Firman Arifandi, Lc.,
Pembahasan
seputar dalil saat berbicara masalah agama, terlebih bila berbicara tentang
perihal amaliyah menjadi bahan yang sangat seru untuk dikaji. Saking serunya,
banyak yang lupa bahwa setiap perbedaan yang keluar dari ijtihad para ulama
salah satunya adalah karena dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama seolah
saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Lucunya lagi, pelajar agama
zaman sekarang melupakan sisi ini, sehingga hanya karena dalil yang dianut
berbeda dengan yang lainnya sampai-sampai menganggap dalil lain yang kontra
terhadap dalilnya dianggap lemah, salah, atau bahkan palsu, bahkan tak segan
sampai kepada tingkatan menjauhi dan memusuhi, padahal ulama zaman dahulu sudah
membuat formulasi bagaiaman jika ada dalil-dalil yang kontradiktif. Hal
tersebut dibuat supaya orang-orang di zaman ini tidak terlalu banyak berdebat
atas apa yang sebenarnya mereka belum kuasai. Penyebab Perbedaan Ijtihad Para
Ulama Menurut Ibnu Rusyd (520 – 595 H) Ibnu Rusyd menulis sebuah kitab
fenomenal berjudul Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqhtasid. Kitab ini
meskipun bukan satu-satuya kitab fiqih dengan metode komparasi antar madzhab,
namun ada kesitimewaan lain dimana dalam muqaddimahnya disebutkan bahwa tujuan
beliau menyusun kitab ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada masalah-masalah
hukum yang telah disepakati (al-muttafaq), ada pula persoalan hukum yang masih
diperselisihkan (al-mukhtalaf) lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Selain
itu untuk menunjukan adanya perbedaan di antara para mujtahid dengan cara
menyoroti prinsip dan aturan dasar (al-ushul wa al-qawa’id) yang mereka pakai
ketika syari’ah mendiamkan sebuah persoalan (al-masa’il al-maskutu ‘anha).
Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah yang terang-terangan telah
disebutkan di dalam Qur’an maupun Sunah atau yang berkaitan erat dengan dua
sumber hukum itu. Menurut Ibnu Rusyd, pada tataran inilah akan diketahui
persoalan mana yang telah disepakati (al-muttafaq ‘alaiha), dan persoalan mana
yang masih diperdebatkan di antara para ahli fiqh sejak periode sahabat sampai
berkembangnya masa taqlid. A. Boleh Tidaknya Qiyas Sedikitnya ada tiga metode
yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariah dari Nabi SAW menurut
beliau, yaitu: dari kata-katanya (lafadz), atau tindakannya (fi’l), atau
ketetapannya (iqrar). Menurut Jumhur Ulama, apabila tidak didapati dari ketiga
itu maka cara pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan qiyas atau
analogi. Namun hal ini ditentang secara tegas oleh satu golongan bernama
madzhab dzahiri. Maka ini menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan ijtihad
tersebut, yakni kebolehan Qiyas atau tidak. B. Kesimpulan Hukum dari lafadz
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada empat macam cara pengambilan hukum dari apa
yang didengar baik dari teks atau lafadz. Pertama, ungkapan umum yang dipahami
secara keumumannya (عام يحمل على عمومه). Kedua, ungkapan khusus dipahami secara
kekhususannya (خاص يحمل على خصوصه). Ketiga, ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya (لفظ عام أريد به الخاص). Keempat, ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya (خاص يراد به العموم).
Sebagai contohnya adalah: Pertama, QS. Al-Maidah ayat 3: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi.” Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa kata khinzîr
(babi) itu mencakup segala jenis babi, selama kata itu bukan kata yang memiliki
banyak makna (al-isytirâk), artinya hewan yang kebetulan mempunyai nama yang
sama (babi), seperti bulu babi, itu tidak menunjukan keharaman. Jadi yang
diharamkan itu segala jenis babi, bukan hewan lain yang meskipun memiliki nama
yang sama. Kedua, contoh ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya
tertera dalam QS. At-Taubah ayat 103: خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم “Ambillah zakat dari harta-harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka.” Para ulama telah sepakat bahwa zakat tidak
diwajibkan pada semua harta benda. Jadi kata “harta-harta mereka” (amwâlihim)
itu harus dimaknai dengan kekhussannya. Artinya tidak semua harta benda
diwajibkan untuk dizakati. Ketiga, contoh ungkapan khusus yang dimaknai dengan
keumumannya tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: فَلاَ
تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
“Janganlah mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkataan “ah”” Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa ayat di atas termasuk dalam ruang lingkup penegasan tingkat
yang lebih rendah dengan tingkat yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ).
Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian berkata “ah” saja tidak
boleh, apalagi memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras
kepada kedua orangtua. C. Perbedaan memahami perintah dan larangan Dalam
redaksi yang tertera pada Quran dan Sunnah terkadang kalimat yang menuntut
pengerjaan terhadap sesuatu menggunakan kata perintah (al-amr), kadang dengan
kalimat berita yang bermakna perintah (bishighati al-khabari yurâdu bihi
al-amr). Begitu pula dengan kalimat yang menuntut untuk meninggalkan suatu
perkara kadang menggunakan kata larangan (an-nahy), kadang juga dengan kalimat
berita yang bermakna larangan. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab
mengapa para ulama kadang berbeda pendapat terhadap suatu hukum, sebab kalimat
perintah (al-amr) itu bisa menunjukan wajib atau mandub. Atau seseorang akan
menunggu hingga ditemukan dalil yang menjelaskannya. Hal ini juga berlaku dalam
kasus kalimat larangan (an-nahy), apakah harus dihukumi haram atau makruh. D.
Lafadz Musytarak (kata-kata yang lebih dari satu arti) Al quran dan Hadist
sebagai sumber dalil utama dalam Islam, keduanya menggunakan bahasa arab, di
antara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu selain ungkapan
umum yang diamskudkan khusus dan sebaliknya tadi. Adapulan perbedaan tinjauan
lain dari segi mantuq dan mafhumnya. Sebagai contoh dalam lafadz musytarak yang
menjadi alasan perbedaan ulama dalam mengambil kesimpulan hukum adalah kata
nafyu dalam bentuk kata ينفوا dalam al Quran surat al maidah ayat 33: Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al Maidah : 33) Jumhur ulama
berpendapat, bahwa kata yunfau adalah bermakna dikeluarkan dari pemukiman atau
diasingkan, sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa maknanya adalah majazi,
sehingga difahami sebagai dipenjara. E. Perbedaan memahami dalil khitab Menurut
Ibnu Rusyd, dalil al-khitâb adalah ketika seseorang paham akan suatu kewajiban
yang berkaitan dengan suatu persoalan, maka menjadi tidak wajib terhadap hal
lain, atau sebaliknya, tidak wajibnya suatu persoalan, menjadi hal wajib untuk
persoalan lain. Contoh Nabi SAW pernah bersabda: فِي
سَائِمَةِ الْغَنَمِ الزَّكَاةُ
“Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”. Ada suatu kelompok yang
memahami hadis di atas dengan logika dalil al-khitâb sehingga membawa sebuah
kesimpulan bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib bayar zakat. F.
Perbedaan Menerima Hukum Yang Diambil Dari Perbuatan (Fi’l) Jika dalam
pembahasan lafadz semua bentuk taklifi seperti wajib, mandub, mubah, makruh dan
haram disebutkan, maka di dalam dalil fi’l ini hanya tiga bentuk saja: wajib,
mandub dan mubah, sebab semua perbuatan Nabi SAW mustahil kita hukumi makruh
atau bahkan haram. Maka menurut Ibnu Rusyd, sebagian besar umat Islam menerima
hal ini sebagai jalan mendapatkan hukum, namun sebagian kaum tidak
menyutujuinya sebab menurut mereka perbuatan Nabi SAW tidak memutuskan suatu
hukum karena tidak memiliki bentuk (al-af’alu laisat tufidu hukman idz laha
shiyagh). G. Dalil yang Seolah Bertentangan Dari semua jenis dalil yang
diungkapkan oleh para ulama baik dari bentuk lafadz, fi’l dan iqrar kelak akan
ditemukan dalil-dalil yang seolah bertentangan antara satu dengan lainnya,
sehingga hal ini juga menjadikan ijtihad para ulama dalam suatu permasalahan
fiqhiyyah menjadi berbeda Metode yang Dilakukan Para Ulama Saat Terjadi Taarudh
Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyadul Fuhul menegaskan bahwasanya tidak pernah
ada konflik dalam quran dan hadist, yang ada hanya pemahaman para mujtahid yang
berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum . Imam Zarkasyi juga menambahkan dalam
Al bahrul Muhith bahwa kontradiksi dalam quran dan sunnah hanya terjadi pada
jenis dalil yang dzanni, atau karena salah satunya menjadi mubayyin atau
penjelas dari yang lainnya, atau salah satunya menjadi nasikh (penghapus) pada
yang lainnya . Dari hal ini, para ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Karim
Zaydan memformulasikan metode para ulama bila terjadi kontradiksi antara dalil.
