Fatwafikih.com

Tuesday, March 20, 2018

Jika Ada Dalil Yang Nampak Bertentangan






Firman Arifandi, Lc.,

Pembahasan seputar dalil saat berbicara masalah agama, terlebih bila berbicara tentang perihal amaliyah menjadi bahan yang sangat seru untuk dikaji. Saking serunya, banyak yang lupa bahwa setiap perbedaan yang keluar dari ijtihad para ulama salah satunya adalah karena dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama seolah saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Lucunya lagi, pelajar agama zaman sekarang melupakan sisi ini, sehingga hanya karena dalil yang dianut berbeda dengan yang lainnya sampai-sampai menganggap dalil lain yang kontra terhadap dalilnya dianggap lemah, salah, atau bahkan palsu, bahkan tak segan sampai kepada tingkatan menjauhi dan memusuhi, padahal ulama zaman dahulu sudah membuat formulasi bagaiaman jika ada dalil-dalil yang kontradiktif. Hal tersebut dibuat supaya orang-orang di zaman ini tidak terlalu banyak berdebat atas apa yang sebenarnya mereka belum kuasai. Penyebab Perbedaan Ijtihad Para Ulama Menurut Ibnu Rusyd (520 – 595 H) Ibnu Rusyd menulis sebuah kitab fenomenal berjudul Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqhtasid. Kitab ini meskipun bukan satu-satuya kitab fiqih dengan metode komparasi antar madzhab, namun ada kesitimewaan lain dimana dalam muqaddimahnya disebutkan bahwa tujuan beliau menyusun kitab ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada masalah-masalah hukum yang telah disepakati (al-muttafaq), ada pula persoalan hukum yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf) lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Selain itu untuk menunjukan adanya perbedaan di antara para mujtahid dengan cara menyoroti prinsip dan aturan dasar (al-ushul wa al-qawa’id) yang mereka pakai ketika syari’ah mendiamkan sebuah persoalan (al-masa’il al-maskutu ‘anha). Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah yang terang-terangan telah disebutkan di dalam Qur’an maupun Sunah atau yang berkaitan erat dengan dua sumber hukum itu. Menurut Ibnu Rusyd, pada tataran inilah akan diketahui persoalan mana yang telah disepakati (al-muttafaq ‘alaiha), dan persoalan mana yang masih diperdebatkan di antara para ahli fiqh sejak periode sahabat sampai berkembangnya masa taqlid. A. Boleh Tidaknya Qiyas Sedikitnya ada tiga metode yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariah dari Nabi SAW menurut beliau, yaitu: dari kata-katanya (lafadz), atau tindakannya (fi’l), atau ketetapannya (iqrar). Menurut Jumhur Ulama, apabila tidak didapati dari ketiga itu maka cara pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan qiyas atau analogi. Namun hal ini ditentang secara tegas oleh satu golongan bernama madzhab dzahiri. Maka ini menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan ijtihad tersebut, yakni kebolehan Qiyas atau tidak. B. Kesimpulan Hukum dari lafadz Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada empat macam cara pengambilan hukum dari apa yang didengar baik dari teks atau lafadz. Pertama, ungkapan umum yang dipahami secara keumumannya (عام يحمل على عمومه). Kedua, ungkapan khusus dipahami secara kekhususannya (خاص يحمل على خصوصه). Ketiga, ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya (لفظ عام أريد به الخاص). Keempat, ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya (خاص يراد به العموم). Sebagai contohnya adalah: Pertama, QS. Al-Maidah ayat 3: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa kata khinzîr (babi) itu mencakup segala jenis babi, selama kata itu bukan kata yang memiliki banyak makna (al-isytirâk), artinya hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama (babi), seperti bulu babi, itu tidak menunjukan keharaman. Jadi yang diharamkan itu segala jenis babi, bukan hewan lain yang meskipun memiliki nama yang sama. Kedua, contoh ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya tertera dalam QS. At-Taubah ayat 103: خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم “Ambillah zakat dari harta-harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Para ulama telah sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Jadi kata “harta-harta mereka” (amwâlihim) itu harus dimaknai dengan kekhussannya. Artinya tidak semua harta benda diwajibkan untuk dizakati. Ketiga, contoh ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ “Janganlah mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkataan “ah”” Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ayat di atas termasuk dalam ruang lingkup penegasan tingkat yang lebih rendah dengan tingkat yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ). Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian berkata “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras kepada kedua orangtua. C. Perbedaan memahami perintah dan larangan Dalam redaksi yang tertera pada Quran dan Sunnah terkadang kalimat yang menuntut pengerjaan terhadap sesuatu menggunakan kata perintah (al-amr), kadang dengan kalimat berita yang bermakna perintah (bishighati al-khabari yurâdu bihi al-amr). Begitu pula dengan kalimat yang menuntut untuk meninggalkan suatu perkara kadang menggunakan kata larangan (an-nahy), kadang juga dengan kalimat berita yang bermakna larangan. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa para ulama kadang berbeda pendapat terhadap suatu hukum, sebab kalimat perintah (al-amr) itu bisa menunjukan wajib atau mandub. Atau seseorang akan menunggu hingga ditemukan dalil yang menjelaskannya. Hal ini juga berlaku dalam kasus kalimat larangan (an-nahy), apakah harus dihukumi haram atau makruh. D. Lafadz Musytarak (kata-kata yang lebih dari satu arti) Al quran dan Hadist sebagai sumber dalil utama dalam Islam, keduanya menggunakan bahasa arab, di antara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu selain ungkapan umum yang diamskudkan khusus dan sebaliknya tadi. Adapulan perbedaan tinjauan lain dari segi mantuq dan mafhumnya. Sebagai contoh dalam lafadz musytarak yang menjadi alasan perbedaan ulama dalam mengambil kesimpulan hukum adalah kata nafyu dalam bentuk kata ينفوا dalam al Quran surat al maidah ayat 33: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al Maidah : 33) Jumhur ulama berpendapat, bahwa kata yunfau adalah bermakna dikeluarkan dari pemukiman atau diasingkan, sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa maknanya adalah majazi, sehingga difahami sebagai dipenjara. E. Perbedaan memahami dalil khitab Menurut Ibnu Rusyd, dalil al-khitâb adalah ketika seseorang paham akan suatu kewajiban yang berkaitan dengan suatu persoalan, maka menjadi tidak wajib terhadap hal lain, atau sebaliknya, tidak wajibnya suatu persoalan, menjadi hal wajib untuk persoalan lain. Contoh Nabi SAW pernah bersabda: فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ الزَّكَاةُ “Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”. Ada suatu kelompok yang memahami hadis di atas dengan logika dalil al-khitâb sehingga membawa sebuah kesimpulan bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib bayar zakat. F. Perbedaan Menerima Hukum Yang Diambil Dari Perbuatan (Fi’l) Jika dalam pembahasan lafadz semua bentuk taklifi seperti wajib, mandub, mubah, makruh dan haram disebutkan, maka di dalam dalil fi’l ini hanya tiga bentuk saja: wajib, mandub dan mubah, sebab semua perbuatan Nabi SAW mustahil kita hukumi makruh atau bahkan haram. Maka menurut Ibnu Rusyd, sebagian besar umat Islam menerima hal ini sebagai jalan mendapatkan hukum, namun sebagian kaum tidak menyutujuinya sebab menurut mereka perbuatan Nabi SAW tidak memutuskan suatu hukum karena tidak memiliki bentuk (al-af’alu laisat tufidu hukman idz laha shiyagh). G. Dalil yang Seolah Bertentangan Dari semua jenis dalil yang diungkapkan oleh para ulama baik dari bentuk lafadz, fi’l dan iqrar kelak akan ditemukan dalil-dalil yang seolah bertentangan antara satu dengan lainnya, sehingga hal ini juga menjadikan ijtihad para ulama dalam suatu permasalahan fiqhiyyah menjadi berbeda Metode yang Dilakukan Para Ulama Saat Terjadi Taarudh Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyadul Fuhul menegaskan bahwasanya tidak pernah ada konflik dalam quran dan hadist, yang ada hanya pemahaman para mujtahid yang berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum . Imam Zarkasyi juga menambahkan dalam Al bahrul Muhith bahwa kontradiksi dalam quran dan sunnah hanya terjadi pada jenis dalil yang dzanni, atau karena salah satunya menjadi mubayyin atau penjelas dari yang lainnya, atau salah satunya menjadi nasikh (penghapus) pada yang lainnya . Dari hal ini, para ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Karim Zaydan memformulasikan metode para ulama bila terjadi kontradiksi antara dalil. Sehingga istilah dalil yang saling bertentangan itu tidak pernah ada dalam kamus para mujtahid. Maka syarat memungkinkanya kejadian ini adalah: a) Dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad. b) Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal. c) Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran objek yang sama. d) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil. e) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir. Maka jika terjadi semua hal di atas, solusi yang ditawarkan oleh para ulama adalah: 1 Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian. Contoh: Surah Al-Baqarah ayat 180 menegaskan: كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِيْنَ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi) Menurut jumhur ulama, al quran bisa dinasakh oleh hadist mutawatir. 2 Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih). Contohnya Hadits Rasulullah saw. berikut: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ : كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad) Sementara Aisyah meriwayatkan hadits: عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ. Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik) 3 Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan. Contohnya: ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ “Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.” (HR. Muslim) Hadist selanjutnya: عن جبير بن مطعم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا بني عبد مناف لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار Wahai bani abdu Manaf, janganlah kalian larang seseorang thawaf di tempat ini (masjidil haram) dan shalat kapanpun sesukanya di malam ataupun siang hari (HR Tirmidzi & Nasai) 4 Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya. Contohnya: Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20 فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman: وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ, وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan: من صلى خلف الإمام فإن قراءة الإمام له قراءة “Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi baginya”. (HR. Jama’ah Metode di atas adalah yang dipakai oleh Hanafiah, sementara jumhur mengurutkannya sebagai berikut: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut . Siapa yang berhak melakukan metode tersebut? Jawabannya hanya satu, yakni para ulama mujtahid. Karena yang mampu mengetahui lafadz quran dan hadist, waktu turun, sebab turun, dan illat hanyalah mereka yang mempelajari secara mendalam keilmuwan ini. Seorang awam tidak berhak berbicara tentang detail makna dalil apalagi menjadikannya bahan debat yang dirinya sendiri kurang mneguasainya. Syaikh Ali Jum’ah mengatakan bahwa seseorang harus membedakan antara lapangan dakwah dan lapangan fatwa. Dalam lapangan dakwah semua orang boleh meneriakkan satu hadist lalu mengajak orang orang lain untuk mengamalkan kebaikannya. Namun tidak untuk yang berkonotasi hukum, maka da’i hanya boleh menukil pendapat para ulama, bukan membuat fatwa sendiri. Wallahu a’lamu bishhowab


Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah-548-jika-dalil-kita-selalu-bertentangan.html



Firman Arifandi, Lc.,

Pembahasan seputar dalil saat berbicara masalah agama, terlebih bila berbicara tentang perihal amaliyah menjadi bahan yang sangat seru untuk dikaji. Saking serunya, banyak yang lupa bahwa setiap perbedaan yang keluar dari ijtihad para ulama salah satunya adalah karena dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama seolah saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Lucunya lagi, pelajar agama zaman sekarang melupakan sisi ini, sehingga hanya karena dalil yang dianut berbeda dengan yang lainnya sampai-sampai menganggap dalil lain yang kontra terhadap dalilnya dianggap lemah, salah, atau bahkan palsu, bahkan tak segan sampai kepada tingkatan menjauhi dan memusuhi, padahal ulama zaman dahulu sudah membuat formulasi bagaiaman jika ada dalil-dalil yang kontradiktif. Hal tersebut dibuat supaya orang-orang di zaman ini tidak terlalu banyak berdebat atas apa yang sebenarnya mereka belum kuasai. Penyebab Perbedaan Ijtihad Para Ulama Menurut Ibnu Rusyd (520 – 595 H) Ibnu Rusyd menulis sebuah kitab fenomenal berjudul Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqhtasid. Kitab ini meskipun bukan satu-satuya kitab fiqih dengan metode komparasi antar madzhab, namun ada kesitimewaan lain dimana dalam muqaddimahnya disebutkan bahwa tujuan beliau menyusun kitab ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada masalah-masalah hukum yang telah disepakati (al-muttafaq), ada pula persoalan hukum yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf) lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Selain itu untuk menunjukan adanya perbedaan di antara para mujtahid dengan cara menyoroti prinsip dan aturan dasar (al-ushul wa al-qawa’id) yang mereka pakai ketika syari’ah mendiamkan sebuah persoalan (al-masa’il al-maskutu ‘anha). Masalah-masalah tersebut sebagian besar adalah yang terang-terangan telah disebutkan di dalam Qur’an maupun Sunah atau yang berkaitan erat dengan dua sumber hukum itu. Menurut Ibnu Rusyd, pada tataran inilah akan diketahui persoalan mana yang telah disepakati (al-muttafaq ‘alaiha), dan persoalan mana yang masih diperdebatkan di antara para ahli fiqh sejak periode sahabat sampai berkembangnya masa taqlid. A. Boleh Tidaknya Qiyas Sedikitnya ada tiga metode yang dapat diterima dalam pengambilan hukum syariah dari Nabi SAW menurut beliau, yaitu: dari kata-katanya (lafadz), atau tindakannya (fi’l), atau ketetapannya (iqrar). Menurut Jumhur Ulama, apabila tidak didapati dari ketiga itu maka cara pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan qiyas atau analogi. Namun hal ini ditentang secara tegas oleh satu golongan bernama madzhab dzahiri. Maka ini menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan ijtihad tersebut, yakni kebolehan Qiyas atau tidak. B. Kesimpulan Hukum dari lafadz Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada empat macam cara pengambilan hukum dari apa yang didengar baik dari teks atau lafadz. Pertama, ungkapan umum yang dipahami secara keumumannya (عام يحمل على عمومه). Kedua, ungkapan khusus dipahami secara kekhususannya (خاص يحمل على خصوصه). Ketiga, ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya (لفظ عام أريد به الخاص). Keempat, ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya (خاص يراد به العموم). Sebagai contohnya adalah: Pertama, QS. Al-Maidah ayat 3: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa kata khinzîr (babi) itu mencakup segala jenis babi, selama kata itu bukan kata yang memiliki banyak makna (al-isytirâk), artinya hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama (babi), seperti bulu babi, itu tidak menunjukan keharaman. Jadi yang diharamkan itu segala jenis babi, bukan hewan lain yang meskipun memiliki nama yang sama. Kedua, contoh ungkapan umum yang dimaknai dengan kekhususannya tertera dalam QS. At-Taubah ayat 103: خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم “Ambillah zakat dari