Fatwafikih.com

Friday, February 23, 2018

Hukum Perempuan Mengajar Lelaki







Nomor Urut : 445         

honan fatwa No. 559 tahun 2008 yang berisi:

    Apakah seorang perempuan boleh mengajar Alquran yang mencakup cara membaca Alquran, ilmu Rasm Mushaf, matan-matan ilmu dan lain sebagainya, kepada kaum lelaki dikarenakan tidak adanya guru laki-laki yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada mereka?




Jawaban


    Hukum seorang perempuan belajar dari guru lelaki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah jika lelaki dan perempuannya saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat.

    Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi r.a., ia berkata, "Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi pernikahan, dia mengundang Nabi saw. dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid." Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: "Bab Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung."

    Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya, "Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata, "Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi pernikahannya."

    Dalam Syarh al-Bukhari, Ibnu Baththal berkata, "Hadis ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi saw.. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran,

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53).

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri, "Hadis ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga auratnya dalam keadaan tertutup. Hadis ini juga menunjukkan kebolehan seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."

    Dalam kitab Shahîh Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa keduanya berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama sekali, sehingga mereka berdua pun tidur dengan perut kosong tanpa makan malam terlebih dahulu.

    Dalam kitab Qirâ adh-Dhayf, Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu." Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan." Zahir kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.

Nabi saw. lalu berkata kepada mereka,

قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ

"Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam."

Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka,

"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Al-Hasyr: 9).

    Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan dari Abu Juhaifah r.a., ia berkata, "Nabi saw. mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda`. Ia bertemu dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia." Sebentar kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan", dan seterusnya.

    Al-Hafizh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain] kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang sesuatu yang mendatangkan maslahat."

    Adapun berkaitan dengan perempuan mengajar ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana diketahui dalam Sunnah bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan hadis yang diriwayatkan dari mereka, bahkan dari para perawi wanita setelah mereka. Dalam kitab al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus empat puluh tiga (1543) perawi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama hadis dan sastrawan.

    Dahulu, para wanita muslimah selalu berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi penanggung jawab hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr –dengan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, "Saya melihat Samra` binti Nuhaik –seorang perempuan yang pernah bertemu dengan Nabi saw.— memakai pakaian perang dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."

    Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Sunnah Nabawiyah dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi kebenaran agama dan syariat. Ajaran agama berada pada tingkat tertinggi dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara' dengan lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


تعليم النساء للرجال

تاريخ الإجابة : 01/04/2008          الرقـم المسلسل : 445

    اطلعنا على الطلب المقيد برقم 559 لسنة 2008م المتضمن: هل يجوز لامرأة أن تعلم الرجال علم القراءات القرآنية من تلاوة ورسم مصحف ومتون وغير ذلك؛ لعدم وجود مختصين من الرجال في هذا العلم في ذلك المكان؟

الـجـــواب

كون الرجال يتعلمون من المرأة وكون النساء يتعلمن من الرجل مما لا مانع منه شرعًا، فالذي عليه عمل المسلمين سلفًا وخلفًا أن مجرد وجود النساء مع الرجال في مكان واحد ليس حرامًا في ذاته، وأن الحرمة إنما هي في الهيئة الاجتماعية إذا كانت مخالفة للشرع الشريف؛ كأن يُظهر النساءُ ما لا يحل لهن إظهاره شرعًا، أو يكون الاجتماع على منكر أو لمنكر، أو يكون فيه خلوة محرَّمة

    ونص أهل العلم على أن الاختلاط المحرم في ذاته إنما هو التلاصق والتلامس لا مجرد اجتماع الرجال مع النساء في مكان واحد. وعلى ذلك دلت السنة النبوية الشريفة: ففي الصحيحين عن سهل بن سعد الساعدي -رضي الله عنه- قال: ((لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ))، وترجم له البخاري بقوله: "باب قيام المرأة على الرجال في العرس وخدمتهم بالنفس". اهـ. قال القرطبي في التفسير: "قال علماؤنا: فيه جواز خدمة العروسِ زوجَها وأصحابَه في عرسها". اهـ. وقال ابن بطال في شرحه على البخاري: "وفيه أن الحجاب -أي انفصال النساء عن الرجال في المكان أو في التعامل المباشر- ليس بفرض على نساء المؤمنين، وإنما هو خاص لأزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-، كذلك ذكره الله في كتابه بقوله : ﴿وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾". ا هـ