Sehingga istilah dalil yang saling bertentangan itu tidak pernah ada dalam
kamus para mujtahid. Maka syarat memungkinkanya kejadian ini adalah: a) Dalil
yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu
tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama
hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad. b) Hukum yang lahir dari kedua
dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram,
dalil yang satu menunjuk halal. c) Dalil yang bertentangan tersebut memiliki
sasaran objek yang sama. d) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi
waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat
perbedaan waktu datangnya dalil. e) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan
baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan
makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada
tingkat zahir. Maka jika terjadi semua hal di atas, solusi yang ditawarkan oleh
para ulama adalah: 1 Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti
dalil itu dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang
lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian. Contoh: Surah
Al-Baqarah ayat 180 menegaskan: كُتِبَ عَلَيْكُمْ
إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِيْنَ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut di nasakh oleh
hadits Rasulullah saw.: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى
لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan
hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.”
(HR. Tirmidzi) Menurut jumhur ulama, al quran bisa dinasakh oleh hadist
mutawatir. 2 Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya,
maka dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang
bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih). Contohnya Hadits Rasulullah saw.
berikut: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ :
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata,
Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh,
maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad) Sementara Aisyah meriwayatkan
hadits: عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ
النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ
احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ. Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya
berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada
bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik) 3 Al-jam’u wa al-taufiq.
Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan.
Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan. Contohnya: ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ
تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ
الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ
حَتَّى تَغْرُبَ “Ada tiga
waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat
atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika
matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala
hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari akan tenggelam hingga
tenggelam sempurna.” (HR. Muslim) Hadist selanjutnya: عن
جبير بن مطعم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا بني عبد مناف لا تمنعوا أحدا طاف
بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار Wahai bani abdu Manaf, janganlah kalian larang seseorang thawaf
di tempat ini (masjidil haram) dan shalat kapanpun sesukanya di malam ataupun
siang hari (HR Tirmidzi & Nasai) 4 Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di
kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu (
tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah
urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan
sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan
qaul sahabi begitu selanjutnya. Contohnya: Firman Allah dalam surah Al-Muzammil
(73): 20 فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al-Qur’an Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman: وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ,
وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Ayat pertama secara
umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat
Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks
shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat.
Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik.
Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak
dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut
mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang
dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil
lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya
pada hadits yang menjelaskan: من صلى خلف الإمام فإن
قراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam
menjadi baginya”. (HR. Jama’ah Metode di atas adalah yang dipakai oleh
Hanafiah, sementara jumhur mengurutkannya sebagai berikut: al-jam’u wa
al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut . Siapa yang berhak melakukan metode
tersebut? Jawabannya hanya satu, yakni para ulama mujtahid. Karena yang mampu
mengetahui lafadz quran dan hadist, waktu turun, sebab turun, dan illat
hanyalah mereka yang mempelajari secara mendalam keilmuwan ini. Seorang awam
tidak berhak berbicara tentang detail makna dalil apalagi menjadikannya bahan
debat yang dirinya sendiri kurang mneguasainya. Syaikh Ali Jum’ah mengatakan
bahwa seseorang harus membedakan antara lapangan dakwah dan lapangan fatwa.
