Fatwafikih.com

Tuesday, April 10, 2018

Keliru Waktu Berbuka Puasa dan Langsung Makan, Batal atau Tidak?



   

Pertanyaan :

Assalamu a'alaikum wr. wb.

Saya punya pertanyaan penting sekali, mohon dijawab. Kisahnya Ramadhan tahun lalu saya berbuka puasa salah perhitungan. Saya kira sudah masuk waktu Maghrib, ternyata jam saya kecepetan 15 menit. Terlanjur sudah makan dan minum.

Dalam hal ini apakah puasa saya batal? Ataukah saya termasuk orang yang lupa, sehingga puasa saya dianggap sah, dengan dasar orang lupa kan juga tidak batal?

Mohon penjelasan dari ustadz dan terima kasih.

Wassalam


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para ulama memang agak rinci ketika bicara tentang hal-hal yang membatalkan puasa. Mereka membedakan antara lupa dan keliru. Memang benar kalau seorang lupa sedang puasa, lalu dia makan dan minum, maka puasanya tetap sah dan tidak batal.

Sebaliknya, bila dia keliru dan menyangka sudah Maghrib padahal belum, lalu dia makan atau minum, maka puasanya dianggap batal oleh para ulama.

Kok bisa batal? Apa bedanya dengan yang di atas, bukankah lupa dan keliru sama dan sederajat?

Karena ketika makan dan minum sebelum Maghrib datang, sebenarnya Anda memang berniat membatalkannya, walaupuin hanya di dalam hati dan walaupun ternyata keliru. Tapi niat untuk membatalkannya sudah ada di hati.

Bedakan dengan lupa dan makan. Ketika Anda lupa lalu makan atau minum, pasti saat itu Anda tidak niat membatalkan puasa. Bagaimana berniat, lha wong puasanya saja tidak ingat?

Fatwa batalnya puasa orang yang keliru mengira sudah maghrib lalu makan dan minum, padahal belum masuk waktu berbuka telah menjadi kesepatakan hampir semua ulama. Bahkan empat mazhab ulama yang besar dan muktamad kompak menyatakan batalnya.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ولو تسحر على ظن أن الفجر لم يطلع فإذا هو طالع أو أفطر على ظن أن الشمس قد غربت فإذا هي لم تغرب فعليه القضاء ولا كفارة لأنه لم يفطر متعمدا بل خاطئا ألا ترى أنه لا إثم عليه

Ketika seorang makan sahur, dia menyangka bahwa fajar belum terbit, ternyata fajar sudah terbit atau dia menyangka bahwa sudah masuk waktu maghrib, ternyata belum maka dia wajib qadha, tanpa kaffarat.[1]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :

فإن ظن ان الشمس قد غربت بعيم أو بغيره فأفطر ثم ظهرت الشمس فعليه القضاء

Jika seorang menyangka bahwa matahari telah tenggelam sebab ada mendung atau lainnya, ternyata belum maka dia wajib qadha’.[2]

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :

ولو أكل ظانا غروب الشمس، فبانت طالعة، أو ظن أن الفجر لم يطلع، فبان طالعا، أفطر على الصحيح المنصوص، وبه قطع الجمهور.

Jika seorang itu makan dengan menyangka tenggelamnya matahari, ternyata belum atau menyangka bahwa fajar belum terbit, ternyata sudah terbit maka puasanya batal.[3]

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

(ولو أكل باجتهاد أولا) أي أول النهار (أو آخرا) أي آخر النهار (وبان الغلط بطل صومه

Jika seorang makan dengan menyangka bahwa fajar belum terbit, atau matahari sudah tenggelam ternyata sangkaan itu salah, maka puasanya batal.[4]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

وإن أكل يظن الغروب، ثم شك ودام شكه: لم يقض وجزم به

Jika seorang itu menyangka bahwa matahari telah tenggelam, dia masih ragu maka dia tidak harus qadha’ puasa.[5]

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

ومن ظن أنه ليل ففعل شيئا من ذلك فإذا به قد أصبح؛ أو ظن أنه غابت الشمس ففعل شيئا من ذلك فإذا بها لم تغرب -: فإن صوم كل من ذكرنا تام

Orang yang puasa dan menyangka bahwa matahari telah tenggelam padahal belum, atau menyangka bahwa fajar belum terbit padahal sudah maka puasanya sempurna (tidak batal).[6]

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA




[1] Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid hal.