    وقال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي الحديث جواز خدمة المرأة زوجها ومن يدعوه، ولا يخفى أن محل ذلك عند أمن الفتنة ومراعاة ما يجب عليها من الستر، وجواز استخدام الرجل امرأته في مثل ذلك". اهـ.
    وفي الصحيحين أيضًا عن أبي هريرة -رضي الله عنه- في قصة أبي طلحة الأنصاري في إطعامه الضيف: أنهما جعلا يُرِيانِه أنهما يأكلان، فباتا طاويَين، وفي رواية ابن أبي الدنيا في "قِرى الضيف" من حديث أنس -رضي الله عنه-: ((أن الرجل قال لزوجته: أثردي هذا القرص وآدِمِيه بسمنٍ ثم قَرِّبيه، وأمري الخادم يطفئ السراج، وجعلت تَتَلَمَّظُ هي وهو حتى رأى الضيفُ أنهما يأكلان)). اهـ

    وظاهره أنهم اجتمعوا على طبق واحد. وقد قال له النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: ((قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ)). ونزل فيهما قولُه تعالى: ﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾. [الحشر: 9].
    وفي صحيح البخاري عن أبي جحيفة -رضي الله عنه- قال: ((آخَى النبي - صلى الله عليه وآله وسلم- بين سَلمانَ وأبي الدرداء، فزار سلمانُ أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء مُتَبَذِّلةً، فقال لها: ما شأنُكِ؟ قالت: أخوكَ أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا. فجاء أبو الدرداء فصنع له طعامًا... إلى آخر الحديث)). قال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي هذا الحديث من الفوائد جواز مخاطبة الأجنبية والسؤال عما يترتب عليه المصلحة". اهـ

    وأما بخصوص تلقي الرجال للعلم الشرعي والموعظة من المرأة العالمة فقد كان أزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- يبلغن العلم وينشرن الدين، وهذه دواوين السنة في الرواية عنهن، بل وعن الطبقات من النساء بعدهن ممن روى عنهن الرجال وحملوا عنهن العلم، وقد ترجم الحافظ ابن حجر العسقلاني في كتابه "الإصابة في تمييز الصحابة" وحده لثلاث وأربعين وخمسمائة وألف 1543 امرأة منهن الفقيهات والمحدِّثات والأديبات.
    وكانت المرأة المسلمة تشارك الرجال في الحياة الاجتماعية العامة مع التزامها بلبسها الشرعي ومحافظتها على حدود الإسلام وآدابه، حتى إن من النساء الصحابيات من تولت الحسبة، ومن ذلك ما رواه الطبراني في "المعجم الكبير" بسندٍ رجالُه ثقات عن أبي بلج يحيى بن أبي سليم قال: "رأيت سمراء بنت نُهَيْك -وكانت قد أدركت النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- عليها درع غليظ وخمار غليظ بيدها سوط تؤدب الناس وتأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر

    وعلى ذلك فلا يسع أحدًا أن ينكر هذا الواقع الثابت في السنة النبوية الشريفة والتاريخ الإسلامي، ولا يصح جعل التقاليد والعادات الموروثة في زمان أو مكان معين حاكمةً على الدين والشرع، بل الشرع يعلو ولا يُعلَى عليه، ولا يجوز لمن سلك طريقة في الورع أن يُلزِم الناس بها أو يحملهم عليها أو يشدد ويضيِّق فيما جعل الله لهم فيه يُسرًا وسعة
والله سبحانه وتعالى أعلم

Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=445



Hukum menambahkan nama suami/keluarga suami di belakang nama istri





Nomor Urut : 152         

honan fatwa No. 1835 tahun 2008 yang berisi:

    Di Prancis, pernikahan membuat seorang istri menambahkan nama suaminya di belakang namanya. Apa hukum masalah ini? Apakah seorang muslim tercela kalau melakukannya?

