar ucapanku, yang mengetahui tempat keberadaanku, yang mengingatku dan tidak pernah melupakanku.” (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: darul Turats Al-Arabi,1420 H] Jilid XVII, halaman 318). 

Sejatinya, Al-Qur'an sudah mengingatkan manusia jauh-jauh hari; tidak ada makhluk di bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya. Allah berfirman dalam surat Hud ayat 6:   

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَاۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ ۝٦  


Artinya, "Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)."   Siapa yang Dijamin Rezekinya oleh Allah? Kata “makhluk merayap/hewan yang bergerak” dalam ayat itu dalam bahasa Arab disebut dābbah. Kata yang terdengar asing di telinga modern kita, namun akarnya dalam bahasa Arab klasik mengandung gerak yang halus dan lambat, dabīb, artinya: bergerak perlahan, merayap, mengendap. Baca Juga Cara Mudah Memperoleh Rezeki dan Kemapanan Hidup   Az-Zajjaj, seorang ahli bahasa, menyebut bahwa dābbah bukan semata makhluk melata. Ia mencakup semua yang bernyawa. Bahkan manusia. Tapi manusia, seperti biasa, punya kecenderungan untuk memisahkan dirinya dari dunia. Dalam tradisi Arab, dābbah kerap dibatasi: kuda, misalnya. Yang ditunggangi. Yang dikendalikan.   Tapi para mufasir tahu bahwa kitab tak bicara dalam bahasa bangsa tertentu. Ia melampaui adat. Maka dābbah, dalam ayat-ayat tertentu, adalah semua makhluk yang hidup, di darat, di laut, di gunung. Bahkan di laboratorium genetik, atau di bawah mikroskop. Mereka semua, kata Imam Fakhruddin Ar-Razi, termasuk dalam cakupan yang Dia ketahui satu per satu: cara hidupnya, makanannya, bahkan racunnya.

Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam tafsir klasiknya Mafatihul Ghaib, menulis panjang lebar tentang istilah ini. Ia menjelaskan bahwa dalam kebiasaan masyarakat Arab, dābbah kadang dikhususkan bagi kuda. Namun dalam konteks ayat, ia mencakup seluruh hewan yang berjalan, melata, atau merayap.  

Dan Tuhan, kata Ar-Razi, mengetahui segala sesuatu tentang makhluk-makhluk itu: jumlah mereka, bentuk tubuh mereka, racun yang mereka miliki, makanan yang mereka telan, tempat tinggal yang mereka diami. Tuhan tahu apa yang cocok dan tak cocok untuk tiap-tiap makhluk. Dan jika Tuhan tahu segala itu, apakah manusia bisa merasa lebih tahu tentang dirinya sendiri?   Manusia, dalam keangkuhan eksistensialnya, seringkali menempatkan dirinya di luar sistem ini. Seolah-olah ia makhluk anomali: berdiri tegak, punya kehendak, bisa memilih; karenanya ia tak terikat jaminan Tuhan seperti semut atau ulat. Ia gelisah. Ia cemas. Ia menatap layar notifikasi dengan jantung yang melonjak, ada lowongan kerja, ada invoice belum dibayar, ada cicilan yang menunggu.   Dalam dunia kapitalistik yang dipenuhi tabel Excel dan jam lembur, kita lupa bahwa bahkan ulat pun tak pernah bangkrut. Bahkan seekor semut di bawah jembatan layang pun diberi rezeki, meski tak pernah sekolah bisnis. Simak penjelasan Imam Fakhruddin Razi berikut; 

الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: قَالَ الزَّجَّاجُ: الدَّابَّةُ اسْمٌ لِكُلِّ حَيَوَانٍ، لِأَنَّ الدَّابَّةَ اسْمٌ مَأْخُوذٌ مِنَ الدَّبِيبِ، وَبُنِيَتْ هَذِهِ اللَّفْظَةُ عَلَى هَاءِ التَّأْنِيثِ، وَأُطْلِقَ عَلَى كُلِّ حَيَوَانٍ ذِي رُوحٍ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، إِلَّا أَنَّهُ بِحَسَبِ عُرْفِ الْعَرَبِ اخْتُصَّ بِالْفَرَسِ، وَالْمُرَادُ بِهَذَا اللَّفْظِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْمَوْضُوعُ الْأَصْلِيُّ اللُّغَوِيُّ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ الْحَيَوَانَاتِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْمُفَسِّرِينَ، وَلَا شَكَّ أَنَّ أَقْسَامَ الْحَيَوَانَاتِ/ وَأَنْوَاعَهَا كَثِيرَةٌ، وَهِيَ الْأَجْنَاسُ الَّتِي تَكُونُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَالْجِبَالِ، واللَّه يُحْصِيهَا دُونَ غَيْرِهِ، وَهُوَ تَعَالَى عَالِمٌ بِكَيْفِيَّةِ طَبَائِعِهَا وَأَعْضَائِهَا وَأَحْوَالِهَا وَأَغْذِيَتِهَا وَسُمُومِهَا وَمَسَاكِنِهَا، وَمَا يُوَافِقُهَا وَمَا يُخَالِفُهَا، فَالْإِلَهُ الْمُدَبِّرُ لِأَطْبَاقِ السموات وَالْأَرَضِينَ وَطَبَائِعِ الْحَيَوَانِ وَالنَّبَاتِ، كَيْفَ لَا يَكُونُ عَالِمًا بِأَحْوَالِهَا؟   

Artinya; "Menurut Az-Zajjaj, istilah dābbah (dabbah) secara bahasa merujuk pada setiap makhluk hidup, karena kata tersebut berasal dari akar kata dabīb, yang berarti ‘bergerak pelan’ atau ‘merayap’. Bentuk katanya dibangun dengan akhiran ta ta'nis, namun penggunaannya dalam bahasa Arab mencakup semua makhluk bernyawa, baik jantan maupun betina. 

Meski begitu, dalam kebiasaan masyarakat Arab, kata dābbah sering kali diidentikkan dengan kuda. Namun dalam konteks ayat yang dimaksud (yakni dalam tafsir Al-Qur’an), para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud dengan dābbah adalah makhluk hidup dalam pengertian bahasa yang umum. Artinya, kata tersebut mencakup seluruh hewan, tanpa terkecuali.   Tak bisa dimungkiri bahwa jenis dan spesies hewan sangatlah beragam, mencakup makhluk hidup yang tinggal di daratan, lautan, dan pegunungan. Hanya Allah yang mengetahui seluruh jumlahnya secara pasti. Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui sifat alami setiap makhluk, bentuk tubuh mereka, kondisi kehidupan mereka, makanan yang mereka konsumsi, racun yang mereka miliki, tempat tinggal mereka, serta segala hal yang cocok atau tidak cocok bagi mereka.   Maka, Tuhan yang mengatur seluruh lapisan langit dan bumi, serta menciptakan sifat dasar semua makhluk hidup dan tumbuhan, tentu memiliki pengetahuan sempurna tentang segala keadaan mereka." (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: darul Turats Al-Arabi,1420 H] Jilid XVII, halaman 318)

Sementara itu, Imam Sya'rawi menjelaskan bahwa istilah dabbah mencakup seluruh makhluk yang hidup dan bergerak di permukaan bumi,  termasuk manusia. Jadi, dalam konteks ini pengertiannya lebih luas, tidak terbatas pada hewan-hewan besar saja, tetapi juga meliputi makhluk kecil seperti semut, ulat, bahkan mikroorganisme yang tak tampak oleh mata manusia. 

والدابة: كا ما يدب على الأرض، وتستخدم في العرف الخاص للدلالة على أي كائن يدب على الأرض غير الإنسان.  