[2] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 350

[3] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 2 hal. 363

[4] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 2, hal 161.

[5] Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 3 hal. 310

[6] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 4 hal. 356


Sumber: http://rumahfiqih.com/konsultasi-1433783529-keliru-mengira-sudah-maghrib-langsung-makan-batalkah-puasa-saya.html

Hukum Puasa di Bulan Rajab





Pertanyaan :


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Beberapa hari ini banyak beredar fatwa yang mengharamkan kita puasa di bulan Rajab. Sebab puasa di bulan Rajab dianggap puasa orang jahiliyah, oleh karena itu siapa yang puasa di bulan Rajab berarti dia telah meniru-niru orang kafir, menambah-nambah agama serta berbuat bid'ah. Dan perbuatan bid'ah itu semuanya sesat. Dan kalau sesat berarti masuk neraka.

Terus terang saya agak terkejut juga dengan fatwa main ancam begini. Memangnya sebegitu kakunya agama Islam ini, sampai-sampai orang mau puasa diancam-ancam masuk neraka? Memang tidak ada ulama yang bisa menjawab dengan adil dan tidak berat sebelah?

Bukan apa-apa, sebab di kampung saya para kiyai dan guru mengaji malah mengajurkan kita mengamalkan amalan-amalan tertentu di bulan Rajab ini. Tentu mereka punya dalil juga, kan?

Jadi mohon buat Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.,MA beri kami pencerahan terkait dengan urusan amalan-amalan di bulan Rajab ini. Apakah memang hukumnya cuma bid'ah melulu, ataukah ada juga pendapat yang berbeda?

Demikian dan syukran jazila.

Wassalam



Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya masalah puasa di bulan Rajab itu bukan masalah yang disepakati kebid'ahannya. Memang benar banyak sekali beredar fatwa-fatwa yang membid'ahkan, tetapi kalau kita perhatikan sekian banyak fatwa itu, isi dan sumbenya cuma sebatas itu-itu saja.

Padahal sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagian kalangan menetapkan bahwa hukumnya sunnah, sebagian lagi bilang makruh dan ada juga yang bilang haram atau bid'ah. Berikut ini petikan fatwa-fatwa mereka yang berbeda-beda.

1. Bid'ah

Ada beberapa fatwa dari para ulama khalaf (kontemporer) yang mengatakan bahwa puasa di bulan Rajab hukumnya bid'ah. Diantaranya fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan juga Syeikh Shalif Fauzan. Kebanyakan dari mereka inilah berbagai situs dan tulisan di internet yang membid'ahkan puasa Rajab itu mengambil sumber tulisan.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (w. 1420 H) ketika ditanya terkait dengan berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab menjawab di dalam kitabnya Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi sebagai berikut :

تخصيص هذه الأيام بالصوم بدعة فما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم يوم الثامن والسابع والعشرين ولا أمر به ولا أقره فيكون من البدع
Mengkhususkan hari-hari itu dengan puasa adalah bid'ah. Nabi SAW tidak pernah berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab, tidak memerintahkannya dan tidak mentaqrirnya. Maka hukumnya bid'ah. [1]

Ibnu Utsaimin (w. 1421 H) ketika ditanya tentang hukum puasa pada tanggal 27 Rajab dan shalat sunnah di malam harinya, beliau pun menjawab sebagaimana yang tertuang di dalam kitabnya Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai berikut :

صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة وكل بدعة ضلالة .
Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat.[2]

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan di dalam kitab Majmu' Fatawa Fadhilatusysyeikh Shalih bin Fauzan menuliskan sebagai berikut :
شهر رجب لم يثبت فيه شيء من العبادات خاص، لا صيام ولا صلاة ولا عمرة، ولا شيء خاص بشهر رجب، والذين يخصونه بعبادات؛ هؤلاء هم المبتدعة
Tidak ada landasan kuat untuk ibadah khusus di Bulan Rajab, tidak itu puasa, shalat ataupun umrah. Tidak ada yang khusus dengan bulan Rajab. Mereka yang mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah adalah tukang bid'ah. [3]