Jawaban:

    Dalam tradisi masyarakat Barat, seorang anak perempuan jika belum menikah maka di belakang namanya disebutkan nama ayah dan keluarganya. Namun, setelah menikah maka ia harus menambahkan nama keluarga suaminya setelah namanya. Selain itu, perempuan yang telah menikah juga harus memberikan penjelasan di depan namanya bahwa ia telah menikah, yaitu dengan meletakkan kata Mrs., Madam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam kebiasaan masyarakat Barat ini, penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri adalah seperti sebuah penjelasan bahwa perempuan itu telah menikah dengan seseorang dari keluarga suaminya. Menurut mereka, penggunaan model penjelasan seperti ini sama sekali tidak memunculkan kesalahpahaman adanya hubungan darah.

    Pemberian identitas bersifat lapang dan fleksibel sehingga dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Contohnya penjelasan identitas dengan hak wala` --misalnya: Ikrimah maula Ibnu Abbas--, dengan pekerjaan –misalnya: al-Ghazzali (tukang tenun)—dan dengan gelar –seperti al-A'raj (si pincang), al-Jahizh (yang matanya melotot), Abu Muhammad--. Terkadang seseorang juga dinisbatkan kepada ibunya meskipun nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah. Dapat pula dengan hubungan pernikahan, seperti dalam ayat: "imra`atu Nuh dan imra`atu Luth" (at-Tahrîm: 10) dan ayat: "imra`atu Fir'aun" (at-Tahrîm: 11). Makna asli imra`ah adalah perempuan, sehingga makna asli dari kata-kata tersebut adalah "perempuan Nuh", "perempuan Luth" dan "perempuan Fir'aun". Namun ketika kata "perempuan" ini disandingkan dengan nama lelaki yang merupakan suaminya, maka maksudnya adalah istrinya.

    Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a. bahwa Zainab istri Ibnu Mas'ud r.a. datang kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata, "Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu." "Zainab siapa?" tanya beliau. "Istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau berkata, "Ya, persilahkan dia masuk."

    Yang dilarang dalam Islam adalah menisbatkan diri kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti kata: anak, bin, binti dan lain sebagainya. Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam. Hal itu pun tidak dapat dikategorikan dalam perbuatan menyerupai orang kafir yang dicela dalam pandangan syarak, karena penyerupaan yang dilarang adalah yang memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang ditiru itu adalah perbuatan yang diharamkan dan adanya maksud untuk menyerupai. Jika salah satu syarat ini tidak ditemukan maka pelakunya tidak dapat dicela. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah saw. sakit. Lalu kami salat di belakang beliau yang melakukan salat dalam keadaan duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami dalam keadaan bediri semua, maka beliau pun memberi isyarat kepada kami agar kami duduk, sehingga kami semua pun duduk. Setelah salam, beliau bersabda,

إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا، اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّوْا قُعُوْداً
"Sesungguhnya kalian tadi hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukan salat dalam keadaan duduk maka salatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia salat dalam keadaan berdiri maka salatlah dalam keadaan berdiri juga."

    Kata kidtum berasal dari akar kata kâda (hampir). Kata ini ketika berada dalam kalimat positif menunjukkan tidak terjadinya sesuatu yang menjadi khabarnya (predikatnya), meskipun ia hampir saja terjadi. Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat, tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan Romawi.

    Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi, berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq, "Ketahuilah bahwa perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak. Kita makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka."

    Menambahkan nama keluarga suami di belakang nama istri tidaklah menafikan hubungan nasab dengan ayah sang istri, karena hal ini hanya merupakan penjelas identitas saja. Munculnya kekhawatiran terhadap haramnya hal tersebut adalah karena terdapat kebiasan umum berupa penghapusan kata "bin" atau "binti" yang menghubungkan antara nama seseorang dengan nama orang tuanya.

