Nomor Urut :
445
honan fatwa No. 559 tahun 2008 yang berisi:
Apakah seorang perempuan boleh mengajar
Alquran yang mencakup cara membaca Alquran, ilmu Rasm Mushaf, matan-matan ilmu
dan lain sebagainya, kepada kaum lelaki dikarenakan tidak adanya guru laki-laki
yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada mereka?
Jawaban
Hukum seorang perempuan belajar dari guru
lelaki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam
syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga
sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat
tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat
perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan
dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya
menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka
berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat
yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah
jika lelaki dan perempuannya saling menempel dan saling bersentuhan, bukan
murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat.
Hal ini sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi r.a., ia
berkata, "Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi pernikahan, dia
mengundang Nabi saw. dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan
menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid." Imam
Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: "Bab Perempuan Melayani Kaum
Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung."
Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya,
"Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata, "Hadis ini menunjukkan
kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi
pernikahannya."
Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu Baththal
berkata, "Hadis ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki
dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para
wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi saw.. Hal ini seperti
yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran,
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul
Bâri, "Hadis ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan
melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak
dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga
auratnya dalam keadaan tertutup. Hadis ini juga menunjukkan kebolehan seorang
suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."
Dalam kitab Shahîh Bukhari dan Muslim, Abu
Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya yang
melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa keduanya berpura-pura
makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama sekali, sehingga
mereka berdua pun tidur dengan perut kosong tanpa makan malam terlebih dahulu.
Dalam kitab Qirâ adh-Dhayf, Ibnu Abi Dunya
meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa seorang lelaki berkata kepada istrinya,
"Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang
diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai
lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan
lampu." Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan
mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya
juga ikut makan." Zahir kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam
satu nampan.
Nabi saw. lalu berkata kepada mereka,
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ
"Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian
tadi malam."
Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka,
"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Al-Hasyr: 9).
Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan dari Abu
Juhaifah r.a., ia berkata, "Nabi saw. mempersaudarakan antara Salman dan
Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda`. Ia bertemu
dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu
bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab,
"Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia." Sebentar
kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan", dan
seterusnya.
Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri
berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain]
kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang
sesuatu yang mendatangkan maslahat."
Adapun berkaitan dengan perempuan mengajar
ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana diketahui dalam Sunnah
bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa
saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan hadis yang diriwayatkan dari mereka,
bahkan dari para perawi wanita setelah mereka. Dalam kitab al-Ishâbah fî Tamyîz
ash-Shahâbah, Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus
empat puluh tiga (1543) perawi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama
hadis dan sastrawan.
Dahulu, para wanita muslimah selalu
berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan sosial
secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan,
ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi penanggung jawab
hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam
al-Mu'jam al-Kabîr –dengan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu
Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, "Saya melihat Samra` binti Nuhaik
–seorang perempuan yang pernah bertemu dengan Nabi saw.— memakai pakaian perang
dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan
masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."
Dengan demikian, tidak ada seorang pun
yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Sunnah Nabawiyah
dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada suatu tempat dan waktu
tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi kebenaran agama dan syariat. Ajaran
agama berada pada tingkat tertinggi dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika
ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara' dengan lebih berhati-hati, maka
ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan
mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
تعليم النساء للرجال
تاريخ الإجابة :
01/04/2008 الرقـم
المسلسل : 445
اطلعنا على الطلب المقيد برقم 559 لسنة 2008م
المتضمن: هل يجوز لامرأة أن تعلم الرجال علم القراءات القرآنية من تلاوة ورسم مصحف
ومتون وغير ذلك؛ لعدم وجود مختصين من الرجال في هذا العلم في ذلك المكان؟
الـجـــواب
كون الرجال يتعلمون من المرأة وكون النساء يتعلمن
من الرجل مما لا مانع منه شرعًا، فالذي عليه عمل المسلمين سلفًا وخلفًا أن مجرد
وجود النساء مع الرجال في مكان واحد ليس حرامًا في ذاته، وأن الحرمة إنما هي في
الهيئة الاجتماعية إذا كانت مخالفة للشرع الشريف؛ كأن يُظهر النساءُ ما لا يحل لهن
إظهاره شرعًا، أو يكون الاجتماع على منكر أو لمنكر، أو يكون فيه خلوة محرَّمة
ونص أهل العلم على أن الاختلاط المحرم في ذاته
إنما هو التلاصق والتلامس لا مجرد اجتماع الرجال مع النساء في مكان واحد. وعلى ذلك
دلت السنة النبوية الشريفة: ففي الصحيحين عن سهل بن سعد الساعدي -رضي الله عنه-
قال: ((لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله
عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ
إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ))، وترجم له البخاري بقوله: "باب
قيام المرأة على الرجال في العرس وخدمتهم بالنفس". اهـ. قال القرطبي في التفسير:
"قال علماؤنا: فيه جواز خدمة العروسِ زوجَها وأصحابَه في عرسها". اهـ.
