Fatwa No.: 8609
Dari fatwa: Yang Mulia A. Dr. Nazir Muhammad Ayyad - Mufti Besar
Pertanyaan
Apa hukum menggabung salat bagi wanita yang sedang menyusui? Ada seorang ibu yang mempunyai seorang bayi perempuan, dan sering kali bajunya terkena najis karena air kencing anaknya yang masih menyusui, sehingga ia kesulitan untuk mensucikan bajunya atau mengganti bajunya setiap hendak shalat, dan ia ingin shalat berjamaah. Untuk meringankan kesusahan dan kesulitan, apa hukum Islam tentang hal ini?
Jawaban
Prinsip dasarnya adalah salat wajib harus dilakukan pada waktu-waktu yang ditentukan. Apabila ada udzur yang membolehkan penundaan shalat diawal waktunya, maka tidak ada larangan secara syariat untuk melaksanakan shalat tersebut pada waktu mana saja yang telah ditentukan oleh syariat. Terlebih lagi wanita yang sedang menyusui, ia merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari kotoran air kencing bayi yang disusuinya, atau mengganti pakaiannya setiap hendak shalat, maka dibolehkan baginya untuk menggabungkan dua shalat, yaitu shalat Dhuhur dan Ashar atau shalat Magrib dan Isya, secara sah, yaitu shalat pertama di akhir waktunya dan shalat kedua di awal waktunya. Apabila hal tersebut terasa berat dan tidak memungkinkan sama sekali, maka ia boleh menggabungkan dua shalat tersebut tanpa mengurangi jumlah rakaatnya. Misalnya shalat Dhuhur, Ashar, dan Isya sebanyak empat rakaat tanpa menguranginya.
Tujuan hukum Islam dalam menentukan waktu mulai dan berakhirnya setiap shalat
Ditetapkan bahwa shalat wajib memiliki waktu-waktu tertentu yang harus ditunaikan; Allah SWT berfirman:
Ø¥ِÙ†َّ الصَّÙ„َاةَ Ùƒَانَتْ عَÙ„َÙ‰ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِينَ Ùƒِتَابًا Ù…َÙˆْÙ‚ُوتًا
{Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman pada suatu waktu yang ditentukan}[An-Nisa’: 103].
Firman Allah {Ù…َÙˆْÙ‚ُوتًا} berarti bahwa hal itu wajib dan waktunya telah ditentukan. Sebagian dari kemudahan, dispensasi, dan keringanan Islam adalah bahwa Islam telah menetapkan waktu untuk melaksanakan salat, dan telah memberikannya awal dan akhir, dan di antaranya ada waktu untuk melaksanakan salat. Maka apabila ada udzur yang membolehkan untuk menunda shalat di awal waktunya. Maka tidak mengapa untuk menunaikan shalat pada waktu kapan saja yang telah ditentukan/dibatasi waktunya menurut syariat.
Syariat didasarkan pada upaya meringankan dan memudahkan urusan orang-orang yang bertanggung jawab dan menyingkirkan kesulitan dan kesukaran dari mereka. Allah SWT berfirman: “ Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesempitan bagi kamu .” (Al-Baqarah: 185). Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang mudah dan penuh toleransi .” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Maksud dan tujuan hukum Islam di balik ini adalah untuk mendorong manusia agar tekun melaksanakan kewajiban tanpa gangguan, tanpa kesulitan atau kelalaian dalam melaksanakannya. Imam Al-Shatibi berkata dalam Al-Muwafaqat ketika menjelaskan hikmah menghilangkan kesulitan dari orang yang wajib (2/233, red. Ibnu Affan): [Ketahuilah bahwa kesulitan itu dihilangkan dari orang yang wajib karena dua sebab: Pertama, karena takut terputus dari jalan, benci terhadap ibadah, dan benci terhadap kewajiban. Makna ini mencakup rasa takut mendatangkan kerusakan pada dirinya baik jasmani, rohani, harta benda, maupun kondisinya. Yang kedua: Takut tidak mampu dalam berlomba-lomba menunaikan berbagai kewajiban seorang hamba, seperti mengurus keluarga dan anak, dengan kewajiban-kewajiban lain yang datang mengiringi. Barangkali dengan menyelidiki beberapa karya tersebut, perhatian mereka akan teralihkan, dan akan menyingkirkan orang yang didakwa tanpa karya tersebut, dan barangkali ia ingin memaksa kedua belah pihak untuk membesar-besarkan penyelidikan mereka, jadi ia menyingkirkan mereka.