    Meskipun penghapusan ini telah menjadi kebiasaan umum untuk mempersingkat nama atau memudahkan penyebutan, hanya saja penghapusan tersebut mengakibatkan kerancuan dalam nama-nama yang tersusun dari dua kata atau lebih. Hal inilah yang membuat berbagai instansi resmi di Mesir menolak penggunaan nama yang tersusun dari dua kata atau lebih, karena memberikan kesan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu disebabkan tradisi penghapusan kata "bin" atau "binti" telah menjadi fenomena umum dalam masyarakat. Semua ini dapat saja dijadikan alasan bagi pelarangan penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri di kalangan masyarakat tersebut.

    Akan tetapi, masalah ini akan berbeda dalam masyarakat yang mempunyai kebiasaan tersebut namun terdapat tanda yang menafikan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu, yaitu penyebutan perempuan yang bersuami dengan Mrs., Madam dan lain sebagainya.

    Selama kebiasaan ini tidak bertentangan dengan syariat maka insyaallah penggunaannya dibolehkan. Syariat Islam sendiri menjadikan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu dalil. Dalam salah satu kaidah fikih dinyatakan bahwa al-'âdah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum).

    Syariat tidaklah menyerukan kaum muslimin untuk keluar dari kebiasaan masyarakat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk membuat mereka dapat berasosiasi dengan masyarakat mereka dan tidak terisolasi dari dunia luar. Sehingga, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakatnya dan dapat berdakwah kepada mereka untuk mengikut agama yang benar tanpa terjadi bentrokan dan persinggungan yang berefek negatif. Semua itu tentu saja selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.



Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=152

Sesatkah Jamaah Tabligh dan Pendirinya, Syaikh Muhammad Ilyas?



Nomor Urut : 361       

fatwa No. 176 tahun 2007 yang berisi:


    Apa pendapat anda mengenai kelompok Jamaah Tabligh dan pendirinya, Syaikh Muhammad Ilyas, yang pernah menyatakan dalam salah satu suratnya kepada para pengikutnya, "Jika Allah tidak menginginkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak mungkin melakukannya, bahkan jika orang itu adalah nabi. Jika Allah menginginkan para kaum lemah seperti kalian untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi, niscaya Allah dapat melakukannya. Oleh karena itu, kalian harus melakukan apa yang diminta dari kalian dan jangan melihat kelemahan kalian."

    Dalam suratnya yang lain dia berkata, "Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat akhir zaman, bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan pahala lima puluh orang sahabat."

    Dengan ucapannya itu, apakah dia telah berbuat kesalahan terhadap Allah dalam masalah pemilihan para rasul? Karena, perkataannya itu mengandung pengertian bahwa Allah telah mengutus para rasul yang tidak mampu mengemban risalah, padahal Allah telah berfirman,

"Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan". (Al-An'âm: 124).

Dan firman-Nya,

"Allah memilih utusan-utusan- (Nya) dari malaikat dan dari manusia". (Al-Hajj: 75).

    Jika para rasul itu layak mengemban risalah tapi Allah tidak menghendaki mereka untuk melaksanakan tugas yang diembankan kepada mereka, maka ini berarti suatu kekurangan dalam keinginan dan kehendak Allah. Syaikh Muhammad Ilyas menghendaki agar para pengikutnya melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh para rasul, sehingga hal ini merendahkan martabat para rasul dan juga Allah yang mengutus mereka.

    Ucapannya dalam surat yang kedua pun demikian. Semua ini tentu saja bertentangan dengan akidah kaum muslimin. Apa pendapat anda mengenai masalah ini?

