Fatwafikih.com

Thursday, May 8, 2025

Hukum Menunda Wajib Haji Karena Alasan Merawat Ibu yang Sakit


Fatwa Nomor : 7868
oleh : Profesor Dr. Syawqi Ibrahim Alam

Pertanyaan:

Apa hukum menunda haji wajib setelah mampu menunaikannya karena alasan mengurus ibu yang sedang sakit? Ada seseorang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa kemampuan finansial dan fisik untuk menunaikan ibadah haji, namun ibunya sedang sakit dan ia tidak mampu meninggalkan ibunya sendirian, karena ia memiliki tanggungan untuk melayani dan merawat ibunya. Dia tidak memiliki siapapun selain dirinya yang mampu merawat dan mengurusi keperluan ibunya saat ini. Apakah dibolehkan baginya menunda haji sampai tahun depan atau sampai ibunya sembuh baru kemudian menunaikan haji? 

Jawaban: 

Perhatian orang tersebut kepada ibunya yang sedang sakit, pelayanannya kepada ibunya, pemenuhannya terhadap segala urusan yang dibutuhkan oleh ibunya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan posisinya, itu lebih utama baginya daripada melaksanakan ibadah haji. Maka hendaknya ia bersegera untuk menunaikan haji setelah itu pada tahun yang akan datang, selama ia mampu. Tidak ada dosa baginya dalam penundaan ibadah haji tersebut. Karena penjagaan dan perawatan tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukannya, karena tidak ada seorang pun yang dapat menjaga ibunya, dimana kewajiban menjaga dan merawat ibu akan terlewatkan jika ia pergi haji, maka itu merupakan kewajiban yang tidak dapat diulangi lagi, sehingga lebih diutamakan daripada melaksanakan ibadah haji. pergi haji termasuk amalan pendek yang manfaatnya kembali hanya kepada yang melaksanakannya. Berbeda dengan merawat ibu, yang merupakan amalan yang banyak manfaatnya karena manfaatnya kembali kepada anak (yang mengurusnya) dengan kebaikan yang banyak, pahala yang besar, dan balasan yang berlimpah. Selain itu, manfaatnya juga kembali kepada ibunya dengan sebab penjagaan, pemenuhan kebutuhan, pengobatan, dan hal-hal lainnya yang akan dirasakan oleh ibunya. Salah satu kaidah yang telah ditetapkan dalam syariat yang mulia ini adalah bahwa "المُتَعَدِّي أفضل مِن القاصر” (Amalan yang manfaatnya menjangkau banyak orang lebih utama dari amalan yang manfaatnya tidak menjangkau banyak orang)


Wajib haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya satu kali seumur hidup.


Haji merupakan salah satu rukun Islam dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu, sekali seumur hidup. Allah Ta’ala berfirman: 

  وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا “ 

“Dan wajib bagi manusia melaksanakan haji ke baitullāh bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah tersebut.” [QS Ali Imran: 97]

 وعن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ، فَحُجُّوا»، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّى قَالَهَا ثَلاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم: «لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ» أخرجه الإمام مسلم في "صحيحه". 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyapa kami dan bersabda: “Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah kalian. ”Seorang laki-laki bertanya: “Setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau tetap diam hingga mengucapkannya tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku menjawab, ‘ya’, maka itu adalah wajib. Dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. ” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya). Para ulama telah sepakat bahwa haji hukumnya wajib bagi mereka yang mampu melakukannya sekali seumur hidup dan itu adalah haji Islam . Jika mereka melaksanakannya, maka kewajiban itu gugur dan mereka tidak dituntut untuk melaksanakannya lagi. Seperti dalam “Al-Ijma’” karya Imam Ibnu Al-Mundhir (hlm. 51, edisi Dar Al-Muslim), dan “Al-Mughni” karya Imam Ibnu Qudamah (3/213, edisi Perpustakaan Kairo).