Artinya; "Dan ad-dābbah (dabbah): adalah setiap makhluk yang merayap atau berjalan di atas permukaan bumi. Dalam penggunaan khusus, istilah ini digunakan untuk merujuk pada segala makhluk yang berjalan di bumi selain manusia. (Imam Sya'rawi, Tafsir Khawatirusy Sya'rawi Haulal Qur'anil Karim, Jilid X, halaman 6321). Hal ini juga dijelaskan dalam ayat lain,  surat Al-An'am ayat 38, Allah berfirman:  

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ۝٣٨ 

Artinya, "Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan."   Adapun Imam Ath-Thabari, dalam Jami‘ul Bayan, menafsirkan kata dābbah sebagai setiap makhluk hidup yang berjalan di atas bumi, yang memiliki ruh. Ini mencakup binatang darat maupun laut, dari gajah yang menggetarkan tanah hingga ulat kecil yang nyaris tak terlihat.    Namun, menariknya, ia mengecualikan burung-burung yang terbang di udara. Mengapa? Karena burung, dalam geraknya yang melayang, tak merayap dan tak menyentuh bumi sebagaimana makhluk-makhluk lain. Ia bebas dari debu, tidak bersentuhan dengan tanah, dan karena itu, dalam kategori linguistik maupun eksistensial, berada dalam zona yang lain.   Dalam ayat 64, surat Al-Baqarah Allah berfirman;   

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ

Artinya; "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan,"   Tafsir Thabari ini membawa kita ke pertanyaan yang lebih dasar: mengapa gerak menjadi dasar klasifikasi makhluk? Mengapa sesuatu yang bergerak di bumi menjadi syarat untuk disebut dābbah?   Gerak, dalam pandangan dunia Islam klasik, tidak semata aktivitas mekanik. Ia adalah tanda kehidupan, bukti bahwa sesuatu berada dalam poros takdirnya. Dalam setiap langkah kaki seekor semut, dalam setiap gesekan kaki seekor kadal di pasir padang, terdapat ketundukan kepada hukum ilahi. Ia tidak bergerak tanpa izin. Ia tidak berjalan tanpa arah. Geraknya adalah bentuk ibadah yang paling purba: tunduk tanpa bertanya.   Berbeda dengan manusia, yang, meskipun juga termasuk dābbah dalam makna umum, seringkali memberontak terhadap arah geraknya. Ia ingin mengatur ulang lintasan. Ia menolak gravitasi takdir. Ia tak puas hanya dengan merayap; ia ingin melompat, terbang, bahkan melawan arus waktu. Dalam pencarian maknanya, manusia justru sering kehilangan keutuhan geraknya. Ia terjerembab dalam absurditas: berjalan tanpa tahu ke mana, bekerja tanpa paham untuk siapa. 

Eksistensialisme modern berbicara banyak tentang absurditas hidup. Camus menulis tentang mitos Sisyphus, manusia yang dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit selamanya, hanya agar batu itu menggelinding lagi ke bawah. Tapi dalam dunia dābbah, tak ada mitos. Yang ada hanya kenyataan yang diterima: bahwa hidup memang berjalan pelan, merayap, kadang menyakitkan, namun tetap berada dalam pengawasan Tuhan. Semut tidak bertanya untuk apa ia berjalan. Ia hanya berjalan, dan karena itu, rezekinya datang.   Imam Thabari, dengan kejeliannya sebagai mufassir, menyingkap logika kosmik dari gerak yang ditetapkan. Bahwa dābbah bukan sekadar hewan, tetapi simbol makhluk yang tunduk, makhluk yang tidak melawan aliran eksistensinya. Bahkan hewan yang berjalan di kedalaman laut pun dijamin rezekinya oleh Allah. Ia tidak mengirim lamaran kerja. Ia tidak merengek kepada langit. Ia hanya bergerak dalam batas takdirnya, dan itu cukup.   Lalu bagaimana dengan manusia, yang justru resah meski diberi akal? Mungkin karena kita terlalu sibuk menafsirkan arah, sampai melupakan makna. Kita ingin memahami segalanya sebelum melangkah. Kita ingin jaminan sebelum percaya. Padahal dābbah adalah sebaliknya: ia melangkah dulu, percaya dulu, baru menerima. Dalam dunia dābbah, rezeki datang bukan karena perencanaan strategis, tetapi karena ketersambungan dengan hukum Tuhan, sebuah jaring halus tak terlihat, yang mengatur arah semut, burung, dan manusia. 

Dan mungkin, seperti kata Thabari, kita manusia tetaplah dābbah, tapi hanya ketika kita ingat cara merayap dalam kerendahan hati. Simak penjelasan Imam Thabari ini:   والدابة"، اسم لكل ذي رُوح كان غير طائر بجناحيه، لدبيبه على الأرض   Artinya; "Kata ad-dābbah (الْدَّابَّة) adalah sebutan bagi setiap makhluk yang bernyawa yang bukan termasuk burung bersayap, karena ia merayap (berjalan perlahan) di atas bumi." (Tafsir Thabari, Jamiul Bayan, Jilid III, halaman 275). Lebih jauh, ada yang menarik dari cara sebagian ulama menafsirkan kata “ʿalā” dalam ayat itu, kata yang berarti “atas.” Sebagian dari mereka, kata Imam Fakhruddin ar-Razi, menjadikannya dalil, bahwa Allah, katanya, memiliki kewajiban memberi rezeki pada setiap makhluk yang melata adalah kewajiban atas-Nya. Bahwa Tuhan, dalam hal ini, terikat.   Lantas timbul pertanyaan bagaimana bisa sesuatu menjadi “wajib” atas Dia yang tak terbatasi oleh apa pun? Imam ar-Razi menjelaskan “Itu adalah kewajiban berdasarkan janji Allah, kemurahan-Nya, dan kebaikan-Nya.” Artinya, Tuhan memang memberi, memang menjamin, memang tidak membiarkan yang melata kelaparan, tapi bukan karena Ia diwajibkan. Melainkan karena Ia menjanjikan. Dan karena Ia Maha Pemurah.   Seperti seorang ibu yang setiap pagi menyuapi anaknya. Apakah itu karena ia terikat hukum, atau karena cinta telah menjelma naluri? Mungkin cinta selalu tampak seperti kewajiban bagi mereka yang berdiri di luar lingkarannya. Tapi bagi yang berada di dalam, tak ada yang lebih bebas dari memberi.   Kita hidup di zaman yang suka menghitung. Termasuk dalam relasi dengan Tuhan. Maka lahirlah logika: kalau aku berdoa, Dia wajib mendengar. Kalau aku baik, Dia harus membalas. Kalau aku menderita, berarti ada yang salah dengan-Nya. Kita ingin Tuhan tunduk pada sistem akuntansi kosmik, seperti bank yang harus transparan. 

Tapi ayat itu, dan tafsir Imam ar-Razi, memberi pelajaran sebaliknya. Bahwa kewajiban dalam pengertian-Nya adalah bentuk tertinggi dari janji, bukan tekanan. Kita diberi bukan karena menuntut, tapi karena Allah ingin memberi. Dan yang melata pun tak tahu bahwa mereka diberi. Seekor cacing di tanah basah tak mengajukan proposal. Seekor semut di balik celah tembok tak menyusun argumen. Tapi mereka makan. Mereka kenyang. Mereka hidup.   Mereka tidak menuntut Tuhan untuk "wajib." Mereka hanya berjalan. Dan Tuhan memberi. Mungkin inilah yang dimaksud Imam ar-Razi. Bahwa dalam kebebasan-Nya yang mutlak, Allah memilih untuk terikat, bukan karena Ia dipaksa, tapi karena Ia sendiri yang berjanji. Dan karena itu, rezeki tetap turun. Bukan karena Tuhan wajib memberi. Tapi karena Tuhan adalah Pemberi itu sendiri. 

الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: تَعَلَّقَ بَعْضُهُمْ بِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى اللَّه تَعَالَى بَعْضُ الْأَشْيَاءِ بِهَذِهِ الْآيَةِ وَقَالَ: إِنَّ كَلِمَةَ (عَلَى) لِلْوُجُوبِ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ إِيصَالَ الرِّزْقِ إِلَى الدَّابَّةِ وَاجِبٌ عَلَى اللَّه. وَجَوَابُهُ: أَنَّهُ وَاجِبٌ بِحَسَبِ الْوَعْدِ وَالْفَضْلِ وَالْإِحْسَانِ 

Artinya, "Masalah Kedua: Sebagian orang berpegang pada ayat ini untuk menyatakan bahwa ada beberapa hal yang wajib atas Allah Ta'ala, dan mereka berkata: Kata "على" (ala, atas) menunjukkan kewajiban, dan hal ini menunjukkan bahwa menyampaikan rezeki kepada makhluk melata adalah kewajiban atas Allah. Jawabannya: Itu adalah kewajiban berdasarkan janji Allah, kemurahan-Nya, dan kebaikan-Nya." (Tafsir Mafatihul Ghaib, Jilid XVII, halaman 319). Imam Al-Qurthubi, dalam tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, menyebut kata "ma" di situ adalah penafian mutlak, dan "min" mempertebal makna. Seakan hendak berkata: tidak ada satu pun, tidak satu pun yang luput dari perhatian Allah. Dalam semesta makhluk yang berjalan, merayap, melata, semuanya, tanpa kecuali, mendapat jatah rezeki dari sang pemilik alam semesta.   Namun rezeki, seperti juga nasib, tak selalu hadir dalam bentuk yang sama. Mujahid, seorang ahli tafsir dari generasi awal, menyebut bahwa semua rezeki datang dari Allah. Tapi sebagian mufasir menambahkan catatan; jaminan itu bukan kewajiban atas Diri Tuhan. Rezeki karunia. Bukan kontrak. Tak ada yang bisa memaksa kemurahan-Nya. Bila diberi, itu karena Allah ingin memberi. Bila ditunda, itu pun kehendak-Nya. Kasih yang tak pernah bisa ditakar, apalagi dituntut.   Ibarat bayi yang lahir prematur, seminggu lebih cepat dari jadwal. Ibunya belum siap menyusui. Tapi susu itu, dalam waktu singkat, tetap datang. Bukan karena bayi itu memiliki susu, melainkan karena rezeki itu, entah dari mana arahnya, mengalir kepada si bay. Rezeki, kata para ulama, tak identik dengan kepemilikan. Binatang yang makan rumput di ladang bukan berarti memiliki ladang itu. Tapi mereka tetap hidup. Tetap kenyang.   Begitu pula manusia. Rezeki tak soal harta semata.Rezeki itu luas; bisa berupa nafas. Ruh, bahkan bisa disebut rezeki. Ada yang mati sebelum makan, tapi dalam takaran Tuhan, mungkin justru nyawa itulah rezeki terbesarnya. Maka rezeki tak selalu tampak. Ia bisa berupa ilmu, bisa cahaya yang menyelinap ke hati. Bisa pengampunan, yang tak kasat mata, tapi menghidupkan batin seperti embun pagi menyentuh tanah gersang. 