Jawaban:

    Para penuntut ilmu hendaknya menjauhi tindakan dan sikap suka mengafirkan, memfasikkan, membid'ahkan dan menyesatkan orang lain, sebagaimana banyak tersebar di kalangan pelajar pada zaman ini. Hendaknya mereka memperhatikan etika berselisih dan berbeda pendapat dengan saudara-saudara mereka dan tidak menjadikannya sebagai alasan untuk menuduh kaum muslimin yang berbeda pendapat dengannya telah keluar dari agama. Karena, sikap seperti ini merupakan tindakan jahat dalam berselisih yang oleh Nabi saw. dikategorikan sebagai salah satu dari tanda-tanda kaum munafik. Beliau bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اْؤتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada empat hal yang jika terkumpul pada diri seseorang maka ia menjadi seorang munafik sejati. Jika salah satu saja dari keempat hal itu terdapat pada diri seseorang maka ia memiliki sebagian sifat munafik sampai ia meninggalkannya. (Yaitu) jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia tidak menepati dan jika berselisih ia berikap jahat (curang)." (Muttafaq alaih dari hadis Ibnu Umar r.a.).

    Tidaklah sama antara perbedaan dalam sarana dakwah yang digunakan –yang merupakan hal biasa dan dapat diterima karena perbedaan tabiat dan fitrah manusia— dengan perbedaan yang mengakibatkan perpecahan dan usaha mencari-cari kesalahan orang lain guna menuduhnya telah fasik dan keluar dari tuntunan Allah. Bahkan, terkadang tuduhan itu mencapai derajat pengafiran, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok kaum muslimin di zaman ini. Perbedaan dalam bentuk kedua ini telah dilarang oleh Allah SWT dalam Alquran,

"Dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian". (Al-Anfâl: 46).

    Nabi saw. juga mengancam seseorang yang menuduh saudaranya dengan tuduhan kafir. Beliau bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفِسْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
"Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekafiran, kecuali tuduhan itu kembali kepadanya jika orang yang dia tuduh itu tidak demikian." (HR. Bukhari dari hadis Abu Dzar r.a.).
Dan sabda Rasulullah saw.,

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Muslim dari hadis Abdullah bin Umar r.a.).

    Secara hukum asal, perkataan dan perbuatan yang berasal dari seorang muslim harus dipahami dengan makna yang tidak bertentangan dengan akidah tauhid serta tidak boleh terburu-buru menuduhnya sebagai kafir atau musyrik. Karena, keislaman orang tersebut merupakan indikasi kuat yang mengharuskan kita untuk tidak mengartikan perbuatannya itu dengan sesuatu yang mengandung kekafiran. Ini adalah ketentuan atau kaidah umum yang sepatutnya diterapkan pada semua tindakan dan ucapan yang berasal dari kaum muslimin. Imam Malik berkata mengenai hal ini, "Barang siapa yang dari dirinya keluar sesuatu yang dapat dimaknai sebagai bentuk kekafiran dari sembilan puluh sembilan sisi, namun dapat juga dimaknai sebagai bentuk keimanan dari satu sisi saja, maka hal itu harus dipahami sesuai dengan makna keimanan itu."

    Seorang muslim wajib meyakini bahwa Nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang telah meninggal tapi dengan izin Allah SWT. Beliau tidak dapat melakukan itu dengan kemampuannya sendiri, melainkan dengan kekuasaan dan kekuatan Allah. Sedangkan kaum Nasrani berkeyakinan bahwa beliau dapat menghidupkan orang yang telah meninggal dengan kekuatan beliau sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s. adalah Allah, atau putra Allah, atau salah satu oknum Allah. Dengan demikian, jika kita mendengar seorang muslim berkata, "Saya berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang telah meninggal.", maka perkataannya ini –yang juga dikatakan oleh orang Kristen— tidak sepatutnya kita jadikan alasan bahwa orang muslim tersebut telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Akan tetapi, kita wajib mengartikan perkataan tersebut dengan makna yang sesuai dengan keislaman dan akidah tauhidnya.

    Begitu pula, seorang muslim berkeyakinan bahwa ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah, dan sebaliknya, seorang musyrik berkeyakinan bahwa ibadah boleh ditujukan kepada selain Allah. Oleh karena itu, jika kita melihat seorang muslim melakukan suatu perbuatan untuk selain Allah yang bisa mengandung arti penyembahan dan bukan, maka kita wajib mengartikannya dengan makna yang sesuai dengan akidahnya sebagai seorang muslim. Karena, seseorang yang benar-benar telah mengikrarkan diri sebagai seorang muslim, maka ikrar tersebut tidak dapat dibatalkan dengan suatu keraguan atau kebimbangan.