Dalam lapangan dakwah semua orang boleh meneriakkan satu hadist lalu mengajak
orang orang lain untuk mengamalkan kebaikannya. Namun tidak untuk yang
berkonotasi hukum, maka da’i hanya boleh menukil pendapat para ulama, bukan
membuat fatwa sendiri. Wallahu a’lamu bishhowab
Sumber
: https://www.rumahfiqih.com/fikrah-548-jika-dalil-kita-selalu-bertentangan.html
Firman Arifandi, Lc.,
Pembahasan
seputar dalil saat berbicara masalah agama, terlebih bila berbicara tentang
perihal amaliyah menjadi bahan yang sangat seru untuk dikaji. Saking serunya,
banyak yang lupa bahwa setiap perbedaan yang keluar dari ijtihad para ulama
salah satunya adalah karena dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama seolah
saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Lucunya lagi, pelajar agama
zaman sekarang melupakan sisi ini, sehingga hanya karena dalil yang dianut
berbeda dengan yang lainnya sampai-sampai menganggap dalil lain yang kontra
terhadap dalilnya dianggap lemah, salah, atau bahkan palsu, bahkan tak segan
sampai kepada tingkatan menjauhi dan memusuhi, padahal ulama zaman dahulu sudah
membuat formulasi bagaiaman jika ada dalil-dalil yang kontradiktif. Hal
tersebut dibuat supaya orang-orang di zaman ini tidak terlalu banyak berdebat
atas apa yang sebenarnya mereka belum kuasai. Penyebab Perbedaan Ijtihad Para
Ulama Menurut Ibnu Rusyd (520 – 595 H) Ibnu Rusyd menulis sebuah kitab
fenomenal berjudul Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqhtasid. Kitab ini
meskipun bukan satu-satuya kitab fiqih dengan metode komparasi antar madzhab,
namun ada kesitimewaan lain dimana dalam muqaddimahnya disebutkan bahwa tujuan
beliau menyusun kitab ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada masalah-masalah
hukum yang telah disepakati (al-muttafaq), ada pula persoalan hukum yang masih
diperselisihkan (al-mukhtalaf) lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Selain
itu untuk menunjukan adanya perbedaan di antara para mujtahid dengan cara
menyoroti prinsip dan aturan dasar (al-ushul wa al-qawa’id) yang mereka pakai
ketika syari’ah mendiamkan sebuah persoalan (al-masa’il al-maskutu ‘anha).
Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah yang terang-terangan telah
disebutkan di dalam Qur’an maupun Sunah atau yang berkaitan erat dengan dua
sumber hukum itu. Menurut Ibnu Rusyd, pada tataran inilah akan diketahui
persoalan mana yang telah disepakati (al-muttafaq ‘alaiha), dan persoalan mana
yang masih diperdebatkan di antara para ahli fiqh sejak periode sahabat sampai
berkembangnya masa taqlid. A. Boleh Tidaknya Qiyas Sedikitnya ada tiga metode
yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariah dari Nabi SAW menurut
beliau, yaitu: dari kata-katanya (lafadz), atau tindakannya (fi’l), atau
ketetapannya (iqrar). Menurut Jumhur Ulama, apabila tidak didapati dari ketiga
itu maka cara pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan qiyas atau
analogi. Namun hal ini ditentang secara tegas oleh satu golongan bernama
madzhab dzahiri. Maka ini menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan ijtihad
tersebut, yakni kebolehan Qiyas atau tidak. B. Kesimpulan Hukum dari lafadz
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada empat macam cara pengambilan hukum dari apa
yang didengar baik dari teks atau lafadz. Pertama, ungkapan umum yang dipahami
secara keumumannya (عام يحمل على عمومه). Kedua, ungkapan khusus dipahami secara
kekhususannya (خاص يحمل على خصوصه). Ketiga, ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya (لفظ عام أريد به الخاص). Keempat, ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya (خاص يراد به العموم).
Sebagai contohnya adalah: Pertama, QS. Al-Maidah ayat 3: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi.” Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa kata khinzîr
(babi) itu mencakup segala jenis babi, selama kata itu bukan kata yang memiliki
banyak makna (al-isytirâk), artinya hewan yang kebetulan mempunyai nama yang
sama (babi), seperti bulu babi, itu tidak menunjukan keharaman. Jadi yang
diharamkan itu segala jenis babi, bukan hewan lain yang meskipun memiliki nama
yang sama. Kedua, contoh ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya
tertera dalam QS. At-Taubah ayat 103: خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم “Ambillah zakat dari harta-harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka.” Para ulama telah sepakat bahwa zakat tidak
diwajibkan pada semua harta benda. Jadi kata “harta-harta mereka” (amwâlihim)
itu harus dimaknai dengan kekhussannya. Artinya tidak semua harta benda
diwajibkan untuk dizakati. Ketiga, contoh ungkapan khusus yang dimaknai dengan
keumumannya tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: فَلاَ
تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
“Janganlah mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkataan “ah”” Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa ayat di atas termasuk dalam ruang lingkup penegasan tingkat
yang lebih rendah dengan tingkat yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ).
Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian berkata “ah” saja tidak
boleh, apalagi memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras
kepada kedua orangtua. C. Perbedaan memahami perintah dan larangan Dalam
redaksi yang tertera pada Quran dan Sunnah terkadang kalimat yang menuntut
pengerjaan terhadap sesuatu menggunakan kata perintah (al-amr), kadang dengan
kalimat berita yang bermakna perintah (bishighati al-khabari yurâdu bihi
al-amr). Begitu pula dengan kalimat yang menuntut untuk meninggalkan suatu
perkara kadang menggunakan kata larangan (an-nahy), kadang juga dengan kalimat
berita yang bermakna larangan. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab
mengapa para ulama kadang berbeda pendapat terhadap suatu hukum, sebab kalimat
perintah (al-amr) itu bisa menunjukan wajib atau mandub. Atau seseorang akan
menunggu hingga ditemukan dalil yang menjelaskannya. Hal ini juga berlaku dalam
kasus kalimat larangan (an-nahy), apakah harus dihukumi haram atau makruh. D.
Lafadz Musytarak (kata-kata yang lebih dari satu arti) Al quran dan Hadist
sebagai sumber dalil utama dalam Islam, keduanya menggunakan bahasa arab, di
antara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu selain ungkapan
umum yang diamskudkan khusus dan sebaliknya tadi. Adapulan perbedaan tinjauan
lain dari segi mantuq dan mafhumnya. Sebagai contoh dalam lafadz musytarak yang
menjadi alasan perbedaan ulama dalam mengambil kesimpulan hukum adalah kata
nafyu dalam bentuk kata ينفوا dalam al Quran surat al maidah ayat 33: Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al Maidah : 33) Jumhur ulama
berpendapat, bahwa kata yunfau adalah bermakna dikeluarkan dari pemukiman atau
diasingkan, sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa maknanya adalah majazi,
sehingga difahami sebagai dipenjara. E. Perbedaan memahami dalil khitab Menurut
Ibnu Rusyd, dalil al-khitâb adalah ketika seseorang paham akan suatu kewajiban
yang berkaitan dengan suatu persoalan, maka menjadi tidak wajib terhadap hal
lain, atau sebaliknya, tidak wajibnya suatu persoalan, menjadi hal wajib untuk
persoalan lain. Contoh Nabi SAW pernah bersabda: فِي
سَائِمَةِ الْغَنَمِ الزَّكَاةُ
“Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”. Ada suatu kelompok yang
memahami hadis di atas dengan logika dalil al-khitâb sehingga membawa sebuah
kesimpulan bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib bayar zakat. F.
Perbedaan Menerima Hukum Yang Diambil Dari Perbuatan (Fi’l) Jika dalam
pembahasan lafadz semua bentuk taklifi seperti wajib, mandub, mubah, makruh dan
haram disebutkan, maka di dalam dalil fi’l ini hanya tiga bentuk saja: wajib,
mandub dan mubah, sebab semua perbuatan Nabi SAW mustahil kita hukumi makruh
atau bahkan haram. Maka menurut Ibnu Rusyd, sebagian besar umat Islam menerima
hal ini sebagai jalan mendapatkan hukum, namun sebagian kaum tidak
menyutujuinya sebab menurut mereka perbuatan Nabi SAW tidak memutuskan suatu
hukum karena tidak memiliki bentuk (al-af’alu laisat tufidu hukman idz laha
shiyagh). G. Dalil yang Seolah Bertentangan Dari semua jenis dalil yang
diungkapkan oleh para ulama baik dari bentuk lafadz, fi’l dan iqrar kelak akan
ditemukan dalil-dalil yang seolah bertentangan antara satu dengan lainnya,
sehingga hal ini juga menjadikan ijtihad para ulama dalam suatu permasalahan
fiqhiyyah menjadi berbeda Metode yang Dilakukan Para Ulama Saat Terjadi Taarudh
Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyadul Fuhul menegaskan bahwasanya tidak pernah
ada konflik dalam quran dan hadist, yang ada hanya pemahaman para mujtahid yang
berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum . Imam Zarkasyi juga menambahkan dalam
Al bahrul Muhith bahwa kontradiksi dalam quran dan sunnah hanya terjadi pada
jenis dalil yang dzanni, atau karena salah satunya menjadi mubayyin atau
penjelas dari yang lainnya, atau salah satunya menjadi nasikh (penghapus) pada
yang lainnya . Dari hal ini, para ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Karim
Zaydan memformulasikan metode para ulama bila terjadi kontradiksi antara dalil.