Maksud dan tujuan hukum Islam di balik ini adalah untuk mendorong manusia agar tekun melaksanakan kewajiban tanpa gangguan, tanpa kesulitan atau kelalaian dalam melaksanakannya. Imam Al-Shatibi berkata dalam Al-Muwafaqat ketika menjelaskan hikmah menghilangkan kesulitan dari orang yang wajib (2/233, red. Ibnu Affan): [Ketahuilah bahwa kesulitan itu dihilangkan dari orang yang wajib karena dua sebab: Pertama, karena takut terputus dari jalan, benci terhadap ibadah, dan benci terhadap kewajiban. Makna ini mencakup rasa takut mendatangkan kerusakan pada dirinya baik jasmani, rohani, harta benda, maupun kondisinya. Yang kedua: Takut tidak mampu dalam berlomba-lomba menunaikan berbagai kewajiban seorang hamba, seperti mengurus keluarga dan anak, dengan kewajiban-kewajiban lain yang datang mengiringi. Barangkali dengan menyelidiki beberapa karya tersebut, perhatian mereka akan teralihkan, dan akan menyingkirkan orang yang didakwa tanpa karya tersebut, dan barangkali ia ingin memaksa kedua belah pihak untuk membesar-besarkan penyelidikan mereka, jadi ia menyingkirkan mereka.
Hukum menggabung shalat dan syarat-syaratnya menurut para Ulama
Salah satu wujud kemudahan dan keringanan dalam memutuskan perkara adalah dibolehkannya menggabungkan shalat, yang telah diputuskan oleh mayoritas fukaha dari madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, tanpa batasan tempat dan waktu. Ulama Hanafi berbeda pendapat dalam hal ini, mereka berkata: Tidak halal menggabungkan dua shalat di waktu salah satunya karena suatu uzur, baik ketika sedang bepergian maupun di rumah, kecuali pada hari Arafah dan Muzdalifah.
Imam Al-Kasani Al-Hanafi berkata dalam “Bada’i’ Al-Sanai’” (1/126, edisi Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah): [Tidak boleh menggabungkan dua shalat wajib pada salah satunya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Maka boleh menggabungkan shalat zuhur dan ashar pada waktu shalat zuhur di Arafah, dan shalat magrib dan isya pada waktu shalat isya di Muzdalifah. Para perawi yang meriwayatkan tentang ritual-ritual Rasulullah saw, semoga Allah memberkahi beliau dan keluarganya serta memberi mereka kedamaian, sepakat bahwa beliau melakukan hal itu. Tidak boleh menggabungkan shalat dengan alasan bepergian atau hujan.]
Adapun mayoritas ulama yang memperbolehkan shalat jamak secara umum tanpa dibatasi tempat dan waktu, memiliki uraian yang rinci tentang masalah ini. Berikut uraiannya: Madzhab Maliki memperbolehkan menggabungkan shalat ketika bepergian dengan shalat di rumah ketika hujan, berlumpur, gelap, atau sakit, demikian pula di Arafah dan Muzdalifah.
Syekh Ad-Dardir Al-Maliki berkata dalam Al-Sharh Al-Kabeer (1/368, dan Hasyiya Al-Dasuqi merupakan komentarnya, yang diterbitkan oleh Dar Al-Fikr): [Dan ketika ia mengakhiri pembahasannya tentang qashar shalat ketika bepergian, ia berbicara tentang menggabungkan dua shalat yang waktunya sama. Ada enam sebab yang dapat dijadikan alasan untuk menggabungkannya: bepergian, hujan, lumpur yang gelap, penyakit, Arafah, dan Muzdalifah.]
Adapun madzhab Syafi’i memperbolehkan shalat jamak ketika bepergian jauh dan ketika bermukim di suatu tempat ketika hujan turun, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab.