    Jika hukum seperti ini saja diberlakukan untuk para muslimin yang awam, maka tentu akan lebih layak untuk diberlakukan pada orang yang dikenal kebenaran akidahnya. Apalagi orang tersebut telah diakui kelebihan dan keutamaannya dalam berdakwah, serta sosok yang berada di garda depan dalam menyampaikan agama Allah dan mengajak kaum muslimin untuk kembali berpegang teguh kepada agama mereka dan sunnah nabi mereka. Syaikh Muhammad Ilyas adalah termasuk dalam kategori ini, insyaallah.

    Adapun perkataan beliau, "Jika Allah tidak menginginkan seseorang melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak mungkin melakukannya, bahkan jika dia seorang nabi pun", adalah perkataan yang sesuai dengan akidah Islam. Karena, perkataan ini menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Hal ini sesuai firman Allah,

"Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Al-Insân: 30).

    Adapun perkataannya setelah itu, "Jika Allah menginginkan para kaum lemah seperti kalian untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi, maka Allah pasti dapat melakukannya. Oleh karena itu, kalian harus melakukan apa yang diminta dari kalian dan jangan melihat kelemahan kalian," maka perkataan ini bisa saja menjadi kenyataan berdasarkan hukum akal (rasio) yang masuk dalam lingkup kekuasaan Allah, namun tidak mungkin terjadi berdasarkan hukum dan realitas syarak. Seandainya pun hal itu terjadi dalam realitas, maka hal itu tidak berarti bahwa pelakunya lebih utama dari para nabi. Karena keistimewaan tidak harus menyebabkan keutamaan. Jihad para sahabat bersama Rasulullah saw., misalnya, merupakan keistimewaan yang tidak diberikan kepada para nabi. Tapi, meskipun demikian, para nabi lebih utama dari para sahabat.

    Syaikh Muhammad Ilyas tidak mengatakan bahwa orang yang dengan seizin Allah dapat melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh para nabi adalah lebih baik dari para nabi tersebut. Lalu bagaimana perkataan yang dinukil darinya itu bisa diartikan dengan makna yang tidak sesuai dengan isinya? Yaitu dianggap mengandung pelecehan terhadap para nabi dan rasul, sehingga dianggap telah menyalahkan Allah dalam hal pemilihan para rasul-Nya karena telah memilih para rasul yang tidak mampu mengemban risalah-Nya. Dan jika para rasul itu layak mengemban risalah itu tapi kemudian Allah tidak menghendaki mereka melaksanakan tugas yang diembankan kepada mereka, maka ini berarti terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam keinginan dan kehendak Allah itu. Sungguh, kata-kata ini sangat tidak pantas dan tidak dapat diterima oleh akal maupun naql (dalil syarak).

Tuduhan ini dapat dibantah dari beberapa sudut:

1. Pemilik perkataan ini (Syeikh Ilyas) tidak mengatakan bahwa perbuatan yang tidak diizinkan oleh Allah untuk dilakukan oleh para nabi adalah tugas yang dibebankan kepada mereka sehingga hal itu tidak bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap para rasul.
2. Bahkan, seandainya pun yang dimaksud adalah tugas yang dibebankan kepada para nabi itu, maka hal itu tidak mengharuskan adanya ketidaksempurnaan dalam keinginan dan kehendak Allah ataupun pelecehan terhadap para nabi. Karena, terdapat perbedaan antara kehendak penciptaan (al-masyî`ah al-kawniyyah) dan keinginan pensyar'iatan (al-irâdah asy-syar'iyyah). Allah terkadang memerintahkan suatu perbuatan berdasarkan keinginan pensyariatan (berdasarkan syarak), namun Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam kehendak penciptaan (kenyataan). Misal untuk keinginan pensyariatan adalah Allah telah memerintahkan Nabi Adam a.s. untuk tidak memakan buah pohon Khuldi, tapi dalam kehendak penciptaan, Nabi Adam a.s. memakannya. Misalnya juga, secara keinginan pensyariatan Allah memerintahkan Ibrahim a.s. untuk menyembelih anaknya, tapi dalam kehendak penciptaan Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam kenyataan. Tidak membedakan antara kedua hal tersebut merupakan pendapat kelompok Muktazilah dan para pelaku bid'ah yang bertentangan dengan Alquran, Sunnah dan ijmak salaf saleh.
3. Allah SWT adalah Maha Berkehendak, sehingga Dia tidak wajib atau tidak harus melakukan sesuatu. Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginan-Nya. Tidak ada seorangpun yang boleh menghukumi Allah dalam urusan makhluk-Nya dengan mengatakan bahwa jika para nabi tidak melakukan suatu perkara maka Allah tidak akan membiarkan orang lain melakukannya, walaupun hal itu tidaklah mustahil baik secara akal maupun syarak.
4. Adapun menuduh bahwa para rasul tidak mampu mengemban tugas risalah karena tidak melaksanakan beberapa hal yang diperintahkan kepada mereka, maka ini adalah sikap tidak sopan dan tidak tahu malu terhadap mereka. Para ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa jika memang ada perintah Allah yang tidak dilakukan oleh sebagian rasul, maka hal itu sama sekali bukanlah suatu perbuatan maksiat dari mereka, tapi bisa saja mereka dimaafkan berdasarkan alasan mereka atau bisa jadi itu bukan perintah yang wajib.

    Adapun perkataan Syaikh Muhammad Ilyas, "Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat akhir zaman, bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan pahala lima puluh orang sahabat," maka kata-kata ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis shahih. Diriwayatkan dari Abu Umayyah asy-Sya'bani, dia berkata, "Saya mendatangi Abu Tsa'labah al-Khusyaniy r.a., lalu saya berkata padanya, "Apa pendapatmu mengenai ayat ini?" "Ayat apa?" tanyanya. Saya menjawab, "Allah berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petujuk". (Al-Mâidah: 105).

    Abu Tsa'labah al-Khusyaniy r.a. menjawab, "Ketahuilah, demi Allah saya telah bertanya mengenai ayat ini kepada pakarnya. Saya telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab,

بَلِ ائْتَمِرُوْا بِالْمَعرُوْفِ وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا، وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِيْ رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَدَعِ الْعَوَامَّ؛ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيْهِنّ مِثْلُ الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيْهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلاً يَعْمَلُوْنَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَجْرُ خَمْسِيْنَ رَجُلاً مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ
"Justru, lakukanlah amar makruf dan nahi mungkar, hingga jika kamu telah melihat kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, urusan dunia yang lebih dipilih dari urusan agama dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri, maka pikirkanlah dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena di belakang kalian terdapat masa-masa yang ketika itu bersikap sabar adalah seperti menggenggam bara api. (Pahala) orang yang berbuat kebajikan ketika itu seperti pahala lima puluh orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan kalian." Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, sama dengan pahala lima puluh orang dari kami atau dari mereka?" Beliau menjawab, "Pahala lima puluh orang dari kalian." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dihasankan oleh Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban." Hadis ini juga mempunyai jalur-jalur lain yang tidak sedikit.)

    Maka, bagaimana mungkin perkataan yang sesuai dengan sabda Nabi saw. seperti ini dituduh telah melecehkan para nabi dan bertentangan dengan akidah kaum muslimin? Lihatlah, bagaimana sikap senang berselisih telah membuat pelakunya melakukan hal seperti ini, bahkan membuatnya mengingkari sabda Rasulullah saw. tanpa berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar.

    Sebagaimana diketahui pula bahwa besarnya pahala tidak mengharuskan keutamaan secara mutlak. Kebersamaan para sahabat dengan Rasulullah saw. merupakan satu keutamaan yang tidak dapat disamai oleh keutamaan dan amalan yang lain. Menurut para ulama, membandingkan pahala suatu perbuatan dapat dilakukan jika perbuatan yang dibandingkan adalah sama. Adapun bertemu dengan Rasulullah saw., maka itu adalah satu keutamaan yang tidak bisa ditandingi dengan keutamaan dan kedudukan yang lain. Sebagaimana telah disebutkan juga bahwa sebuah keistimewaan yang dimiliki seseorang tidak mengharuskan dia menjadi lebih utama.