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman surat Adz-Dzariyat:​​​​​​​وَفِى السَّمَاۤءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ ۝٢٢   Artinya, "Di langit terdapat pula (hujan yang menjadi sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu."   Dalam ayat ini, rezeki ada di langit, bukan di toko, bukan di kantor, bukan di rekening. Rezeki itu bukan milik. Ia semacam hak yang ditiupkan, bukan dimiliki. Maka tak ada yang bisa “merebut” rezeki orang lain. Yang makan dari harta yang bukan miliknya, tetap hanya makan rezekinya sendiri. Sebab, menurut hukum langit, rezeki tak pernah salah alamat.   Kita bayangkan satu biji gandum, tumbuh di tanah entah di mana, yang kelak akan menjadi roti bagi seseorang di kota yang jauh. Ia tak tahu dari mana datangnya. Tapi tangan Tuhan, mungkin, telah lama mengaturnya. Menggiring hujan, meniup angin, menggerakkan petani, agar roti itu sampai tepat waktu. Simak penjelasan Imam Qurthubi berikut:   قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها) " مَا" نَفْيٌ وَ" مِنْ" زَائِدَةٌ وَ" دَابَّةٍ" فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ، التَّقْدِيرُ: وَمَا دَابَّةٌ." إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها"" عَلَى" بِمَعْنَى" مِنْ"، أَيْ مِنَ اللَّهِ رِزْقُهَا، يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ، مُجَاهِدٍ: كُلُّ مَا جَاءَهَا مِنْ رِزْقٍ فَمِنَ اللَّهِ. وَقِيلَ:" عَلَى اللَّهِ" أَيْ فَضْلًا لَا وُجُوبًا. وَقِيلَ: وَعْدًا مِنْهُ حَقًّا. وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُ هَذَا الْمَعْنَى فِي" النِّسَاءِ" «١» وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ لَا يَجِبُ عليه شي   Artinya, Firman Allah Ta'ala: "Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah." Kata "mā" (ما) adalah huruf nafi (penafian), "min" (من) bersifat tambahan (zā’idah), dan kata "dābbah" (دابةٍ) berada dalam posisi marfū‘ (bermakna subjek), sehingga takdir (struktur kalimat yang dimaksud) adalah: "Dan tidak ada makhluk melata..."   Firman-Nya: "kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya", huruf ‘alā (على) di sini bermakna min (من), artinya: rezekinya berasal dari Allah. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Mujahid: "Setiap rezeki yang sampai kepadanya, maka itu dari Allah."   Ada juga yang mengatakan bahwa makna ‘alā Allāh (على الله) adalah sebagai karunia, bukan suatu kewajiban. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah janji dari-Nya yang pasti benar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya dalam surah An-Nisā’, bahwa sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak ada sesuatu pun yang wajib atas-Nya. (Imam Qurthubi, Tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub Al Mishriyah, 1964 M], Jilid IX, halaman 6).   Berdasarkan keterangan para ulama tafsir di atas, secara teologis, rezeki adalah jaminan hidup dari Allah, Zat yang Maha Memberi, yang memberi makan burung di langit dan ikan di dasar laut, bahkan kepada makhluk-makhluk yang tak pernah kita lihat atau pikirkan. Tidak ada kekuatan lain di jagat raya ini, baik di darat maupun di laut, yang mampu memenuhi kebutuhan makhluk hidup selain Dia. Setiap makhluk, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, hidup karena kehendak dan pemeliharaan Allah. Tapi faktanya, rezeki manusia tak lagi sekadar perkara hujan dan musim panen. Ia adalah perkara yang menyusuri jalur birokrasi, melewati meja-meja kekuasaan, bahkan dihitung lewat kalkulasi algoritma dalam sistem digital yang tak dikenalnya. Di sinilah rezeki kehilangan kesederhanaannya. Ia menjadi sesuatu yang—sering kali tanpa kita sadari—sangat politis. Ia hadir sebagai hak yang bisa ditunda, dibatasi, bahkan dicabut, tergantung pada siapa yang mengatur dan siapa yang diatur. Rezeki, dalam cara pandang ini, memiliki dimensi struktural dan kultural. Artinya, untuk memperolehnya, manusia harus menyelam ke dalam sistem. Ia harus bernegosiasi, bahkan bergulat, dalam pusaran politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Tidak cukup hanya bekerja keras atau berdoa khusyuk. Sebab, sebagaimana sejarah membuktikan, banyak yang tekun dan jujur tapi tetap tak mendapat bagian. Ada sesuatu yang lebih besar dari ketekunan: sistem.   Di sinilah kita harus melihat bahwa struktur ekonomi dan sistem distribusi bukan sekadar perangkat teknis, tapi arena pertarungan. Modal bukan hanya soal uang, tapi juga kuasa. Regulasi bukan hanya soal hukum, tapi juga pengetahuan siapa yang bisa menyusunnya dan untuk siapa ia ditulis.    Sumber daya, tanah, air, bahkan udara bersih, bukan lagi milik bersama, tapi telah dijadikan komoditas yang bisa dijual dan dibeli. Kekayaan pun akhirnya tersebar tidak merata, bukan karena hukum alam, tetapi karena desain sosial.   Di sisi lain, budaya kerja dan etika bisnis tak bisa dilepaskan dari nilai. Di sini agama, filsafat, bahkan mitos, punya andil. Cara kita memperlakukan rezeki, apakah dengan rasa syukur atau kerakusan, adalah cerminan dari nilai-nilai yang kita anut. Tapi nilai-nilai pun bukan entitas yang netral. Ia dibentuk, diwariskan, bahkan dipolitisasi. Maka tidak heran bila dalam satu sistem, keserakahan bisa disulap menjadi keunggulan, dan dalam sistem lain, kesederhanaan dianggap kemunduran. Kita sering bicara tentang rezeki seolah itu hanya urusan pribadi. Seolah cukup dengan usaha dan doa. Padahal rezeki adalah juga perkara kolektif. Ia dipengaruhi oleh siapa yang menguasai tanah, siapa yang bisa masuk ke pasar, siapa yang boleh mendirikan toko. Ia bukan hanya milik individu, tapi juga hasil dari kesepakatan, konflik, dan kadang-kadang ketidakadilan. Maka ketika seseorang lapar, mungkin yang perlu ditanyakan bukan hanya “kenapa dia tidak bekerja?”, tapi juga “sistem macam apa yang membuat ia tak bisa bekerja?”   Sistem itulah yang menentukan rezeki. Tapi sistem juga tidak turun dari langit. Ia dibangun, disusun, dan dijalankan oleh manusia, atau lebih tepatnya, oleh segelintir manusia. Dan ketika sistem dibangun tanpa suara mereka yang miskin dan terpinggirkan, maka rezeki menjadi barang langka bagi sebagian besar. Ia menjadi hak istimewa yang hanya bisa dinikmati oleh yang punya akses dan koneksi. Selebihnya hidup dari sisa-sisa: remah roti dari meja para pemilik modal. Mungkin inilah yang membuat kita harus berpikir ulang. Tentang bagaimana rezeki diceritakan. Tentang bagaimana ia diajarkan di sekolah, di mimbar agama, dan dalam media. Apakah ia semata-mata soal keberuntungan atau soal strategi? Apakah ia milik semua orang atau hanya yang "layak"? Di sinilah kita melihat bahwa narasi tentang rezeki pun tidak netral. Ia bisa dijadikan alat penghibur, tapi juga alat perlawanan.   Sebab pada akhirnya, rezeki bukan hanya soal makan hari ini. Ia adalah juga soal keadilan. Ia menyentuh hak hidup, hak memilih, hak menentukan arah hidup. Dan ketika rezeki dikendalikan oleh segelintir, maka kemiskinan bukan lagi takdir, tapi akibat. Akibat dari sistem yang dibangun bukan untuk semua, tapi untuk sebagian. Dalam situasi seperti ini, membicarakan rezeki adalah juga membicarakan perlawanan: terhadap struktur yang timpang, terhadap budaya yang membenarkan ketimpangan itu.   Dan barangkali di sanalah letak kemuliaan manusia. Bukan hanya karena ia mampu bertahan hidup, tetapi karena ia mampu membentuk dan mengubah sistem. Karena ia bisa berkata bahwa rezeki bukan hanya perkara nasib, tapi perkara bersama.    Sebab manusia hidup bukan dari alam semata, tetapi dari harapan akan tatanan yang lebih adil. Sebuah tatanan di mana rezeki bukan milik segelintir, tapi milik bersama. Sebab yang paling mulia, adalah mereka yang tak hanya makan dari bumi, tapi juga menjaga agar bumi bisa memberi makan kepada semua.   Dengan demikian, ayat ini menjelaskan segala sesuatu telah Allah catat dan atur dengan pengetahuan dan kehendak. Tak ada yang terlupakan, tak ada yang luput. Bahkan rezeki seekor nyamuk telah tertulis jauh sebelum ia lahir. Sejatinya, bagi manusia modern yang sering dibayang-bayangi kekhawatiran masa depan, ayat ini adalah pelipur lara dan peneguh iman. Selama manusia terus berusaha, bertawakal, dan tidak zalim, maka Allah akan membuka pintu rezeki dengan cara yang tak disangka-sangka. Wallahu a'lam.   Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung.

Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/allah-menjamin-rezeki-seluruh-makhluknya-ini-penjelasan-ayat-6-surat-hud-FeFPv








Thursday, May 15, 2025

Untuk Apa Membangun Masjid Baru, Kalau Masjid Lama Masih Bisa Direhab dan Diperindah?

 


Untuk Apa Membangun Masjid Baru, Kalau Masjid Lama Masih Bisa Direhab dan Diperindah?

Angin sore menyapu halaman masjid tua di ujung kampung. Cat dindingnya mulai kusam, sebagian ubin retak, dan pengeras suara kadang-kadang mendecit nyaring tak karuan. Tapi di balik semua kekurangannya, masjid itu punya sejarah panjang. Tempat anak-anak mengaji, remaja belajar adzan, dan orang-orang tua menenangkan hati.

Sore itu, Teungku Daud, Geusyik Gampung (Kepala Desa), berdiri di pelataran masjid sambil menatap papan pengumuman. Sebuah tulisan besar tertempel:

"Musyawarah Rencana Pembangunan Masjid Baru –  Warga Diharapkan Hadir Hari Minggu"

Tak jauh dari situ, duduk dua orang yang sudah lama tak saling menyapa—Arman dan Wati. Dulu, mereka sering terlihat bersama. Kini, hanya diam dan sesekali melirik sekilas, seperti dua orang asing yang tak sengaja duduk di halte yang sama.

Cinta yang Retak

Tiga tahun menikah, dua tahun berpisah. Alasannya klise—tidak cocok. Arman bilang bahwa Wati terlalu keras kepala. Wati membalas, Arman terlalu dingin. Mereka tak pernah benar-benar bertengkar besar, tapi luka-luka kecil yang dibiarkan menumpuk membuat mereka menyerah. Tanpa suara, tanpa drama. Hanya keputusan sepihak: berpisah.

Tapi yang tidak pernah benar-benar selesai adalah rasa.

Wati masih menyimpan cangkir kesukaan Arman di dapurnya. Arman masih menyimpan syal yang pernah diberikan Wati, meski ia bilang sudah dibuang. Keduanya masih mendengar azan dari masjid yang sama, membaca Al-Qur'an yang diajarkan oleh ustaz yang sama.

Dan keduanya duduk di sana, sore itu, karena Teungku Daud memanggil semua warga untuk musyawarah. Tentang masjid tua itu.

Musyawarah dan Makna

"Masjid ini sudah tua," ujar Pak RT. "Sebagian orang ingin bangun yang baru di tanah sebelah. Lebih besar, lebih modern."

Tapi kemudian, seorang ibu tua angkat tangan. "Anak-anak saya belajar mengaji di sini. Suami saya dulu azan pertama kali di sini. Kenapa tidak kita perbaiki saja? Bukankah yang lama ini masih bisa diperindah?"

Suara lain menimpali. "Memori tak bisa dipindahkan ke bangunan baru. Mungkin yang tua ini perlu waktu dan kerja keras untuk diperbaiki, tapi bukankah itu lebih bermakna?"

Arman dan Wati saling melirik. Entah kenapa, kata-kata itu seperti menampar hati mereka.

Masjid dan Rumah Tangga

Di jalan pulang, Arman menyusul langkah Wati.

"Aku baru sadar," katanya perlahan, "kenapa orang bisa rela memperbaiki masjid tua yang mulai rusak. Karena yang lama punya sejarah. Punya kenangan."

Anisa menunduk, menahan mata yang mulai basah. "Aku juga salah. Kita terlalu cepat menyerah."

Arman mengangguk. "Mungkin… kita terlalu fokus pada retaknya ubin dan cat yang mengelupas. Kita lupa, fondasinya masih kuat."

Wati tersenyum kecil. "Untuk apa membangun masjid baru, kalau yang lama masih bisa direhab dan diperindah, ya?"

Arman membalas senyum itu. Untuk pertama kalinya setelah lama, mereka berjalan berdampingan.

Dan dari kejauhan, masjid tua itu tampak lebih hidup dari biasanya, seolah ikut tersenyum menyambut dua hati yang mulai memperbaiki dirinya sendiri.

Sunday, May 11, 2025

Sumayya binti Khayyat : Wanita Pertama yang Syahid dalam Islam



Dia adalah Sumayyah binti Khayyat, wanita mulia yang harus diteladani oleh para muslimah di era modern hari ini. 

Keteguhan imannya, Sumayyah binti Khayyat rela dan ikhals mengorbankan jiwanya demi mempertahankan imannya dalam menyembah Allah yang esa dan demi meraih keridhaan Rabbnya.

Sumayyah binti Khayyat mulanya merupakan seorang hamba sahaya yang bekerja pada Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. Kemudian Sumayyah binti Khayyat dinikahi oleh Yasir seorang pendatang dari Yaman. 

Yasir yang seorang pendatang tak ada kabilah yang melindunginya dari kezaliman, maka dari itu ia mendapatkan perlindungan dari Bani Makhzum kekuasaan Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. 

Setelah menikah Sumayyah binti Khayyat dan suaminya hidup tentram dan lahirlah dua putra bernama Ammar dan Ubaidullah.


Awal mula masuk Islam


Putra Sumayyah binti Khayyat, Amr bin Yasir, mendapat maklumat tentang agama yang penuh berkah daripada Rasulullah semasa dia masih muda. Disebabkan minat Ammar, dia pergi ke rumah Rasulullah di Arqam bin Arqam dan melihat sendiri wahyu itu turun.

Dengan penuh keyakinan Ammar bin Yasir berikrar syahadat untuk memeluk Islam dan menjadi seorang muslim dengan penuh kebahagiaan ingin menyampaikan kepada ayah dan ibunya, Sumayyah binti Khayyat dan Yasir. 

Cahaya iman ternyata juga sampai kepada Sumayyah binti Khayyat dan suaminya dari kabar gembira tersebut, keduanya mengikuti jejak putranya untuk bersyahadat dan memeluk islam.

Ada yang meriwayatkan bahwa Sumayyah adalah orang ketujuh yang memeluk Islam (Ibnu Mandah: al-Mustakhraj, 2/516).


Perjuangan Mempertahankan Agama Tauhid


Setiap kabar orang yang masuk islam pada masa itu akan diperangi dan disiksa oleh kaum kafir. Begitupun kabilah Bani Makhzum yang selama ini melindungi keluarga Yasir. Sumayyah binti Khayyat dan keluarganya kemudian ditangkap dan disiksa agar mereka kembali murtad. Mereka dijemur di padang pasir yang mataharinya sangat terik dan menyengat, tak membuat Sumayyah binti Khayyat gentar padahal usianya pada saat itu sudah tua. Sumayyah binti Khayyat juga pernah dibuang pada suatu tempat dan ditaburi pasir yang sangat panas dan dadanya diletakkan batu. 

Apa yang dilakukan Sumayyah binti Khayyat?

Dengan keteguhan iman, tak terdengar rintihan atau kesakitan hanya Ahad… Ahad…’ yang terus berulang seperti yang dilakukan Yasir, ‘Ammar, dan Bilal ketika mereka disiksa dengan siksaan yang keji.

Pada saat itu, Rasulullah yang melihat kekejaman itu berseru, 

صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

Bersabarlah wahai keluarga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak bab Mengenal Sahabat (III/383).


Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan itu semakin tegar dan kokoh keimanannya, begitupun dengan Yasir. Keteguhan ini membuat orang kafir menjadi putus asa dan membuat Abu Jahal melampiaskan lebih dalam lagi dengan menusukkan sangkur yang ada di genggamannya kepada Sumayyah

Maka keluarlah nyawa Sumayyah binti Khayyat dari raganya dengan membawa iman, membuatnya menjadi wanita pertama yang syahid dalam Islam. 