وقال ابن بطال في شرحه على البخاري: "وفيه أن الحجاب -أي انفصال النساء عن
الرجال في المكان أو في التعامل المباشر- ليس بفرض على نساء المؤمنين، وإنما هو
خاص لأزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-، كذلك ذكره الله في كتابه بقوله :
﴿وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾".
ا هـ
وقال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري":
"وفي الحديث جواز خدمة المرأة زوجها ومن يدعوه، ولا يخفى أن محل ذلك عند أمن
الفتنة ومراعاة ما يجب عليها من الستر، وجواز استخدام الرجل امرأته في مثل
ذلك". اهـ.
وفي الصحيحين أيضًا عن أبي هريرة -رضي الله عنه-
في قصة أبي طلحة الأنصاري في إطعامه الضيف: أنهما جعلا يُرِيانِه أنهما يأكلان،
فباتا طاويَين، وفي رواية ابن أبي الدنيا في "قِرى الضيف" من حديث أنس
-رضي الله عنه-: ((أن الرجل قال لزوجته: أثردي هذا القرص وآدِمِيه بسمنٍ ثم
قَرِّبيه، وأمري الخادم يطفئ السراج، وجعلت تَتَلَمَّظُ هي وهو حتى رأى الضيفُ
أنهما يأكلان)). اهـ
وظاهره أنهم اجتمعوا على طبق واحد. وقد قال له
النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: ((قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا
بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ)). ونزل فيهما قولُه تعالى: ﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾. [الحشر: 9].
وفي صحيح البخاري عن أبي جحيفة -رضي الله عنه-
قال: ((آخَى النبي - صلى الله عليه وآله وسلم- بين سَلمانَ وأبي الدرداء، فزار
سلمانُ أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء مُتَبَذِّلةً، فقال لها: ما شأنُكِ؟ قالت:
أخوكَ أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا. فجاء أبو الدرداء فصنع له طعامًا... إلى
آخر الحديث)). قال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي هذا
الحديث من الفوائد جواز مخاطبة الأجنبية والسؤال عما يترتب عليه المصلحة".
اهـ
وأما بخصوص تلقي الرجال للعلم الشرعي والموعظة من
المرأة العالمة فقد كان أزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- يبلغن العلم وينشرن
الدين، وهذه دواوين السنة في الرواية عنهن، بل وعن الطبقات من النساء بعدهن ممن
روى عنهن الرجال وحملوا عنهن العلم، وقد ترجم الحافظ ابن حجر العسقلاني في كتابه
"الإصابة في تمييز الصحابة" وحده لثلاث وأربعين وخمسمائة وألف 1543
امرأة منهن الفقيهات والمحدِّثات والأديبات.
وكانت المرأة المسلمة تشارك الرجال في الحياة
الاجتماعية العامة مع التزامها بلبسها الشرعي ومحافظتها على حدود الإسلام وآدابه،
حتى إن من النساء الصحابيات من تولت الحسبة، ومن ذلك ما رواه الطبراني في
"المعجم الكبير" بسندٍ رجالُه ثقات عن أبي بلج يحيى بن أبي سليم قال:
"رأيت سمراء بنت نُهَيْك -وكانت قد أدركت النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-
عليها درع غليظ وخمار غليظ بيدها سوط تؤدب الناس وتأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر
وعلى ذلك فلا يسع أحدًا أن ينكر هذا الواقع الثابت
في السنة النبوية الشريفة والتاريخ الإسلامي، ولا يصح جعل التقاليد والعادات
الموروثة في زمان أو مكان معين حاكمةً على الدين والشرع، بل الشرع يعلو ولا يُعلَى
عليه، ولا يجوز لمن سلك طريقة في الورع أن يُلزِم الناس بها أو يحملهم عليها أو
يشدد ويضيِّق فيما جعل الله لهم فيه يُسرًا وسعة
والله سبحانه وتعالى أعلم
Sumber : Situs Lembaga
Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=445