2. Makruh

Pendapat kedua hukumnya adalah makruh, yaitu pendapat dari sebagain para ulama salaf, khususnya mazhab Al-Hanabilah. Dalam hal ini fatwa kemakruhannya terwakili oleh ulama mazhab ini, seperti Ibnu Qudamah dan Al-Mardawi.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
فصل - إفراد رجب بالصوم : ويكره إفراد رجب بالصوم قال أحمد: وإن صامه رجل، أفطر فيه يوما أو أياما، بقدر ما لا يصومه كله. ووجه ذلك، ما روى أحمد، بإسناده عن خرشة بن الحر، قال: رأيت عمر يضرب أكف المترجبين، حتى يضعوها في الطعام. ويقول: كلوا، فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية
Pasal Mengkhususkan Rajab Untuk Puasa : Dan dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Imam Ahmad berkata bahwa kalau mau seseorang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari tetapi jangan puasa sebulan. Dasarnya adalah hadits riwayat Ahmad dari Kharsayah bin Al-Hurri, dia berkata,"Aku melihat Umar memukul telapak tangan orang yang mutarajjibin (puasa di bulan Rajab) sambil berkata,"Makanlah". Karena bulan Rajab itu bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah [4]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :
قوله (ويكره إفراد رجب بالصوم) هذا المذهب وعليه الأصحاب
Pendapatnya mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh. Itulah pendapat mazhab dan para pendukungnya.[5]

3. Sunnah

Sebagian besar ulama (jumhur) di luar mazhab Al-Hanabilah umumnya justru menghukumi sunnah berpuasa pada bulan Rajab. Walaupun dari sisi hadits-hadits yang tersedia banyak yang dianggap dhaif. Namun manhaj salaf yang asli dari umat ini jelas sekali, yaitu hadits shahih masih bisa dijadikan sumber rujukan, khususnya untuk fadhailul-a'mal (keutamaan).

Setidaknya jumhur ulama punya dua hujjah. Pertama, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah. Kedua, adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram (mulia). Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang bertanya kepada beliau SAW tentang puasa sunnah.

صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمْ أَشْهُرَ الْحُرُمِ
Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah 3 hari setelahnya, dan kemudian puasalah pada bulan-bulan haram”. (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

Bulan-bulan haram itu adalah Dzul-Qa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab yang menyendiri. Tetapi jelas sekali bahwa Rajab termasuk salah satu di antara empat bulan haram. Sehingga dasar berpuasa di bulan Rajab adalah hadits shahih di atas.

Adapun para ulama yang membolehkan atau malah menyunnahkan puasa di bulan Rajab antara lain Ibnu Shalah, Al-Izz Ibnu Abdissalam, As-Sututhi, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ash-Shawi, dan juga Asy-Syaukani serta masih banyak lagi yang lainnya. Mari kita lihat fatwa mereka dengan adil :

Ibnu Shalah (w. 643 H), yang juga salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyyah menuliskan dalam fatwanya, Fatawa Ibnu Shalah sebagai berikut :

لا إثم عليه في ذلك ولم يؤثمه بذلك أحد من علماء الأمة فيما نعلمه بلى قال بعض حفاظ الحديث لم يثبت في فضل صوم رجب حديث أي فضل خاص وهذا لا يوجب زهدا في صومه فيما ورد من النصوص في فضل الصوم مطلقا والحديث الوارد في كتاب السنن لأبي داود وغيره في صوم الأشهر الحرم كاف في الترغيب في صومه وأما الحديث في تسعير جهنم لصوامه فغير صحيح ولا تحل روايته والله أعلم
Tidak berdosa bagi yang berpuasa Rajab, dan tidak ada satupun ulama umat ini yang mengatakan ia berdosa dari yang kami tahu. Ya memang benar banyak ahli hadits yang mengatakan hadits-hadits rajab –secara khusus- tidak shahih. Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dadud dalam kitab Sunan-nya juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab. Sedangkan hadits nyalanya api neraka Jahannam untuk mereka yang sering berpuasa Rajab, itu hadits yang tidak shahih, dan tidak dihalalkan meriwayatkannya. Wallahu a’lam.[6]