harta-harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Para ulama telah sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Jadi kata “harta-harta mereka” (amwâlihim) itu harus dimaknai dengan kekhussannya. Artinya tidak semua harta benda diwajibkan untuk dizakati. Ketiga, contoh ungkapan khusus yang dimaknai dengan keumumannya tertera dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ “Janganlah mengatakan kepada keduanya (orangtua) perkataan “ah”” Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ayat di atas termasuk dalam ruang lingkup penegasan tingkat yang lebih rendah dengan tingkat yang lebih tinggi (bi al-adnâ alâ al-a’lâ). Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian berkata “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras kepada kedua orangtua. C. Perbedaan memahami perintah dan larangan Dalam redaksi yang tertera pada Quran dan Sunnah terkadang kalimat yang menuntut pengerjaan terhadap sesuatu menggunakan kata perintah (al-amr), kadang dengan kalimat berita yang bermakna perintah (bishighati al-khabari yurâdu bihi al-amr). Begitu pula dengan kalimat yang menuntut untuk meninggalkan suatu perkara kadang menggunakan kata larangan (an-nahy), kadang juga dengan kalimat berita yang bermakna larangan. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa para ulama kadang berbeda pendapat terhadap suatu hukum, sebab kalimat perintah (al-amr) itu bisa menunjukan wajib atau mandub. Atau seseorang akan menunggu hingga ditemukan dalil yang menjelaskannya. Hal ini juga berlaku dalam kasus kalimat larangan (an-nahy), apakah harus dihukumi haram atau makruh. D. Lafadz Musytarak (kata-kata yang lebih dari satu arti) Al quran dan Hadist sebagai sumber dalil utama dalam Islam, keduanya menggunakan bahasa arab, di antara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu selain ungkapan umum yang diamskudkan khusus dan sebaliknya tadi. Adapulan perbedaan tinjauan lain dari segi mantuq dan mafhumnya. Sebagai contoh dalam lafadz musytarak yang menjadi alasan perbedaan ulama dalam mengambil kesimpulan hukum adalah kata nafyu dalam bentuk kata ينفوا dalam al Quran surat al maidah ayat 33: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al Maidah : 33) Jumhur ulama berpendapat, bahwa kata yunfau adalah bermakna dikeluarkan dari pemukiman atau diasingkan, sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa maknanya adalah majazi, sehingga difahami sebagai dipenjara. E. Perbedaan memahami dalil khitab Menurut Ibnu Rusyd, dalil al-khitâb adalah ketika seseorang paham akan suatu kewajiban yang berkaitan dengan suatu persoalan, maka menjadi tidak wajib terhadap hal lain, atau sebaliknya, tidak wajibnya suatu persoalan, menjadi hal wajib untuk persoalan lain. Contoh Nabi SAW pernah bersabda: فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ الزَّكَاةُ “Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”. Ada suatu kelompok yang memahami hadis di atas dengan logika dalil al-khitâb sehingga membawa sebuah kesimpulan bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib bayar zakat. F. Perbedaan Menerima Hukum Yang Diambil Dari Perbuatan (Fi’l) Jika dalam pembahasan lafadz semua bentuk taklifi seperti wajib, mandub, mubah, makruh dan haram disebutkan, maka di dalam dalil fi’l ini hanya tiga bentuk saja: wajib, mandub dan mubah, sebab semua perbuatan Nabi SAW mustahil kita hukumi makruh atau bahkan haram. Maka menurut Ibnu Rusyd, sebagian besar umat Islam menerima hal ini sebagai jalan mendapatkan hukum, namun sebagian kaum tidak menyutujuinya sebab menurut mereka perbuatan Nabi SAW tidak memutuskan suatu hukum karena tidak memiliki bentuk (al-af’alu laisat tufidu hukman idz laha shiyagh). G. Dalil yang Seolah Bertentangan Dari semua jenis dalil yang diungkapkan oleh para ulama baik dari bentuk lafadz, fi’l dan iqrar kelak akan ditemukan dalil-dalil yang seolah bertentangan antara satu dengan lainnya, sehingga hal ini juga menjadikan ijtihad para ulama dalam suatu permasalahan fiqhiyyah menjadi berbeda Metode yang Dilakukan Para Ulama Saat