Hukum menunda haji wajib setelah mampu melaksanakannya karena alasan merawat ibu yang sakit

Para ulama telah menetapkan bahwa selain kemampuan fisik dan finansial, tidak boleh ada halangan apa pun yang menghalangi orang yang wajib menunaikan ibadah haji. Salah satu kendalanya adalah merawat kedua orang tua atau salah satu dari mereka. Hal ini ditegaskan apabila orang tersebut sedang sakit, padahal tidak ada seorang pun yang merawat, melayani, dan mengurus segala urusan serta keperluannya, selain anaknya yang wajib menunaikan haji. Apabila halangan-halangan tersebut tidak ada, maka syarat wajib telah terpenuhi. Jika tidak, maka tidak, dan ini berdasarkan konsensus (ijma' ulama). Imam Al-Mawardi berkata di dalam Al-Hawi Al-Kabir (4/7, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): [Allah SWT telah mewajibkan haji atas kemampuan seseorang, dan kemampuan itu terbagi menjadi dua belas bagian: Bagian pertama, yaitu orang yang mampu secara fisik dan finansial, mampu membeli bekal dan kendaraan, mampu membiayai dirinya dan keluarganya selama perjalanan pergi dan pulang, jika ada waktu dan tidak ada halangan, maka ia wajib menunaikan ibadah haji berdasarkan konsensus (ijma’ ulama). Ulama Ibnu Qattan berkata dalam Al-Iqna (1/246-247, edisi Al-Farouq Al-Hadithah) dalam menjelaskan siapa yang wajib menunaikan haji dan siapa yang tidak: [Mereka sepakat bahwa seorang muslim laki-laki yang merdeka, berakal, dewasa, sehat jasmani, penglihatan dan sehat kedua kakinya yang membolehkan dia berjalan dan bepergian dan memiliki sesuatu/bekal yang ditinggalkan untuk keluarganya selama ia bepergian, tidak ada lautan dan tidak ada rasa takut dalam perjalanannya, dan kedua orang tuanya atau salah seorang dari mereka tidak menghalanginya, maka haji wajib baginya. Yang dimaksud kedua orang tua atau salah satu di antara mereka menghalanginhya adalah apabila salah satu atau keduanya membutuhkan anaknya untuk perawatan atau perhatian tambahan karena sakit, usia tua, atau yang semisal, sehingga ia akan kesulitan jika anaknya meninggalkannya untuk menunaikan kewajiban haji. Hal ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh dua imam: Muslim dalam Shahih-nya dan Al-Baihaqi dalam Shu’ab Al-Iman dari Imam Az-Zuhri, dia berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Abu Hurairah tidak menunaikan haji hingga ibunya meninggal dunia, karena ibunya bersamanya.” Dari Abu Hazim, “Abu Hurairah tidak menunaikan haji sampai ibunya meninggal.” Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Al-Dunya dalam “Makarim Al-Akhlaq.”


Pendapat ulama Hanafi tentang masalah ini


Para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak disunnahkan bagi seorang anak untuk menunaikan ibadah haji, jika kedua orang tuanya atau salah seorang di antara keduanya sedang membutuhkan pertolongannya maka kepergiannya menjadi makruh dan dianggap sebagai makruh tahrim, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh sebagian ulama mazhab Hanafi. Oleh karena itu, dia berdosa jika melakukan hal itu. Sebahagian mereka berpendapat (وقيل) bahwa hal itu merupakan bentuk makruh tanzih. Makruh dalam dua hal yaitu mengutamakan berbakti kepada kedua orang tua atau salah satu di antara keduanya daripada menunaikan ibadah haji. Kamaluddin bin Humam berkata dalam Fath al-Qadir (2/407, red. Dar al-Fikr): [dimakruhkan pergi haji jika salah satu dari kedua orang tuanya tidak menyukainya dan masih membutuhkan pelayannya, dan tidak makruh jika ia mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.]

Siraj al-Din Ibnu Nujaym mengatakan dalam “An-Nahr al-Fa’iq” (2/52, edisi Dar al-Kutub al-Ilmiyyah): [Orang yang hendak menunaikan ibadah haji atau Jihad hendaknya meminta izin orang tuanya; Karena makruh pergi haji bersamaan dengan ketidaksenangan salah seorang di antara mereka, padahal masih membutuhkan jasanya, tidak makruh jika ia seorang yang mandiri].