Sumber : https://muslimahwahdah.or.id/meneladani-keteguhan-iman-syahidah-pertama-sumayyah-binti-khayyat

Saturday, May 10, 2025

Hukum menggabung shalat bagi wanita yang sedang menyusui



Fatwa No.: 8609

Dari fatwa: Yang Mulia A. Dr. Nazir Muhammad Ayyad - Mufti Besar



Pertanyaan

Apa hukum menggabung salat bagi wanita yang sedang menyusui? Ada seorang ibu yang mempunyai seorang bayi perempuan, dan sering kali bajunya terkena najis karena air kencing anaknya yang masih menyusui, sehingga ia kesulitan untuk mensucikan bajunya atau mengganti bajunya setiap hendak shalat, dan ia ingin shalat berjamaah. Untuk meringankan kesusahan dan kesulitan, apa hukum Islam tentang hal ini?

Jawaban

Prinsip dasarnya adalah salat wajib harus dilakukan pada waktu-waktu yang ditentukan. Apabila ada udzur yang membolehkan penundaan shalat diawal waktunya, maka tidak ada larangan secara syariat untuk melaksanakan shalat tersebut pada waktu mana saja yang telah ditentukan oleh syariat. Terlebih lagi wanita yang sedang menyusui, ia merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari kotoran air kencing bayi yang disusuinya, atau mengganti pakaiannya setiap hendak shalat, maka dibolehkan baginya untuk menggabungkan dua shalat, yaitu shalat Dhuhur dan Ashar atau shalat Magrib dan Isya, secara sah, yaitu shalat pertama di akhir waktunya dan shalat kedua di awal waktunya. Apabila hal tersebut terasa berat dan tidak memungkinkan sama sekali, maka ia boleh menggabungkan dua shalat tersebut tanpa mengurangi jumlah rakaatnya. Misalnya shalat Dhuhur, Ashar, dan Isya sebanyak empat rakaat tanpa menguranginya.

Tujuan hukum Islam dalam menentukan waktu mulai dan berakhirnya setiap shalat

Ditetapkan bahwa shalat wajib memiliki waktu-waktu tertentu yang harus ditunaikan; Allah SWT berfirman: 

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

{Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman pada suatu waktu yang ditentukan}
[An-Nisa’: 103]. 

Firman Allah {مَوْقُوتًا} berarti bahwa hal itu wajib dan waktunya telah ditentukan. Sebagian dari kemudahan, dispensasi, dan keringanan Islam adalah bahwa Islam telah menetapkan waktu untuk melaksanakan salat, dan telah memberikannya awal dan akhir, dan di antaranya ada waktu untuk melaksanakan salat. Maka apabila ada udzur yang membolehkan untuk menunda shalat di awal waktunya. Maka tidak mengapa untuk menunaikan shalat pada waktu kapan saja yang telah ditentukan/dibatasi waktunya menurut syariat.

Syariat didasarkan pada upaya meringankan dan memudahkan urusan orang-orang yang bertanggung jawab dan menyingkirkan kesulitan dan kesukaran dari mereka. Allah SWT berfirman: “ Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesempitan bagi kamu .” (Al-Baqarah: 185). Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang mudah dan penuh toleransi .” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Maksud dan tujuan hukum Islam di balik ini adalah untuk mendorong manusia agar tekun melaksanakan kewajiban tanpa gangguan, tanpa kesulitan atau kelalaian dalam melaksanakannya. Imam Al-Shatibi berkata dalam Al-Muwafaqat ketika menjelaskan hikmah menghilangkan kesulitan dari orang yang wajib (2/233, red. Ibnu Affan): [Ketahuilah bahwa kesulitan itu dihilangkan dari orang yang wajib karena dua sebab: Pertama, karena takut terputus dari jalan, benci terhadap ibadah, dan benci terhadap kewajiban. Makna ini mencakup rasa takut mendatangkan kerusakan pada dirinya baik jasmani, rohani, harta benda, maupun kondisinya. Yang kedua: Takut tidak mampu dalam berlomba-lomba menunaikan berbagai kewajiban seorang hamba, seperti mengurus keluarga dan anak, dengan kewajiban-kewajiban lain yang datang mengiringi. Barangkali dengan menyelidiki beberapa karya tersebut, perhatian mereka akan teralihkan, dan akan menyingkirkan orang yang didakwa tanpa karya tersebut, dan barangkali ia ingin memaksa kedua belah pihak untuk membesar-besarkan penyelidikan mereka, jadi ia menyingkirkan mereka.


Hukum menggabung shalat dan syarat-syaratnya menurut para Ulama

Salah satu wujud kemudahan dan keringanan dalam memutuskan perkara adalah dibolehkannya menggabungkan shalat, yang telah diputuskan oleh mayoritas fukaha dari madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, tanpa batasan tempat dan waktu. Ulama Hanafi berbeda pendapat dalam hal ini, mereka berkata: Tidak halal menggabungkan dua shalat di waktu salah satunya karena suatu uzur, baik ketika sedang bepergian maupun di rumah, kecuali pada hari Arafah dan Muzdalifah.

Imam Al-Kasani Al-Hanafi berkata dalam “Bada’i’ Al-Sanai’” (1/126, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): [Tidak boleh menggabungkan dua shalat wajib pada salah satunya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Maka boleh menggabungkan shalat zuhur dan ashar pada waktu shalat zuhur di Arafah, dan shalat magrib dan isya pada waktu shalat isya di Muzdalifah. Para perawi yang meriwayatkan tentang ritual-ritual Rasulullah saw, semoga Allah memberkahi beliau dan keluarganya serta memberi mereka kedamaian, sepakat bahwa beliau melakukan hal itu. Tidak boleh menggabungkan shalat dengan alasan bepergian atau hujan.] 

Adapun mayoritas ulama yang memperbolehkan shalat jamak secara umum tanpa dibatasi tempat dan waktu, memiliki uraian yang rinci tentang masalah ini. Berikut uraiannya: Madzhab Maliki memperbolehkan menggabungkan shalat ketika bepergian dengan shalat di rumah ketika hujan, berlumpur, gelap, atau sakit, demikian pula di Arafah dan Muzdalifah.

Syekh Ad-Dardir Al-Maliki berkata dalam Al-Sharh Al-Kabeer (1/368, dan Hasyiya Al-Dasuqi merupakan komentarnya, yang diterbitkan oleh Dar Al-Fikr): [Dan ketika ia mengakhiri pembahasannya tentang qashar shalat ketika bepergian, ia berbicara tentang menggabungkan dua shalat yang waktunya sama. Ada enam sebab yang dapat dijadikan alasan untuk menggabungkannya: bepergian, hujan, lumpur yang gelap, penyakit, Arafah, dan Muzdalifah.] 
Adapun madzhab Syafi’i memperbolehkan shalat jamak ketika bepergian jauh dan ketika bermukim di suatu tempat ketika hujan turun, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab.

Al-Khatib al-Sharbini al-Syafi’i berkata dalam “al-Iqna’” (1/175-176, ed. Dar al-Fikr): [Kemudian ia melanjutkan untuk menggabungkan shalat di tengah hujan dan berkata: (Hal itu dibolehkan bagi hadhir) maksudnya orang yang tidak sedang bepergian atau mukim (di tengah hujan) bahkan jika hujan itu lemah (bukan hujan lebat) sehingga membasahi pakaian dan yang seperti salju yang mencair dan hujan es (untuk menggabungkan) apa yang digabungkan dalam perjalanan bahkan jika shalat Jumat dengan shalat Ashar... Al-Syafi’i berkata seperti Malik: Saya melihat hal itu di tengah hujan dan tidak boleh menundanya; Karena turunnya hujan tidak mendatangkan kepada berjamaah, karena bisa saja berhenti, sehingga bisa ditunaikan di luar waktunya tanpa ada uzur, tidak seperti safar... Catatan: Telah dipelajari dari masa lampau bahwa tidak ada gabungan kecuali dalam safar dan semisal hujan, seperti penyakit, angin, kegelapan, ketakutan, dan lumpur, dan ini adalah fakta yang diketahui; Karena tidak pernah diriwayatkan dan tidak bertentangan dengan berita-berita zaman kecuali dengan keterangan yang jelas. Telah diriwayatkan dalam Al-Majmu’ dari sebagian sahabat kami bahwa hal itu dibolehkan dengan yang tersebut di atas. Ia berkata: “Ia sangat kuat terhadap penyakit dan lumpur, dan ia memilihnya di “Al-Rawdah”, namun ia memaksakannya terhadap penyakit, dan Ibnu Al-Maqri mengikutinya.”