Al-Khatib al-Sharbini al-Syafi’i berkata dalam “al-Iqna’” (1/175-176, ed. Dar al-Fikr): [Kemudian ia melanjutkan untuk menggabungkan shalat di tengah hujan dan berkata: (Hal itu dibolehkan bagi hadhir) maksudnya orang yang tidak sedang bepergian atau mukim (di tengah hujan) bahkan jika hujan itu lemah (bukan hujan lebat) sehingga membasahi pakaian dan yang seperti salju yang mencair dan hujan es (untuk menggabungkan) apa yang digabungkan dalam perjalanan bahkan jika shalat Jumat dengan shalat Ashar... Al-Syafi’i berkata seperti Malik: Saya melihat hal itu di tengah hujan dan tidak boleh menundanya; Karena turunnya hujan tidak mendatangkan kepada berjamaah, karena bisa saja berhenti, sehingga bisa ditunaikan di luar waktunya tanpa ada uzur, tidak seperti safar... Catatan: Telah dipelajari dari masa lampau bahwa tidak ada gabungan kecuali dalam safar dan semisal hujan, seperti penyakit, angin, kegelapan, ketakutan, dan lumpur, dan ini adalah fakta yang diketahui; Karena tidak pernah diriwayatkan dan tidak bertentangan dengan berita-berita zaman kecuali dengan keterangan yang jelas. Telah diriwayatkan dalam Al-Majmu’ dari sebagian sahabat kami bahwa hal itu dibolehkan dengan yang tersebut di atas. Ia berkata: “Ia sangat kuat terhadap penyakit dan lumpur, dan ia memilihnya di “Al-Rawdah”, namun ia memaksakannya terhadap penyakit, dan Ibnu Al-Maqri mengikutinya.”
Imam Nawawi meriwayatkan dari sebagian sahabatnya bahwa dibolehkan menggabungkan shalat dalam keadaan sakit, gelap, angin, ketakutan, dan lumpur. Beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu sebagai hujjahnya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, menggabungkan shalat di Madinah, tanpa takut dan tanpa hujan.” Diriwayatkan oleh Muslim. Lihat: “Rawdat al-Talibin” oleh Imam al-Nawawi (1/401, Islamic Office ed.), dan lihat “al-Majmu’” oleh Imam al-Nawawi (4/383-384, Dar al-Fikr ed.).
Ulama Hambali telah menguraikan dalil-dalil yang membolehkan shalat jamaah, mereka menyebutkan delapan dalil yang membolehkan shalat jamak, yaitu: musafir yang melakukan safar yang pendek, orang sakit yang jika tidak shalat secara jamak akan terasa berat, wanita yang sedang menyusui, orang yang memiliki uzur seperti wanita yang istihadah, orang yang tasalsul baul (kencing yang tak putus-putus), berangin terus menurus, orang yang luka yang darahnya tidak berhenti, orang yang tidak mampu bersuci dengan air dan tidak bertayammum setiap kali shalat, orang yang tidak mampu mengetahui waktu, dan orang yang memiliki uzur atau pekerjaan yang membolehkan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah, seperti orang yang khawatir terhadap diri mereka atau sibuk dengan pekerjaan yang dapat membahayakan rezekinya.
Imam Ibnu Najjar al-Futuhi berkata di dalam teks “Muntaha al-Iradah” (1/334-335, terbitan Mu’assasat al-Risalah): [Dibolehkan menggabungkan shalat Dhuhur dan Ashar dengan dua shalat Isya di waktu salah satunya... bagi orang yang bepergian jauh yang dapat mengqadha shalat, bagi orang sakit yang berat meninggalkannya, bagi wanita yang sedang menyusui karena kesulitan karena sering bersuci dari najis, bagi wanita yang sedang istihadah dan semisalnya, bagi orang yang tidak mampu bersuci dan tidak mampu bertayammum pada setiap shalat, atau tidak mampu mengetahui waktu, seperti orang yang buta dan semisalnya, dan bagi orang yang memiliki uzur atau kesibukan yang memungkinkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah]
Hukum Menggabungkan Shalat Bagi Wanita Menyusui yang Kesulitan Mensucikan Pakaiannya
Seorang wanita yang sedang menyusui dan merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari najis akibat kencing bayi yang disusuinya, dan ia ingin menjaga shalatnya, maka dalam syariat ada yang menghilangkan kesulitan tersebut darinya, melalui perluasan yang telah ada dalam madzhab para fukaha yang terhormat. Berikut penjelasannya secara berurutan:
Pertama, ia boleh mengerjakan dua shalat sekaligus secara sah, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, yakni shalat pertama di akhir waktu dan shalat kedua di awal waktu.