Alaa Al-Din Al-Haskafi berkata di dalam “Al-Durr Al-Mukhtar” (hal. 155, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah) ketika menjelaskan hukum-hukum yang menjadi ciri haji terkait dengan amal orang yang wajib melakukannya: [Haji bisa ditandai dengan haram, seperti haji yang menggunakan harta haram, dan bisa juga ditandai dengan makruh, seperti haji yang dilakukan tanpa izin dari orang yang harus dimintai izin]. Beliau (Alaa Al-Din Al-Haskafi) berkata (hal. 157) dalam menjelaskan sunnah-sunnah dan adab haji: [Hendaknya ia meminta izin kepada kedua orang tuanya, orang yang berutang kepadanya, dan orang yang menjaminnya] Selesai.

Ulama Ibnu Abidin berkata dalam “Radd al-Muhtar” (2/471, edisi Dar al-Fikr), mengomentarinya: [(Perkataannya: dan dia meminta izin kepada kedua orang tuanya... dan seterusnya) maksudnya: jika mereka tidak membutuhkannya, jika membutuhkan maka hal itu makruh. Begitu pula hal itu makruh tanpa izin dari krediturnya atau penjaminnya, dan nampak bahwa hal itu diharamkan; Karena hal itu tidak disukai (makruh). Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan beliau pada bagian sebelumnya mengenai contoh haji yang dibenci (makruh): “Seperti haji tanpa izin dari orang yang harus diminta izinnya.” Maka hal ini tidak termasuk sunnah dan adab.

Al-Allamah Al-Tahtawi berkata dalam tafsirnya tentang Maraqi Al-Falah (hal. 726, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): “Orang yang ingin menunaikan ibadah haji atau jihad hendaknya meminta izin kepada kedua orang tuanya. Jika ia keluar tanpa izin padahal ia membutuhkannya untuk suatu ibadah, maka ia telah berdosa. Telah disebutkan pula bahwa hal itu tidak disenangi.”

Izin ini hanya diminta dalam keadaan yang mudah, misalnya orang tua menghendaki anaknya yang menjadi tanggungan, walaupun ada orang lain yang dapat menggantikan atau mewakilinya. Akan tetapi, jika ia dituntut untuk melayani orang tua dan sangat dibutuhkan serta tidak ada orang lain yang dapat menggantikannya, maka ia harus tetap melayani. Karena haji merupakan kewajiban pribadi bagi orang yang menunaikannya sekali seumur hidup, dan berbakti kepada kedua orang tua juga merupakan kewajiban pribadi dan telah ada konsensus (ijmak ulama) tentang kewajibannya. Sebagaimana dalam “Al-Iqna’” karya ulama Ibn Al-Qattan (2/307), dan “Jami’ Al-Ulum Wal-Hikam” karya Al-Hafiz Ibn Rajab (2/820, edisi Dar Al-Salam), telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yurisprudensi bahwa “jika dua kewajiban individu terpenuhi, maka keduanya adalah untuk Tuhan, atau untuk-Nya dan manusia. Jika keduanya untuk Tuhan Yang Maha Esa, yang lebih utama dari keduanya didahulukan... dan jika dua hak itu untuk Tuhan Yang Maha Esa dan manusia, yang lebih rendah didahulukan.” Sebagaimana dikatakan Badr al-Din al-Zarkashi dalam “Al-Manthur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah” (1/340-343, ed. Wakaf Kuwait), jika kedua hak tersebut dibatasi, maka hak asasi manusialah yang diutamakan; Karena “hak-hak Tuhan Yang Maha Esa dapat ditoleransi dan diampuni, sedangkan hak-hak hamba dapat diselidiki dan disengketakan.” Seperti yang dikatakan Imam Al-Mawardi dalam “Al-Hawi Al-Kabir” (12/195).


Dalil mendahulukan merawat ibu yang sakit daripada melaksanakan ibadah Haji

Pentingnya mendahulukan merawat ibu daripada melaksanakan ibadah haji ditegaskan oleh sabda Nabi, sallahu alaihi wassalam:

لَوْ أَدْرَكْتُ وَالِدَيَّ أَوْ أَحَدَهُمَا، وَأَنَا فِي صَلَاةِ الْعِشَاءِ، وَقَدْ قَرَأْتُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، يُنَادِينِي: يَا مُحَمَّدُ، لأَجْبُتُه: لَبَّيْكَ


“Jika aku berjumpa dengan kedua orang tuaku, atau salah satu dari mereka, Walaupun aku sedang melaksanakan shalat Isya, dan aku telah membaca Alfatihah, seandainya mereka memanggilku: ‘Wahai Muhammad,’ niscaya aku akan menjawab: ‘Siap melayanimu.