Imam Nawawi meriwayatkan dari sebagian sahabatnya bahwa dibolehkan menggabungkan shalat dalam keadaan sakit, gelap, angin, ketakutan, dan lumpur. Beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu sebagai hujjahnya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, menggabungkan shalat di Madinah, tanpa takut dan tanpa hujan.” Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat: “Rawdat al-Talibin” oleh Imam al-Nawawi (1/401, Islamic Office ed.), dan lihat “al-Majmu’” oleh Imam al-Nawawi (4/383-384, Dar al-Fikr ed.).

Ulama Hambali telah menguraikan dalil-dalil yang membolehkan shalat jamaah, mereka menyebutkan delapan dalil yang membolehkan shalat jamak, yaitu: musafir yang melakukan safar yang pendek, orang sakit yang jika tidak shalat secara jamak akan terasa berat, wanita yang sedang menyusui, orang yang memiliki uzur seperti wanita yang istihadah, orang yang tasalsul baul (kencing yang tak putus-putus), berangin terus menurus, orang yang luka yang darahnya tidak berhenti, orang yang tidak mampu bersuci dengan air dan tidak bertayammum setiap kali shalat, orang yang tidak mampu mengetahui waktu, dan orang yang memiliki uzur atau pekerjaan yang membolehkan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah, seperti orang yang khawatir terhadap diri mereka atau sibuk dengan pekerjaan yang dapat membahayakan rezekinya.

Imam Ibnu Najjar al-Futuhi berkata di dalam teks “Muntaha al-Iradah” (1/334-335, terbitan Mu’assasat al-Risalah): [Dibolehkan menggabungkan shalat Dhuhur dan Ashar dengan dua shalat Isya di waktu salah satunya... bagi orang yang bepergian jauh yang dapat mengqadha shalat, bagi orang sakit yang berat meninggalkannya, bagi wanita yang sedang menyusui karena kesulitan karena sering bersuci dari najis, bagi wanita yang sedang istihadah dan semisalnya, bagi orang yang tidak mampu bersuci dan tidak mampu bertayammum pada setiap shalat, atau tidak mampu mengetahui waktu, seperti orang yang buta dan semisalnya, dan bagi orang yang memiliki uzur atau kesibukan yang memungkinkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah]

Hukum Menggabungkan Shalat Bagi Wanita Menyusui yang Kesulitan Mensucikan Pakaiannya

Seorang wanita yang sedang menyusui dan merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari najis akibat kencing bayi yang disusuinya, dan ia ingin menjaga shalatnya, maka dalam syariat ada yang menghilangkan kesulitan tersebut darinya, melalui perluasan yang telah ada dalam madzhab para fukaha yang terhormat. Berikut penjelasannya secara berurutan:

Pertama, ia boleh mengerjakan dua shalat sekaligus secara sah, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, yakni shalat pertama di akhir waktu dan shalat kedua di awal waktu.
Imam Abu Bakar Al-Jassas Al-Hanafi berkata dalam “Syarh Mukhtasar Al-Tahawi” (2/101, edisi Dar Al-Bashair Al-Islamiyyah): [Persoalan: Tidak boleh menggabungkan dua shalat kecuali di Arafah dan Muzdalifah kecuali dalam kombinasi formal. Abu Jafar berkata: “Menggabungkan dua shalat, baik di rumah maupun di perjalanan, bagi orang sakit adalah shalat zuhur di akhir waktunya, shalat ashar di awal waktunya, dan shalat magrib dan shalat isya. Keduanya tidak digabung pada salah satu waktu kecuali di Arafah dan Jam’.” Abu Bakar Ahmad berkata: “Dasar dari hal ini adalah firman Allah SWT: “ Sesungguhnya shalat telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman suatu ketetapan waktu yang tertentu .” Artinya, kewajiban ditentukan.

Imam Nawawi Asy-Syafi’i berkata dalam al-Majmu’ (3/22) dalam salah satu jawabannya atas hadits tentang menggabungkan shalat di Madinah tanpa khawatir dan tanpa hujan, bahwa: [Maksudnya adalah dia menunda shalat zuhur hingga akhir waktunya dan memajukan shalat ashar pada awal waktunya, sehingga bentuknya menjadi seperti shalat jamak dan bukan jamak shalat]

Dan Hanbali memiliki sesuatu yang mirip dengan itu. Dalam sebagian mereka tidak memiliki halangan apa pun untuk menunda shalat hingga dekat waktu shalat kedua, dengan tujuan menghindari kepayahan dan mencari kemudahan.

Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata dalam Al-Mughni (1/283, edisi Perpustakaan Kairo): [Hakim menyebutkan bahwa dianjurkan untuk menunda shalat zuhur dan shalat magrib ketika cuaca mendung, dan menyegerakan shalat ashar dan shalat isya ketika cuaca mendung.] Ia berkata: Ahmad rahimahullah telah menyampaikan hal ini dalam riwayat jamaah. Di antara mereka adalah Al-Marwazi yang berkata: Shalat zuhur hendaknya diundur pada hari berawan, shalat ashar hendaknya dimajukan, shalat magrib hendaknya diundur, dan shalat isya hendaknya dimajukan. Hakim menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa ini adalah saat seseorang takut terhadap rintangan dan hambatan. Hujan, angin, dan dingin membuat kita sulit keluar untuk melaksanakan salat masing-masing. Maka dengan menunda salat pertama dan menyegerakan salat kedua, kesulitan ini dapat dicegah. Karena ia keluar menemui keduanya pada waktu yang sama, sehingga memperoleh keringanan, sebagaimana diperolehnya menggabungkan dua shalat pada waktu salah satunya.

Kedua: Menggabungkan shalat tanpa mengqasarnya (memendekkan) hukumnya boleh karena kebutuhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sebagian ulama, di antaranya sebagian ulama Syafi’i dan Hambali, dan wanita yang sedang menyusui membutuhkan ini atas kesulitan yang menimpanya.

Dalil kebolehan menggabung shalat di sini adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabung shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah, tidak ketika takut dan tidak juga ketika bepergian. ” Dalam riwayat lain, dia berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabung shalat Dhuhur dan Ashar, Magrib dan Isya di Madinah, tidak ketika takut dan tidak juga ketika kehujanan. ” Keduanya diriwayatkan oleh Muslim.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fath al-Bari (2/24, edisi Dar al-Ma’rifah): [Sekelompok imam mengambil makna yang tampak dari hadits ini dan membolehkan jamak shalat dalam segala kondisi karena kebutuhan. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Sirin, Rabi’ah, Ashab, Ibnu al-Mundhir, dan al-Qaffal al-Kabir. Al-Khattabi meriwayatkannya dari sekelompok ulama hadits.]

Imam Nawawi berkata dalam Rawdat al-Talibin (1/401): [Al-Khattabi meriwayatkan dari al-Qaffal al-Kabir al-Shashi dan dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa dibolehkan menggabungkan shalat karena kebutuhan, tanpa adanya syarat takut, hujan, dan penyakit.] Ibn al-Mundhir, salah seorang sahabat kami, mengatakan hal yang sama.
Ulama Ibnu Qasim Al-Hanbali berkata dalam “Hashiyat Al-Rawd Al-Murabba” (2/396) tentang menggabungkan shalat: “Mazhab yang paling lengkap adalah madzhab Ahmad. Ia menyatakan bahwa hal itu dibolehkan karena kepayahan dan kesibukan.

Ketiga: Ulama Hambali mengkhususkan wanita menyusui dalam penyebutan tersendiri. Mereka menyatakan bahwa dibolehkan bagi wanita yang sedang menyusui, karena ia merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari najis, menggabungkan dua shalat. Mereka menganggap keadaan ini sebagai salah satu uzur yang membolehkan menggabungkan shalat.

Ulama Hambali, Al-Bahuti, berkata di dalam Kashaf Al-Qina’ (2/4, red. Alam Al-Kutub): (Dan) perkara ketiga (bagi wanita yang sedang menyusui, karena sulitnya banyaknya najis), maksudnya adalah sulitnya bersuci pada setiap shalat. Abu Al-Ma’ali berkata: Hal itu seperti orang yang sakit.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang disebutkan di atas. Sebab diumpamakan wanita menyusui yang sedang menanggung kesusahan seperti orang sakit, maka tidak ada alasan lagi setelah itu, yakni sebagaimana yang disebutkan dalam dua riwayat, kecuali sakit. Lihat: “Penjelasan tentang Berakhirnya Wasiat” oleh Al-Bahuti (1/298, ed. Alam Al-Kutub).

Perlu diketahui, meskipun wanita menyusui dibolehkan menggabungkan shalat (jamak shalat) dalam kondisi tertentu yang nampak kepayahan, namun hal ini terbatas pada jamak shalat saja, tidak sampai meng-qashar shalat. Karena telah ditetapkan bahwa mengqashar shalat merupakan keringanan yang hanya dibolehkan dalam perjalanan jauh beserta syarat-syaratnya, dan karena tidak ada perjalanan jauh (safar), maka mengqashar shalat tidak diperbolehkan.