Imam Abu Bakar Al-Jassas Al-Hanafi berkata dalam “Syarh Mukhtasar Al-Tahawi” (2/101, edisi Dar Al-Bashair Al-Islamiyyah): [Persoalan: Tidak boleh menggabungkan dua shalat kecuali di Arafah dan Muzdalifah kecuali dalam kombinasi formal. Abu Jafar berkata: “Menggabungkan dua shalat, baik di rumah maupun di perjalanan, bagi orang sakit adalah shalat zuhur di akhir waktunya, shalat ashar di awal waktunya, dan shalat magrib dan shalat isya. Keduanya tidak digabung pada salah satu waktu kecuali di Arafah dan Jam’.” Abu Bakar Ahmad berkata: “Dasar dari hal ini adalah firman Allah SWT: “ Sesungguhnya shalat telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman suatu ketetapan waktu yang tertentu .” Artinya, kewajiban ditentukan.
Imam Nawawi Asy-Syafi’i berkata dalam al-Majmu’ (3/22) dalam salah satu jawabannya atas hadits tentang menggabungkan shalat di Madinah tanpa khawatir dan tanpa hujan, bahwa: [Maksudnya adalah dia menunda shalat zuhur hingga akhir waktunya dan memajukan shalat ashar pada awal waktunya, sehingga bentuknya menjadi seperti shalat jamak dan bukan jamak shalat]
Dan Hanbali memiliki sesuatu yang mirip dengan itu. Dalam sebagian mereka tidak memiliki halangan apa pun untuk menunda shalat hingga dekat waktu shalat kedua, dengan tujuan menghindari kepayahan dan mencari kemudahan.
Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata dalam Al-Mughni (1/283, edisi Perpustakaan Kairo): [Hakim menyebutkan bahwa dianjurkan untuk menunda shalat zuhur dan shalat magrib ketika cuaca mendung, dan menyegerakan shalat ashar dan shalat isya ketika cuaca mendung.] Ia berkata: Ahmad rahimahullah telah menyampaikan hal ini dalam riwayat jamaah. Di antara mereka adalah Al-Marwazi yang berkata: Shalat zuhur hendaknya diundur pada hari berawan, shalat ashar hendaknya dimajukan, shalat magrib hendaknya diundur, dan shalat isya hendaknya dimajukan. Hakim menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa ini adalah saat seseorang takut terhadap rintangan dan hambatan. Hujan, angin, dan dingin membuat kita sulit keluar untuk melaksanakan salat masing-masing. Maka dengan menunda salat pertama dan menyegerakan salat kedua, kesulitan ini dapat dicegah. Karena ia keluar menemui keduanya pada waktu yang sama, sehingga memperoleh keringanan, sebagaimana diperolehnya menggabungkan dua shalat pada waktu salah satunya.
Kedua: Menggabungkan shalat tanpa mengqasarnya (memendekkan) hukumnya boleh karena kebutuhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sebagian ulama, di antaranya sebagian ulama Syafi’i dan Hambali, dan wanita yang sedang menyusui membutuhkan ini atas kesulitan yang menimpanya.
Dalil kebolehan menggabung shalat di sini adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabung shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah, tidak ketika takut dan tidak juga ketika bepergian. ” Dalam riwayat lain, dia berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabung shalat Dhuhur dan Ashar, Magrib dan Isya di Madinah, tidak ketika takut dan tidak juga ketika kehujanan. ” Keduanya diriwayatkan oleh Muslim.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fath al-Bari (2/24, edisi Dar al-Ma’rifah): [Sekelompok imam mengambil makna yang tampak dari hadits ini dan membolehkan jamak shalat dalam segala kondisi karena kebutuhan. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Sirin, Rabi’ah, Ashab, Ibnu al-Mundhir, dan al-Qaffal al-Kabir. Al-Khattabi meriwayatkannya dari sekelompok ulama hadits.]