Al-'Izz ibnu Abdissalam (w. 660 H) juga punya pendapat yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami, dimana beliau berfatwa sebagai berikut :

والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه
Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah. Bagaimana bisa puasa rajab diharamkan, sedangkan para ulama yang men-tadwin-kan syariah ini tidak satu pun dari mereka yang membenci puasa rajab tersebut. [7]

Nampaknya fatwa beliau juga senada, yaitu tindakan melarang orang berpuasa pada bulan Rajab adalah kebodohan, karena tidak ada ulama yang melarang itu.

As-Suyuthi (w. 911 H) ketika menjelaskan hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab, beliau menyimpulkan bahwa hadits-hadits itu bukan hadits palsu, melainkan sekedar dhaif. Dan tetap dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan amal. Beliau menuliskan dalam fatwanya itu pada kitab Al-Hawi lil Fatawa sebagai berikut :

ليست هذه الأحاديث بموضوعة، بل هي من قسم الضعيف الذي تجوز روايته في الفضائل
Semua hadits ini bukan palsu (maudhu'), melainkan termasuk lemah (dhaif) yang dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan (fadhail).[8]

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) dalam fatwanya yang terkumpul dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut

أني قدمت لكم في ذلك ما فيه كفاية، وأما استمرار هذا الفقيه على نهي الناس عن صوم رجب فهو جهل منه وجزاف على هذه الشريعة المطهرة فإن لم يرجع عن ذلك وإلا وجب على حكام الشريعة المطهرة زجره وتعزيره التعزير البليغ المانع له ولأمثاله من المجازفة في دين الله تعالى
Sudah saya jelaskan tentang kesunahan puasa Rajab, dan itu sudah cukup. Adapun tindakan 'ahli fiqih' ini yang terus menerus melarang orang-orang untuk puasa Rajab, itu adalah sebuah kebodohan dan bentuk pengacak-acakan terhadap syariah yang suci ini. kalau ia tidak merujuk fatwanya tersebut, wajib hukumnya bagi para hakim syariah yang suci ini untuk melarangnya dan memberikan hukuman yang keras baginya dan juga bagi orang-orang semisalnya –yang melarang puasa Rajab- karena mereka semua sudah mengacak-acak agama Allah SWT ini.[9]

Dari fatwanya kita mendaptkan kesan bahwa beliau mengecam keras mereka yang melarang umat untuk berpuasa Rajab. Konon di masa hidupnya, ada beberapa orang yang mengaku ahli agama tetapi melarang-larang puasa Rajab dengan alasan.

Imam Ash-Shawi (w. 1241 H) dari kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Bulghatus-Salik ketika menjelaskan tentang puasa-puasa sunnah, beliau memasukkan di dalamnya puasa Rajab.

وصوم رجب : أي فيتأكد صومه أيضا وإن كانت أحاديثه ضعيفة لأنه يعمل بها في فضائل الأعمال
Puasa Rajab: yakni dikuatkan (untuk kesunahan) puasa Rajab juga walaupun hadits-haditsnya dhaif, karena hadits dhaif boleh diamalkan dalam hal fadhail a’mal.[10]

Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nailul Authar mengomentari hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab sebagai berikut :

ظاهر قوله في حديث أسامة إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب
Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab.[11]

Jadi kesimpuannya bahwa puasa bulan Rajab ini memang ada kalangan yang membid'ahkannya. Pendapat ini wajib kita hormati. Namun ada juga yang tidak sampai membid'ahkannya, hanya sebatas makruh saja. Pendapat ini juga wajib kita hormati. Dan jangan lupa, ada juga pendapat yang membolehkan atau malah menyunnahkannya. Pendapat yang terakhir ini pun juga wajib kita hormati.