Terjadi Taarudh Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyadul Fuhul menegaskan bahwasanya tidak pernah ada konflik dalam quran dan hadist, yang ada hanya pemahaman para mujtahid yang berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum . Imam Zarkasyi juga menambahkan dalam Al bahrul Muhith bahwa kontradiksi dalam quran dan sunnah hanya terjadi pada jenis dalil yang dzanni, atau karena salah satunya menjadi mubayyin atau penjelas dari yang lainnya, atau salah satunya menjadi nasikh (penghapus) pada yang lainnya . Dari hal ini, para ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Karim Zaydan memformulasikan metode para ulama bila terjadi kontradiksi antara dalil. Sehingga istilah dalil yang saling bertentangan itu tidak pernah ada dalam kamus para mujtahid. Maka syarat memungkinkanya kejadian ini adalah: a) Dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad. b) Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal. c) Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran objek yang sama. d) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil. e) Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir. Maka jika terjadi semua hal di atas, solusi yang ditawarkan oleh para ulama adalah: 1 Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian. Contoh: Surah Al-Baqarah ayat 180 menegaskan: كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِيْنَ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi) Menurut jumhur ulama, al quran bisa dinasakh oleh hadist mutawatir. 2 Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih). Contohnya Hadits Rasulullah saw. berikut: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابٍ قَالَ : كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad) Sementara Aisyah meriwayatkan hadits: عَنْ عَاىِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَىِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَالَتَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُوْمُ. Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik) 3 Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan. Contohnya: ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ “Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.” (HR. Muslim) Hadist selanjutnya: عن جبير بن مطعم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا بني عبد مناف لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار Wahai bani abdu Manaf, janganlah kalian larang seseorang thawaf di tempat ini (masjidil haram) dan shalat kapanpun sesukanya di malam ataupun siang hari (HR Tirmidzi & Nasai) 4 Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya. Contohnya: Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20 فَآقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman: وَإِذَا قُرِىَءالْقُرْءَانُ فَآسْتَمِعُوْالَهُ, وَأَنْصِتُواْلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan: من صلى خلف الإمام فإن قراءة الإمام له قراءة “Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi baginya”. (HR. Jama’ah Metode di atas adalah yang dipakai oleh Hanafiah, sementara jumhur mengurutkannya sebagai berikut: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut . Siapa yang berhak melakukan metode tersebut? Jawabannya hanya satu, yakni para ulama mujtahid. Karena yang mampu mengetahui lafadz quran dan hadist, waktu turun, sebab turun, dan illat hanyalah mereka yang mempelajari secara mendalam keilmuwan ini. Seorang awam tidak berhak berbicara tentang detail makna dalil apalagi menjadikannya bahan debat yang dirinya sendiri kurang mneguasainya. Syaikh Ali Jum’ah mengatakan bahwa seseorang harus membedakan antara lapangan dakwah dan lapangan fatwa. Dalam lapangan dakwah semua orang boleh meneriakkan satu hadist lalu mengajak orang orang lain untuk mengamalkan kebaikannya. Namun tidak untuk yang berkonotasi hukum, maka da’i hanya boleh menukil pendapat para ulama, bukan membuat fatwa sendiri. Wallahu a’lamu bishhowab


Sumber : https://www.rumahfiqih.com/fikrah-548-jika-dalil-kita-selalu-bertentangan.html



Contact Form

Name

Email *

Message *