Kesimpulan

Berdasarkan hal tersebut, dan dalam kasus pertanyaan: Prinsip dasarnya adalah bahwa shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Apabila ada udzur yang membolehkan penundaan (ta'khir) shalat setelah waktu yang ditentukan, maka boleh untuk melaksanakan shalat tersebut kapan saja selama dalam waktu yang telah ditentukan syariat. Adapun wanita yang sedang menyusui, dan ia merasa kesulitan untuk bersuci dari najisnya pakaiannya akibat kencing bayi yang disusuinya, atau untuk mengganti pakaiannya setiap kali hendak melaksanakan shalat, maka dibolehkan baginya untuk menggabungkan dua shalat, yakni shalat Dhuhur dan Ashar atau shalat Magrib dan Isya, secara sah, yaitu shalat pertama di akhir waktunya dan shalat kedua di awal waktunya. Apabila hal tersebut terasa berat dan tidak memungkinkan sama sekali, maka ia boleh menggabungkan dua shalat tersebut tanpa menguranginya. Yakni shalat Dhuhur, Ashar, dan Isya sebanyak empat rakaat tanpa menguranginya.
Tuhan Yang Maha Kuasa mengetahui yang terbaik.



Sumber : https://bit.ly/4iThDNm

Thursday, May 8, 2025

Hukum Menunda Wajib Haji Karena Alasan Merawat Ibu yang Sakit


Fatwa Nomor : 7868
oleh : Profesor Dr. Syawqi Ibrahim Alam

Pertanyaan:

Apa hukum menunda haji wajib setelah mampu menunaikannya karena alasan mengurus ibu yang sedang sakit? Ada seseorang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa kemampuan finansial dan fisik untuk menunaikan ibadah haji, namun ibunya sedang sakit dan ia tidak mampu meninggalkan ibunya sendirian, karena ia memiliki tanggungan untuk melayani dan merawat ibunya. Dia tidak memiliki siapapun selain dirinya yang mampu merawat dan mengurusi keperluan ibunya saat ini. Apakah dibolehkan baginya menunda haji sampai tahun depan atau sampai ibunya sembuh baru kemudian menunaikan haji? 

Jawaban: 

Perhatian orang tersebut kepada ibunya yang sedang sakit, pelayanannya kepada ibunya, pemenuhannya terhadap segala urusan yang dibutuhkan oleh ibunya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan posisinya, itu lebih utama baginya daripada melaksanakan ibadah haji. Maka hendaknya ia bersegera untuk menunaikan haji setelah itu pada tahun yang akan datang, selama ia mampu. Tidak ada dosa baginya dalam penundaan ibadah haji tersebut. Karena penjagaan dan perawatan tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukannya, karena tidak ada seorang pun yang dapat menjaga ibunya, dimana kewajiban menjaga dan merawat ibu akan terlewatkan jika ia pergi haji, maka itu merupakan kewajiban yang tidak dapat diulangi lagi, sehingga lebih diutamakan daripada melaksanakan ibadah haji. pergi haji termasuk amalan pendek yang manfaatnya kembali hanya kepada yang melaksanakannya. Berbeda dengan merawat ibu, yang merupakan amalan yang banyak manfaatnya karena manfaatnya kembali kepada anak (yang mengurusnya) dengan kebaikan yang banyak, pahala yang besar, dan balasan yang berlimpah. Selain itu, manfaatnya juga kembali kepada ibunya dengan sebab penjagaan, pemenuhan kebutuhan, pengobatan, dan hal-hal lainnya yang akan dirasakan oleh ibunya. Salah satu kaidah yang telah ditetapkan dalam syariat yang mulia ini adalah bahwa "المُتَعَدِّي أفضل مِن القاصر” (Amalan yang manfaatnya menjangkau banyak orang lebih utama dari amalan yang manfaatnya tidak menjangkau banyak orang)


Wajib haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya satu kali seumur hidup.


Haji merupakan salah satu rukun Islam dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu, sekali seumur hidup. Allah Ta’ala berfirman: 

  وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “ 

“Dan wajib bagi manusia melaksanakan haji ke baitullāh bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah tersebut.” [QS Ali Imran: 97]

 وعن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ، فَحُجُّوا»، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّى قَالَهَا ثَلاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم: «لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ» أخرجه الإمام مسلم في "صحيحه". 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyapa kami dan bersabda: “Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah kalian. ”Seorang laki-laki bertanya: “Setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau tetap diam hingga mengucapkannya tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku menjawab, ‘ya’, maka itu adalah wajib. Dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. ” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya). Para ulama telah sepakat bahwa haji hukumnya wajib bagi mereka yang mampu melakukannya sekali seumur hidup dan itu adalah haji Islam . Jika mereka melaksanakannya, maka kewajiban itu gugur dan mereka tidak dituntut untuk melaksanakannya lagi. Seperti dalam “Al-Ijma’” karya Imam Ibnu Al-Mundhir (hlm. 51, edisi Dar Al-Muslim), dan “Al-Mughni” karya Imam Ibnu Qudamah (3/213, edisi Perpustakaan Kairo).

Hukum menunda haji wajib setelah mampu melaksanakannya karena alasan merawat ibu yang sakit

Para ulama telah menetapkan bahwa selain kemampuan fisik dan finansial, tidak boleh ada halangan apa pun yang menghalangi orang yang wajib menunaikan ibadah haji. Salah satu kendalanya adalah merawat kedua orang tua atau salah satu dari mereka. Hal ini ditegaskan apabila orang tersebut sedang sakit, padahal tidak ada seorang pun yang merawat, melayani, dan mengurus segala urusan serta keperluannya, selain anaknya yang wajib menunaikan haji. Apabila halangan-halangan tersebut tidak ada, maka syarat wajib telah terpenuhi. Jika tidak, maka tidak, dan ini berdasarkan konsensus (ijma' ulama). Imam Al-Mawardi berkata di dalam Al-Hawi Al-Kabir (4/7, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): [Allah SWT telah mewajibkan haji atas kemampuan seseorang, dan kemampuan itu terbagi menjadi dua belas bagian: Bagian pertama, yaitu orang yang mampu secara fisik dan finansial, mampu membeli bekal dan kendaraan, mampu membiayai dirinya dan keluarganya selama perjalanan pergi dan pulang, jika ada waktu dan tidak ada halangan, maka ia wajib menunaikan ibadah haji berdasarkan konsensus (ijma’ ulama). Ulama Ibnu Qattan berkata dalam Al-Iqna (1/246-247, edisi Al-Farouq Al-Hadithah) dalam menjelaskan siapa yang wajib menunaikan haji dan siapa yang tidak: [Mereka sepakat bahwa seorang muslim laki-laki yang merdeka, berakal, dewasa, sehat jasmani, penglihatan dan sehat kedua kakinya yang membolehkan dia berjalan dan bepergian dan memiliki sesuatu/bekal yang ditinggalkan untuk keluarganya selama ia bepergian, tidak ada lautan dan tidak ada rasa takut dalam perjalanannya, dan kedua orang tuanya atau salah seorang dari mereka tidak menghalanginya, maka haji wajib baginya. Yang dimaksud kedua orang tua atau salah satu di antara mereka menghalanginhya adalah apabila salah satu atau keduanya membutuhkan anaknya untuk perawatan atau perhatian tambahan karena sakit, usia tua, atau yang semisal, sehingga ia akan kesulitan jika anaknya meninggalkannya untuk menunaikan kewajiban haji. Hal ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh dua imam: Muslim dalam Shahih-nya dan Al-Baihaqi dalam Shu’ab Al-Iman dari Imam Az-Zuhri, dia berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Abu Hurairah tidak menunaikan haji hingga ibunya meninggal dunia, karena ibunya bersamanya.” Dari Abu Hazim, “Abu Hurairah tidak menunaikan haji sampai ibunya meninggal.” Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Al-Dunya dalam “Makarim Al-Akhlaq.”


Pendapat ulama Hanafi tentang masalah ini


Para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak disunnahkan bagi seorang anak untuk menunaikan ibadah haji, jika kedua orang tuanya atau salah seorang di antara keduanya sedang membutuhkan pertolongannya maka kepergiannya menjadi makruh dan dianggap sebagai makruh tahrim, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh sebagian ulama mazhab Hanafi. Oleh karena itu, dia berdosa jika melakukan hal itu. Sebahagian mereka berpendapat (وقيل) bahwa hal itu merupakan bentuk makruh tanzih. Makruh dalam dua hal yaitu mengutamakan berbakti kepada kedua orang tua atau salah satu di antara keduanya daripada menunaikan ibadah haji. Kamaluddin bin Humam berkata dalam Fath al-Qadir (2/407, red. Dar al-Fikr): [dimakruhkan pergi haji jika salah satu dari kedua orang tuanya tidak menyukainya dan masih membutuhkan pelayannya, dan tidak makruh jika ia mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.]