   Oleh karena itu, kaum muslimin hendaknya bertakwa kepada Allah dalam bersikap terhadap para saudaranya. Janganlah sampai perbedaan yang bersifat variatif menyebabkan perdebatan dan munculnya tuduhan kafir, fasik atau menyimpang. Seorang muslim tidak boleh menyibukkan dirinya dengan mencari-cari kesalahan saudaranya, karena hal itu ibarat berperang bukan di medan tempur. Semua itu hanya akan menghancurkan barisan, mencerai-beraikan usaha dan membuat kita lupa dari kewajiban membangun masyarakat dan persatuan umat.

    Imam Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadis yang menurut beliau berderajat hasan dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. menaiki mimbarnya dan menyeru dengan suara yang keras, "Wahai orang-orang yang telah berikrar Islam dengan mulutnya tapi belum sampai iman ke dalam hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menghina mereka dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan barang siapa yang kesalahannya dicari-cari oleh Allah maka Allah pasti akan membuka aibnya itu meskipun dia berada dalam rumahnya."

    Kami memohon kepada Allah agar menyatukan hati kaum muslimin dalam Alquran dan Sunnah serta memberikan pemahaman yang baik dan maksud Allah dalam penciptaan-Nya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.



Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=361

Hukum mengekspor katak untuk dikonsumsi



Nomor Urut : 378         

fatwa No. 949 tahun 2007 yang berisi:

    Apakah boleh memburu katak dan mengekspornya setelah disembelih?

Jawaban

    Pertanyaan ini mengandung beberapa permasalahan, yaitu memburu katak, menyembelihnya dan mengekspornya untuk dikonsumsi. Hukum mengekspor katak berkaitan dengan hukum penyembelihannya, sehingga masalah ini kembali kepada masalah hukum membunuh katak.

    Terdapat beberapa hadis yang melarang membunuh katak, di antaranya adalah hadis Abdurrahman bin Utsman bahwa Rasulullah saw. melarang membunuh katak. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah dan Hakim serta ia shahihkan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang membunuh burung Suradi (shrike), katak, semut dan burung Hudhud. (HR. Ibnu Majah).

    Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. melarang membunuh katak. Beliau bersabda,

نَقِيْقُهَا تَسْبِيْحٌ
"Suaranya adalah tasbih." (HR. Thabrani dalam al-Mu'jam ash-Shaghîr dan al-Mu'jam al-Awsâth).

    Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Amr r.a., ia berkata, "Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbih." Al-Baihaqi berkata, "Sanadnya adalah shahih."

    Oleh karena itulah, para ulama mazhab Hanafi, Syafi'i, Hambali, Zhahiri dan yang lainnya berpendapat bahwa memakan katak adalah haram. Mereka melandaskan pendapatnya pada kaidah yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dilarang untuk dibunuh maka tidak boleh dimakan, karena jika boleh dimakan tentu boleh dibunuh.

    Ada sebagian ulama yang berpendapat kehalalan memakan katak. Mereka berdalilkan keumumam ayat,

"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut." (Al-Mâidah: 96).

    Dan keumuman hadis,

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
"Dia (laut) itu suci airnya dan halal bangkainya."

    Para ulama yang membolehkan tersebut adalah para ulama mazhab Maliki, Ibnu Abi Laila, asy-Sya'bi, ats-Tsauri dalam salah satu pendapatnya. Menurut mereka hadis-hadis yang melarang membunuh katak adalah dhaif.

    Kami lebih condong kepada pendapat jumhur ulama yang melarang memakan katak berdasarkan larangan untuk membunuhnya. Karena, para ulama menyatakan bahwa secara umum hadis-hadis yang melarang membunuh katak itu adalah hasan.

    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak boleh memburu katak, menyembelihnya dan mengekspornya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.



Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=378

Contact Form

Name

Email *

Message *