Sehingga istilah dalil yang saling bertentangan itu tidak pernah ada dalam
kamus para mujtahid. Maka syarat memungkinkanya kejadian ini adalah: a) Dalil
yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu
tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama
hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad. b) Hukum yang lahir dari kedua
dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram,
dalil yang satu menunjuk halal. c) Dalil yang bertentangan tersebut memiliki
sasaran objek yang sama. d) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi
waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat
perbedaan waktu datangnya dalil. e) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan
baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan
makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada
tingkat zahir. Maka jika terjadi semua hal di atas, solusi yang ditawarkan oleh
para ulama adalah: 1 Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti
dalil itu dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang
lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian. Contoh: Surah
Al-Baqarah ayat 180 menegaskan: كُتِبَ عَلَيْكُمْ
إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِيْنَ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut di nasakh oleh
hadits Rasulullah saw.: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى
لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan
hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.”
(HR. Tirmidzi) Menurut jumhur ulama, al quran bisa dinasakh oleh hadist
mutawatir. 2 Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya,
maka dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang
bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih). Contohnya Hadits Rasulullah saw.
berikut: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ :
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata,
Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh,
maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad) Sementara Aisyah meriwayatkan
hadits: عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ
النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ
احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ. Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya
berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada
bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik) 3 Al-jam’u wa al-taufiq.
Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan.
Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan. Contohnya: ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ
تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ
الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ
حَتَّى تَغْرُبَ “Ada tiga
waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat
atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika
matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala
hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari akan tenggelam hingga
tenggelam sempurna.” (HR. Muslim) Hadist selanjutnya: عن
جبير بن مطعم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا بني عبد مناف لا تمنعوا أحدا طاف
بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار Wahai bani abdu Manaf, janganlah kalian larang seseorang thawaf
di tempat ini (masjidil haram) dan shalat kapanpun sesukanya di malam ataupun
siang hari (HR Tirmidzi & Nasai) 4 Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di
kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu (
tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah
urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan
sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan
qaul sahabi begitu selanjutnya. Contohnya: Firman Allah dalam surah Al-Muzammil
(73): 20 فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al-Qur’an Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman: وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ,
وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Ayat pertama secara
umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat
Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks
shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat.
Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik.
Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak
dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut
mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang
dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil
lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya
pada hadits yang menjelaskan: من صلى خلف الإمام فإن
قراءة الإمام له قراءة
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam
menjadi baginya”. (HR. Jama’ah Metode di atas adalah yang dipakai oleh
Hanafiah, sementara jumhur mengurutkannya sebagai berikut: al-jam’u wa
al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut . Siapa yang berhak melakukan metode
tersebut? Jawabannya hanya satu, yakni para ulama mujtahid. Karena yang mampu
mengetahui lafadz quran dan hadist, waktu turun, sebab turun, dan illat
hanyalah mereka yang mempelajari secara mendalam keilmuwan ini. Seorang awam
tidak berhak berbicara tentang detail makna dalil apalagi menjadikannya bahan
debat yang dirinya sendiri kurang mneguasainya. Syaikh Ali Jum’ah mengatakan
bahwa seseorang harus membedakan antara lapangan dakwah dan lapangan fatwa.
Dalam lapangan dakwah semua orang boleh meneriakkan satu hadist lalu mengajak
orang orang lain untuk mengamalkan kebaikannya. Namun tidak untuk yang
berkonotasi hukum, maka da’i hanya boleh menukil pendapat para ulama, bukan
membuat fatwa sendiri. Wallahu a’lamu bishhowab
Sumber
: https://www.rumahfiqih.com/fikrah-548-jika-dalil-kita-selalu-bertentangan.html
0 comments:
Post a Comment