Siraj al-Din Ibnu Nujaym mengatakan dalam “An-Nahr al-Fa’iq” (2/52, edisi Dar al-Kutub al-Ilmiyyah): [Orang yang hendak menunaikan ibadah haji atau Jihad hendaknya meminta izin orang tuanya; Karena makruh pergi haji bersamaan dengan ketidaksenangan salah seorang di antara mereka, padahal masih membutuhkan jasanya, tidak makruh jika ia seorang yang mandiri].

Alaa Al-Din Al-Haskafi berkata di dalam “Al-Durr Al-Mukhtar” (hal. 155, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah) ketika menjelaskan hukum-hukum yang menjadi ciri haji terkait dengan amal orang yang wajib melakukannya: [Haji bisa ditandai dengan haram, seperti haji yang menggunakan harta haram, dan bisa juga ditandai dengan makruh, seperti haji yang dilakukan tanpa izin dari orang yang harus dimintai izin]. Beliau (Alaa Al-Din Al-Haskafi) berkata (hal. 157) dalam menjelaskan sunnah-sunnah dan adab haji: [Hendaknya ia meminta izin kepada kedua orang tuanya, orang yang berutang kepadanya, dan orang yang menjaminnya] Selesai.

Ulama Ibnu Abidin berkata dalam “Radd al-Muhtar” (2/471, edisi Dar al-Fikr), mengomentarinya: [(Perkataannya: dan dia meminta izin kepada kedua orang tuanya... dan seterusnya) maksudnya: jika mereka tidak membutuhkannya, jika membutuhkan maka hal itu makruh. Begitu pula hal itu makruh tanpa izin dari krediturnya atau penjaminnya, dan nampak bahwa hal itu diharamkan; Karena hal itu tidak disukai (makruh). Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan beliau pada bagian sebelumnya mengenai contoh haji yang dibenci (makruh): “Seperti haji tanpa izin dari orang yang harus diminta izinnya.” Maka hal ini tidak termasuk sunnah dan adab.

Al-Allamah Al-Tahtawi berkata dalam tafsirnya tentang Maraqi Al-Falah (hal. 726, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): “Orang yang ingin menunaikan ibadah haji atau jihad hendaknya meminta izin kepada kedua orang tuanya. Jika ia keluar tanpa izin padahal ia membutuhkannya untuk suatu ibadah, maka ia telah berdosa. Telah disebutkan pula bahwa hal itu tidak disenangi.”

Izin ini hanya diminta dalam keadaan yang mudah, misalnya orang tua menghendaki anaknya yang menjadi tanggungan, walaupun ada orang lain yang dapat menggantikan atau mewakilinya. Akan tetapi, jika ia dituntut untuk melayani orang tua dan sangat dibutuhkan serta tidak ada orang lain yang dapat menggantikannya, maka ia harus tetap melayani. Karena haji merupakan kewajiban pribadi bagi orang yang menunaikannya sekali seumur hidup, dan berbakti kepada kedua orang tua juga merupakan kewajiban pribadi dan telah ada konsensus (ijmak ulama) tentang kewajibannya. Sebagaimana dalam “Al-Iqna’” karya ulama Ibn Al-Qattan (2/307), dan “Jami’ Al-Ulum Wal-Hikam” karya Al-Hafiz Ibn Rajab (2/820, edisi Dar Al-Salam), telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yurisprudensi bahwa “jika dua kewajiban individu terpenuhi, maka keduanya adalah untuk Tuhan, atau untuk-Nya dan manusia. Jika keduanya untuk Tuhan Yang Maha Esa, yang lebih utama dari keduanya didahulukan... dan jika dua hak itu untuk Tuhan Yang Maha Esa dan manusia, yang lebih rendah didahulukan.” Sebagaimana dikatakan Badr al-Din al-Zarkashi dalam “Al-Manthur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah” (1/340-343, ed. Wakaf Kuwait), jika kedua hak tersebut dibatasi, maka hak asasi manusialah yang diutamakan; Karena “hak-hak Tuhan Yang Maha Esa dapat ditoleransi dan diampuni, sedangkan hak-hak hamba dapat diselidiki dan disengketakan.” Seperti yang dikatakan Imam Al-Mawardi dalam “Al-Hawi Al-Kabir” (12/195).


Dalil mendahulukan merawat ibu yang sakit daripada melaksanakan ibadah Haji

Pentingnya mendahulukan merawat ibu daripada melaksanakan ibadah haji ditegaskan oleh sabda Nabi, sallahu alaihi wassalam:

لَوْ أَدْرَكْتُ وَالِدَيَّ أَوْ أَحَدَهُمَا، وَأَنَا فِي صَلَاةِ الْعِشَاءِ، وَقَدْ قَرَأْتُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، يُنَادِينِي: يَا مُحَمَّدُ، لأَجْبُتُه: لَبَّيْكَ


“Jika aku berjumpa dengan kedua orang tuaku, atau salah satu dari mereka, Walaupun aku sedang melaksanakan shalat Isya, dan aku telah membaca Alfatihah, seandainya mereka memanggilku: ‘Wahai Muhammad,’ niscaya aku akan menjawab: ‘Siap melayanimu.

Diriwayatkan oleh para imam: Ibn al-Bakhtari dalam “Amali,” al-Bayhaqi dalam “Shu’ab al-Iman,” al-Daylami dalam “al-Firdaws,” dan Ibn al-Jawzi dalam “al-Birr wa’l-Silah,” mengutipnya sebagai bukti pentingnya dan status yang besar dari berbakti kepada kedua orang tua. Dua orang ahli hadits yang mengutipnya sebagai hujjah: al-Baihaqi dalam “al-Shu’ab” (10/284, edisi Maktabat al-Rushd) dan al-Sakhawi dalam “Al-Maqasid Al-Hasanah” (hal. 551, edisi Dar Al-Kitab Al-Arabi) dalam menguatkan hadits: “ Seandainya Jurayj seorang ahli hukum, niscaya dia mengetahui bahwa mengabulkan doa ibunya lebih utama daripada beribadah kepada Rabbnya .” Syarat Al-Hafiz Al-Bayhaqi dalam Al-Sha’b adalah tidak mengutip hadits yang dipalsukan di dalamnya.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang jika ia mengabaikan orang yang ia nafkahi. ” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i dalam Al-Sunan, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dan ia telah menshahihkannya).

Maka dapat disimpulkan bahwa merawat ibu yang sedang sakit, padahal tidak ada yang merawatnya kecuali anaknya, lebih diutamakan daripada menunaikan ibadah haji, karena perawatan tersebut merupakan kewajiban di waktu yang telah ditetapkan untuk anak tersebut. Karena tidak ada orang lain yang mengurusnya. kewajiban merawat ibu akan terlewatkan jika ia pergi haji karena kewajiban merawat ibu termasuk sebuah kewajiban yang tidak dapat diulang-ulang, maka lebih didahulukan dari ibadah haji. Berbeda halnya dengan ibadah haji, jika ia tidak haji pada tahun tersebut, maka ia akan berhaji pada tahun-tahun berikutnya, karena ibadah haji termasuk kewajiban yang dapat diulang-ulang. Maka undurkan ibadah haji dari kewajiban merawat ibu yang tidak dapat diulang-ulang.

Ditambah lagi bahwa haji termasuk amalan kecil, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Al-Manthur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah” karya Badruddin az-Zarkasi (2/421), yang manfaatnya dikembalikan kepada orang yang berkewajiban (anak) dan tidak kepada siapa pun selainnya. Berbeda dengan mengurus ibu, yang merupakan amalan yang bisa ditularkan, maka manfaatnya dikembalikan kepada anak (orang yang berkewajiban) dengan kebaikan yang banyak, pahala yang besar, dan balasan yang berlimpah, dan manfaatnya juga kembali kepada ibu dengan perawatan, pemenuhan kebutuhan, pengobatan, dan lainnya.  Salah satu kaidah yang telah ditetapkan dalam syariat yang mulia ini adalah bahwa "المُتَعَدِّي أفضل مِن القاصر” (Amalan yang manfaatnya menjangkau banyak orang lebih utama dari amalan yang manfaatnya tidak menjangkau banyak orang). Sebagaimana dikatakan Al-Hafiz Al-Suyuti dalam “Al-Ashbah wa Al-Naza’ir” (hlm. 144, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah).


Kesimpulan


Berdasarkan pertanyaan di atas, maka perhatian laki-laki tersebut terhadap ibunya yang sedang sakit, pelayanannya kepada ibunya, dan perhatiannya terhadap segala urusan yang dibutuhkan oleh ibunya, bersamaan tidak ada seorang pun yang dapat menggantikannya dengan baik, maka hal tersebut lebih utama daripada kewajibannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka hendaknya ia bersegera menunaikan haji setelah itu pada tahun berikutnya, selama ia mampu. Tidak ada dosa dan dosa baginya dalam hal itu. Tuhan Yang Maha Kuasa mengetahui yang terbaik.


Sumber Dar Ifta' Mesir : https://bit.ly/3F6OUXt

Contact Form

Name

Email *

Message *