Tidak perlu ada yang merasa paling pintar dan paling tinggi imannya, apalagi merasa paling benar dan pendapat orang lain yang berbeda tidak perlu dijelek-jelekkan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi, jilid 11 hal. 2

[2] Ibnu Utsaimin, Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jilid 20 hal. 50

[3] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Majmu' Fatawa Fadhilatusysyeikh Shalih bin Fauzan, jilid 2 hal. 438

[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 171

[5] Al-Mardawi, Al-Inshaf, jilid 3 hal. 346

[6] Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, hal. 180

[7] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 54

[8] As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, jilid 1 hal. 419

[9] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 53

[10] Imam Ash-Shawi, Bulghatussalik, jilid 1 hal. 692

[11] Asy-Syaukani, Nailul Authar, jilid 4 hal. 292



Sumber: http://rumahfiqih.com/konsultasi-1429447399-gara-gara-puasa-rajab-dianggap-bidah-lantas-kita-masuk-neraka.html

Hukum Tayammum pada Dinding atau Kursi Pesawat




Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon izin bertanya, bolehkah kita tayammum dengan menggunakan debu-debu yang menempel di dinding atau di tembok rumah kita dan bukan dengan tanah yang sesungguhnya? Dan khususnya ketika kita sedang di dalam pesawat, apakah bisa dibenarkan media yang kita gunakan bukan tanah tetapi debu-debu yang menempel di kursi atau dinding pesawat?
Mohon penjeasalannya dan terima kasih. Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tentang media tanah yang bagaimana yang dibolehkan untuk bertayammum, para ulama ada yang mengharuskan tanah yang sesungguhnya dan bukan debu-debu yang menempel. Namun ada juga yang agak luas membolehkan tayammum pakai debu-debu yang menempel.
Kalau pun kita mau pakai pendapat yang membolehkan tayammum pakai debu itu, maka yang harus diperhatikan apakah debu itu memang betul-betul ada dan menempel di dinding rumah kita. Ini yang sebenarnya jadi masalah, yaitu biasanya tembok rumah kita seringkali dibersihkan, apalagi pesawat terbang, tentunya selalu dibersihkan. Tidak masuk akal kalau dinding pesawat dan kursinya dibiarkan kotor berdebu. Pasti para penumpang akan merasa tidak nyaman, bahkan boleh jadi bersin-bersin sepanjang perjalanan.

Sayangnya banyak orang yang kurang memperhatikan masalah ini. Sebenarnya debu yang dimaksud tidak tidak ada, tetapi tetap saja orang-orang 'berpantomim' berpura-pura lagi tayammum, padahal tidak ada medianya. Lucunya, kelakuan seperti ini luput dari perhatian kita, ditambah lagi banyak 'ustadz-ustadz' amatiran yang membiarkan saja tindakan keliru ini. Malah ikut-ikutan berpantomim tayammum ria.

Semua itu dengan catatan bahwa seandainya kita pakai pendapat yang membolehkan bertayammum dengan debu. Sementara cukup banyak ulama yang tidak membolehkan tayammum kecuali dengan menggunakan media tanah yang sebenarnya. Maka kalau kita pakai pendapat yang satu lagi ini, tentu saja sejak awal bertayammum pakai tembok rumah atau dinding dan kursi pesawat tidak sah sejak awal.

Berikut ini adalah rinciannya disusun sesuai dengan urutan masing-masing mazhab
1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Marghinani (w.593 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi sebagai berikut :

ويجوز التيمم عند أبي حنيفة ومحمد رحمهما الله بكل ما كان من جنس الأرض كالتراب والرمل والحجر والجص
Tayammum diperbolehkan dengan menggunakan semua jenis tanah seperti debu, pasir, batu dan kapur …[1]

Dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, beliau juga menuliskan sebagai berikut :
أن الصعيد اسم لوجه الأرض سمي به لصعوده والطيب يحتمل الطاهر

Sesungguhnya shoid adalah sesuatu yang ada dipermukaan tanah, dinamakan demikian karena debu itu bertebaran.[2]

Al-Qadhi Zaadah (w.1087 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur sebagai berikut :

الصعيد اسم لوجه الأرض ترابا وغيره

Shaid adalah debu yang terdapat di permukaan bumi dan lainnya.[3]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w.741 H.), salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya القوانين الفقهية sebagai berikut :

