Nomor
Urut : 152
honan
fatwa No. 1835 tahun 2008 yang berisi:
Di Prancis, pernikahan membuat seorang
istri menambahkan nama suaminya di belakang namanya. Apa hukum masalah ini?
Apakah seorang muslim tercela kalau melakukannya?
Jawaban:
Dalam tradisi masyarakat Barat, seorang
anak perempuan jika belum menikah maka di belakang namanya disebutkan nama ayah
dan keluarganya. Namun, setelah menikah maka ia harus menambahkan nama keluarga
suaminya setelah namanya. Selain itu, perempuan yang telah menikah juga harus
memberikan penjelasan di depan namanya bahwa ia telah menikah, yaitu dengan
meletakkan kata Mrs., Madam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam
kebiasaan masyarakat Barat ini, penambahan nama keluarga suami di belakang nama
istri adalah seperti sebuah penjelasan bahwa perempuan itu telah menikah dengan
seseorang dari keluarga suaminya. Menurut mereka, penggunaan model penjelasan
seperti ini sama sekali tidak memunculkan kesalahpahaman adanya hubungan darah.
Pemberian identitas bersifat lapang dan
fleksibel sehingga dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Contohnya
penjelasan identitas dengan hak wala` --misalnya: Ikrimah maula Ibnu Abbas--,
dengan pekerjaan –misalnya: al-Ghazzali (tukang tenun)—dan dengan gelar
–seperti al-A'raj (si pincang), al-Jahizh (yang matanya melotot), Abu
Muhammad--. Terkadang seseorang juga dinisbatkan kepada ibunya meskipun nama
ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah. Dapat pula dengan hubungan
pernikahan, seperti dalam ayat: "imra`atu Nuh dan imra`atu Luth"
(at-Tahrîm: 10) dan ayat: "imra`atu Fir'aun" (at-Tahrîm: 11). Makna
asli imra`ah adalah perempuan, sehingga makna asli dari kata-kata tersebut adalah
"perempuan Nuh", "perempuan Luth" dan "perempuan
Fir'aun". Namun ketika kata "perempuan" ini disandingkan dengan
nama lelaki yang merupakan suaminya, maka maksudnya adalah istrinya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu
Said al-Khudri r.a. bahwa Zainab istri Ibnu Mas'ud r.a. datang kepada beliau
dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata,
"Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu." "Zainab
siapa?" tanya beliau. "Istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau berkata,
"Ya, persilahkan dia masuk."
Yang dilarang dalam Islam adalah
menisbatkan diri kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan kata-kata
yang menunjukkan sebagai anak, seperti kata: anak, bin, binti dan lain
sebagainya. Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan
identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang
sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah
tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan
kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam. Hal itu pun tidak dapat
dikategorikan dalam perbuatan menyerupai orang kafir yang dicela dalam
pandangan syarak, karena penyerupaan yang dilarang adalah yang memenuhi dua
syarat, yaitu perbuatan yang ditiru itu adalah perbuatan yang diharamkan dan
adanya maksud untuk menyerupai. Jika salah satu syarat ini tidak ditemukan maka
pelakunya tidak dapat dicela. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Pada
suatu ketika Rasulullah saw. sakit. Lalu kami salat di belakang beliau yang
melakukan salat dalam keadaan duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami dan
melihat kami dalam keadaan bediri semua, maka beliau pun memberi isyarat kepada
kami agar kami duduk, sehingga kami semua pun duduk. Setelah salam, beliau
bersabda,
إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ
فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا،
اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى
قَاعِداً فَصَلُّوْا قُعُوْداً
"Sesungguhnya
kalian tadi hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang
Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang
duduk. Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukan
salat dalam keadaan duduk maka salatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia
salat dalam keadaan berdiri maka salatlah dalam keadaan berdiri juga."
Kata kidtum berasal dari akar kata kâda (hampir).
Kata ini ketika berada dalam kalimat positif menunjukkan tidak terjadinya
sesuatu yang menjadi khabarnya (predikatnya), meskipun ia hampir saja terjadi.
Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan
oleh para sahabat, tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau
menyerupai perbuatan tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai
orang-orang Persia dan Romawi.
Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi,
berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq, "Ketahuilah bahwa perbuatan
menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak. Kita makan dan minum
seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela dan
dengan maksud mengikuti mereka."
Menambahkan nama keluarga suami di belakang
nama istri tidaklah menafikan hubungan nasab dengan ayah sang istri, karena hal
ini hanya merupakan penjelas identitas saja. Munculnya kekhawatiran terhadap
haramnya hal tersebut adalah karena terdapat kebiasan umum berupa penghapusan
kata "bin" atau "binti" yang menghubungkan antara nama
seseorang dengan nama orang tuanya.
Meskipun penghapusan ini telah menjadi
kebiasaan umum untuk mempersingkat nama atau memudahkan penyebutan, hanya saja
penghapusan tersebut mengakibatkan kerancuan dalam nama-nama yang tersusun dari
dua kata atau lebih. Hal inilah yang membuat berbagai instansi resmi di Mesir
menolak penggunaan nama yang tersusun dari dua kata atau lebih, karena
memberikan kesan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu disebabkan
tradisi penghapusan kata "bin" atau "binti" telah menjadi
fenomena umum dalam masyarakat. Semua ini dapat saja dijadikan alasan bagi
pelarangan penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri di kalangan
masyarakat tersebut.
Akan tetapi, masalah ini akan berbeda dalam
masyarakat yang mempunyai kebiasaan tersebut namun terdapat tanda yang
menafikan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu, yaitu penyebutan
perempuan yang bersuami dengan Mrs., Madam dan lain sebagainya.
Selama kebiasaan ini tidak bertentangan
dengan syariat maka insyaallah penggunaannya dibolehkan. Syariat Islam sendiri
menjadikan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu
dalil. Dalam salah satu kaidah fikih dinyatakan bahwa al-'âdah muhakkamah (adat
kebiasaan dapat menjadi sumber hukum).
Syariat tidaklah menyerukan kaum muslimin
untuk keluar dari kebiasaan masyarakat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk
membuat mereka dapat berasosiasi dengan masyarakat mereka dan tidak terisolasi
dari dunia luar. Sehingga, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakatnya
dan dapat berdakwah kepada mereka untuk mengikut agama yang benar tanpa terjadi
bentrokan dan persinggungan yang berefek negatif. Semua itu tentu saja selama
kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.
Wallahu
subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=152
0 comments:
Post a Comment