Imam Nawawi berkata dalam Rawdat al-Talibin (1/401): [Al-Khattabi meriwayatkan dari al-Qaffal al-Kabir al-Shashi dan dari Abu Ishaq al-Marwazi, bahwa dibolehkan menggabungkan shalat karena kebutuhan, tanpa adanya syarat takut, hujan, dan penyakit.] Ibn al-Mundhir, salah seorang sahabat kami, mengatakan hal yang sama.
Ulama Ibnu Qasim Al-Hanbali berkata dalam “Hashiyat Al-Rawd Al-Murabba” (2/396) tentang menggabungkan shalat: “Mazhab yang paling lengkap adalah madzhab Ahmad. Ia menyatakan bahwa hal itu dibolehkan karena kepayahan dan kesibukan.
Ketiga: Ulama Hambali mengkhususkan wanita menyusui dalam penyebutan tersendiri. Mereka menyatakan bahwa dibolehkan bagi wanita yang sedang menyusui, karena ia merasa kesulitan untuk membersihkan pakaiannya dari najis, menggabungkan dua shalat. Mereka menganggap keadaan ini sebagai salah satu uzur yang membolehkan menggabungkan shalat.
Ulama Hambali, Al-Bahuti, berkata di dalam Kashaf Al-Qina’ (2/4, red. Alam Al-Kutub): (Dan) perkara ketiga (bagi wanita yang sedang menyusui, karena sulitnya banyaknya najis), maksudnya adalah sulitnya bersuci pada setiap shalat. Abu Al-Ma’ali berkata: Hal itu seperti orang yang sakit.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang disebutkan di atas. Sebab diumpamakan wanita menyusui yang sedang menanggung kesusahan seperti orang sakit, maka tidak ada alasan lagi setelah itu, yakni sebagaimana yang disebutkan dalam dua riwayat, kecuali sakit. Lihat: “Penjelasan tentang Berakhirnya Wasiat” oleh Al-Bahuti (1/298, ed. Alam Al-Kutub).
Perlu diketahui, meskipun wanita menyusui dibolehkan menggabungkan shalat (jamak shalat) dalam kondisi tertentu yang nampak kepayahan, namun hal ini terbatas pada jamak shalat saja, tidak sampai meng-qashar shalat. Karena telah ditetapkan bahwa mengqashar shalat merupakan keringanan yang hanya dibolehkan dalam perjalanan jauh beserta syarat-syaratnya, dan karena tidak ada perjalanan jauh (safar), maka mengqashar shalat tidak diperbolehkan.
Kesimpulan
Berdasarkan hal tersebut, dan dalam kasus pertanyaan: Prinsip dasarnya adalah bahwa shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Apabila ada udzur yang membolehkan penundaan (ta'khir) shalat setelah waktu yang ditentukan, maka boleh untuk melaksanakan shalat tersebut kapan saja selama dalam waktu yang telah ditentukan syariat. Adapun wanita yang sedang menyusui, dan ia merasa kesulitan untuk bersuci dari najisnya pakaiannya akibat kencing bayi yang disusuinya, atau untuk mengganti pakaiannya setiap kali hendak melaksanakan shalat, maka dibolehkan baginya untuk menggabungkan dua shalat, yakni shalat Dhuhur dan Ashar atau shalat Magrib dan Isya, secara sah, yaitu shalat pertama di akhir waktunya dan shalat kedua di awal waktunya. Apabila hal tersebut terasa berat dan tidak memungkinkan sama sekali, maka ia boleh menggabungkan dua shalat tersebut tanpa menguranginya. Yakni shalat Dhuhur, Ashar, dan Isya sebanyak empat rakaat tanpa menguranginya.
Tuhan Yang Maha Kuasa mengetahui yang terbaik.
Sumber : https://bit.ly/4iThDNm