والصعيد هو التراب ويجوز التيمم بما صعد على الأرض من أنواعها كالحجارة والحصى والرمل والجص

Sha’id adalah debu, dan diperbolehkan tayammum dengan semua permukaan yang naik (lebih tinggi) dari tanah, seperti bebatuan, kerikil, pasir dan kapur.[4]

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Al-Mawardi (w.450 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya الحاوي الكبير sebagai berikut :

التيمم مختص بالترابِ ذي الغبار، ولا يجوز بما سواه من نورة أو كحل

Tayammum khusus dengan tanah yang berunsur debu, dan tidak boleh selain dari itu. [5]

An-Nawawi  (w.676 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya المجموع شرح المهذب sebagai berikut :

لا يصح التيمم إلا بتراب هذا هو المعروف في المذهب

“Tidak sah tayammum kecuali menggunakan tanah, ini adalah pendapat yang ma’ruf dalam madzhab.[6]

Al-Hishni  (w.829 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya كفاية الأخيار sebagai berikut :

وهو يقع على التّراب وعلى كل ما على وجه الأرض

Sha'id adalah yang mengandung unsur-unsur tanah dan semua yang ada di permukaan tanah (bumi). [7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Al-Khiraqi (w.334 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Mukhtshar Al-Khiraqi sebagai berikut :

يضرب بيديه على الصعيد الطيب وهو التراب

Menepukan kedua tangan pada sho'id yang suci yaitu tanah.[8]

Ibnu Qudamah (w.620 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya الكافي في فقه الإمام أحمد sebagai berikut :

ولا يجوز التيمم إلا بتراب طاهر له غبار يعلق باليد؛ لقوله تعالى: {فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه} [المائدة: 6] وما لا غبار له لا يمسح شيء منه.

Dan tidak diperbolehkan tayammum kecuali menggunakan tanah suci yang debunya dapat menempel pada tangan, berdasarkan pada firman Allah ta’ala “maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajahmu dan kedua tanganmu dengan debu itu” (al-maidah:6) dana pa yang tidak ada debunya tidak dapat digunakan untuk mengusap.[9]

Ibnu Hazm (w.456 H.), salah satu ulama mazhab Adzh-Dzhahiriyah menuliskan di dalam kitabnya المحلى بالآثار sebagai berikut :

أنه لا يجوز التيمم إلا بما نص عليه الله تعالى ورسوله - صلى الله عليه وسلم - ولم يأت النص إلا بما ذكرنا من الصعيد، وهو وجه الأرض.... وبالأرض - وهي معروفة - وبالتراب فقط فوجدنا التراب سواء كان منزوعا عن الأرض، محمولا في ثوب أو في إناء أو على وجه إنسان أو عرق فرس أو لبد أو كان لبنا أو طابية أو رضاض آجر أو غير ذلك فإنه تراب لا يسقط عنه هذا الاسم، فكان التيمم به على كل حال جائزا

Tidak diperbolehkan tayammum kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya - saw - tidak ada teks kecuali yang telah kami sebutkan bahwa So'id adalah permukaan bumi.. tanah dan debu baik yang diambil dari bumi, terbawa oleh baju, bejana, wajah manusia, pacuan kuda atau yang lainnya termasuk dalam katagori debu dan diperbolehkan untuk bertayamum dengan itu semua.[10]

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

[1] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[2] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[3] Al-Qadhi Zaadah Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur , jilid 1 hal. 39
[4] ابن جزي الكلبي القوانين الفقهية, hal. 30
الماوردي الحاوي الكبير[5] , jilid 1 hal. 237
الإمام النووي المجموع شرح المهذب[6] , jilid 2 hal. 213
[7] الحضني كفاية الأخيار, jilid 1 hal. 57
[8] Al-Khiraqi Mukhtshar Al-Khiraqi, jilid 1 hal. 15
ابن قدامة الكافي في فقه الإمام أحمد[9] , jilid 1 hal. 129
ابن حزم المحلى بالآثار [10] , jilid 1 hal. 378

Contact Form

Name

Email *

Message *