Diriwayatkan oleh para imam: Ibn al-Bakhtari dalam “Amali,” al-Bayhaqi dalam “Shu’ab al-Iman,” al-Daylami dalam “al-Firdaws,” dan Ibn al-Jawzi dalam “al-Birr wa’l-Silah,” mengutipnya sebagai bukti pentingnya dan status yang besar dari berbakti kepada kedua orang tua. Dua orang ahli hadits yang mengutipnya sebagai hujjah: al-Baihaqi dalam “al-Shu’ab” (10/284, edisi Maktabat al-Rushd) dan al-Sakhawi dalam “Al-Maqasid Al-Hasanah” (hal. 551, edisi Dar Al-Kitab Al-Arabi) dalam menguatkan hadits: “ Seandainya Jurayj seorang ahli hukum, niscaya dia mengetahui bahwa mengabulkan doa ibunya lebih utama daripada beribadah kepada Rabbnya .” Syarat Al-Hafiz Al-Bayhaqi dalam Al-Sha’b adalah tidak mengutip hadits yang dipalsukan di dalamnya.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang jika ia mengabaikan orang yang ia nafkahi. ” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i dalam Al-Sunan, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dan ia telah menshahihkannya).

Maka dapat disimpulkan bahwa merawat ibu yang sedang sakit, padahal tidak ada yang merawatnya kecuali anaknya, lebih diutamakan daripada menunaikan ibadah haji, karena perawatan tersebut merupakan kewajiban di waktu yang telah ditetapkan untuk anak tersebut. Karena tidak ada orang lain yang mengurusnya. kewajiban merawat ibu akan terlewatkan jika ia pergi haji karena kewajiban merawat ibu termasuk sebuah kewajiban yang tidak dapat diulang-ulang, maka lebih didahulukan dari ibadah haji. Berbeda halnya dengan ibadah haji, jika ia tidak haji pada tahun tersebut, maka ia akan berhaji pada tahun-tahun berikutnya, karena ibadah haji termasuk kewajiban yang dapat diulang-ulang. Maka undurkan ibadah haji dari kewajiban merawat ibu yang tidak dapat diulang-ulang.

Ditambah lagi bahwa haji termasuk amalan kecil, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Al-Manthur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah” karya Badruddin az-Zarkasi (2/421), yang manfaatnya dikembalikan kepada orang yang berkewajiban (anak) dan tidak kepada siapa pun selainnya. Berbeda dengan mengurus ibu, yang merupakan amalan yang bisa ditularkan, maka manfaatnya dikembalikan kepada anak (orang yang berkewajiban) dengan kebaikan yang banyak, pahala yang besar, dan balasan yang berlimpah, dan manfaatnya juga kembali kepada ibu dengan perawatan, pemenuhan kebutuhan, pengobatan, dan lainnya.  Salah satu kaidah yang telah ditetapkan dalam syariat yang mulia ini adalah bahwa "المُتَعَدِّي أفضل مِن القاصر” (Amalan yang manfaatnya menjangkau banyak orang lebih utama dari amalan yang manfaatnya tidak menjangkau banyak orang). Sebagaimana dikatakan Al-Hafiz Al-Suyuti dalam “Al-Ashbah wa Al-Naza’ir” (hlm. 144, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah).


Kesimpulan


Berdasarkan pertanyaan di atas, maka perhatian laki-laki tersebut terhadap ibunya yang sedang sakit, pelayanannya kepada ibunya, dan perhatiannya terhadap segala urusan yang dibutuhkan oleh ibunya, bersamaan tidak ada seorang pun yang dapat menggantikannya dengan baik, maka hal tersebut lebih utama daripada kewajibannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka hendaknya ia bersegera menunaikan haji setelah itu pada tahun berikutnya, selama ia mampu. Tidak ada dosa dan dosa baginya dalam hal itu. Tuhan Yang Maha Kuasa mengetahui yang terbaik.


Sumber Dar Ifta' Mesir : https://bit.ly/3F6OUXt

Contact Form

Name

Email *

Message *