Fatwafikih.com

Thursday, February 22, 2018

Keuntungan dari transaksi yang tidak sah yang dilakukan di negara Non Muslim, bagaimana hukumnya?



Nomor Urut : 632      

Apakah boleh melaksanakan ibadah haji dengan uang hasil keuntungan akad yang tidak sah –seperti menjual minuman keras dan uang hasil riba—yang dilakukan dengan orang non-muslim di negeri non-muslim?

Jawaban
    Masalah ini adalah salah satu masalah fikih yang telah lama dibicarakan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa tidak ada riba dalam transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim di negeri-negeri non-muslim. Keduanya berpendapat bahwa di negeri non-muslim itu, seorang muslim boleh mengambil harta non-muslim dengan transaksi apapun walaupun dengan transaksi tidak sah (al-'aqd al-fâsid), seperti perjudian, menjual bangkai dan minuman keras, transaksi yang mengandung riba dan lain sebagainya, selama transaksi-transaksi itu tercapai dengan keridhaan mereka. Muhammad berkata, "Jika seorang muslim masuk ke negeri musuh (dâr al-harb) setelah mendapat izin masuk, maka dia dibolehkan untuk mengambil harta mereka dengan cara apapun jika ada kerelaan dari mereka."

    Muhammad bin Hasan dan ulama lainnya menyebut negeri non-muslim sebagai negeri musuh (dâr al-harb) karena didasarkan pada sistem pembagian wilayah yang umum digunakan pada zaman para ulama tersebut. Ketika itu, seluruh dunia memerangi kaum muslimin, sehingga para ahli fikih membagi wilayah di dunia menjadi dua bagian, yaitu wilayah negeri Islam –yang di dalamnya dilaksanakan syiar-syiar Islam— dan negeri musuh yang di dalamnya tidak ditegakkan hukum Islam. Sedangkan setelah mereka tidak lagi memerangi kaum muslimin, maka sistem pembagian wilayah yang biasa digunakan para ulama kontemporer adalah pembagian wilayah menjadi negeri muslim dan negeri non-muslim. Negeri-negeri non-muslim itu mempunyai hukum yang sama dengan negeri musuh pada masa lampau, kecuali yang berkaitan dengan perang itu sendiri yang saat ini tidak terjadi lagi, alhamdulillahi rabbil 'âlamîn. Oleh karena itu, hendaknya kita memperhatikan hal ini dengan baik, karena kita sedang menukil suatu masalah dari kitab-kitab klasik guna menjelaskan pendapat para ulama mazhab Hanafi, sehingga kita harus menjaga dan memperhatikan istilah-istilah yang mereka gunakan.

    Hal lain yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa maksud para ulama Hanafiyah dengan negeri musuh (dâr al-harb) adalah negeri kafir secara umum, baik sedang terjadi peperangan dengan mereka atau tidak. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa sebagian besar dalil yang mereka gunakan adalah berkaitan dengan negeri kafir, bukan negeri musuh, yaitu Mekah sebelum hijrahnya Nabi saw., sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan ketika itu, tidak ada negeri musuh di dunia. Deskripsi dalil tentu sangat berpengaruh terhadap pengambilan hukum sebagaimana ditetapkan berdasarkan ijmak. Imam Muhammad bin Hasan mengatakan, "Jika seseorang yang mendapatkan izin untuk masuk ke daerah musuh (al-musta`man) menghutangi kepada mereka (para musuh) satu dirham dengan pelunasan dua dirham dalam tenggang waktu satu tahun, lalu orang itu kembali ke negeri kita setelah itu pergi lagi ke negeri mereka, atau dia meninggalkan negeri musuh pada tahun yang sama kemudian pergi lagi ke negeri itu untuk mengambil dirham-dirhamnya setelah lewat satu tahun, maka perbuatan orang tersebut adalah dibolehkan."

    Setelah menyebutkan hadis riwayat Makhul yang mursal yang menyebutkan, "Tidak ada riba dalam transaksi yang dilakukan antara kaum muslimin dengan para musuh di negeri musuh," as-Sarkhasi berkata, "Riwayat ini adalah dalil bagi Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan rahimahumallah mengenai kebolehan penukaran satu dirham dengan imbalan dua dirham yang dilakukan oleh seorang muslim dengan seorang musuh di negeri musuh. ... Begitu juga, jika dia menjual kepada mereka sepotong bangkai atau memenangkan sejumlah uang dari perjudian dengan mereka, maka uang tersebut adalah uang halal baginya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah."

    Pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad adalah pendapat yang dipegangi dan dipilih dalam mazhab Hanafi. Imam as-Sarkhasi juga mengatakan, "Dalil kami adalah hadis yang kami riwayatkan dan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas r.a. serta yang lainnya bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah khutbahnya,

كُلَّ رِبًا كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَضَى أَنَّ أَوَّلَ رِبًا يُوضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
"Setiap riba yang dilakukan pada masa Jahiliyah adalah dibatalkan. Dan sesungguhnnya Allah 'azza wa jalla memutuskan bahwa riba pertama yang dibatalkan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib."

    Hal itu karena Abbas, setelah memeluk Islam, kembali ke Mekah dan melakukan riba. Perbuatannya itu diketahui oleh Rasulullah saw. tapi beliau tidak melarangnya, sehingga hal itu menunjukkan bahwa perbuatan Abbas tersebut adalah dibolehkan. Beliau menjadikan riba yang dibatalkan adalah yang belum diterima hingga tiba Pembukaan Kota Mekah, maksudnya adalah sampai Mekah menjadi negeri muslim.

    Al-Marghinani, al-Kamal bin Humam, al-Hashkafi dan Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak ada riba dalam transaksi yang dilakukan antara seorang muslim dengan seorang musuh di negeri musuh. Mereka juga menyatakan bahwa seorang muslim boleh mengambil harta musuh dengan cara apapun tapi tanpa adanya unsur penipuan dan pengkhianatan, karena penipuan dan pengkhianatan adalah perbuatan haram.

    Makna eksplisit dari pendapat para ulama Hanafiyah tersebut adalah bahwa hukum kebolehan riba itu bersifat umum, baik orang muslim itu mengambil ataupun memberikan riba di negeri musuh. Namun, al-Kamal bin Humam menyebutkan bahwa para ulama Hanafiyah ketika mengajar, membatasi makna kebolehan itu jika orang muslim tersebut mengambil harta dari musuh saja. Al-Kamal bin Humam lalu berkata, "Namun nampak jelas bahwa hal ini menuntut kebolehan melakukan akad riba jika tambahan itu didapatkan oleh orang muslim. Sedangkan akad riba lebih luas daripada itu, karena baik dua dirham yang dihasilkan dari satu dirham itu diberikan oleh pihak muslim ataupun pihak orang kafir, keduanya sama-sama tercakup di dalamnya. Jawaban kehalalan bagi masalah ini adalah bersifat umum untuk kedua pihak itu. Begitu juga dengan perjudian, yang terkadang keuntungan judi itu milik orang kafir, karena dia yang memenangkan perjudian itu. Padahal makna eksplisit dari kebolehan di atas adalah jika orang muslim tersebutlah yang mendapatkan tambahan. Para ulama kami, dalam penjelasan mereka ketika mengajar, tetap berpegang bahwa maksud mereka dari kebolehan riba dan judi dengan non-muslim adalah jika keuntungannya diperoleh oleh orang muslim. Hal itu didasarkan pada sebab hukum ('illat), meskipun keumuman jawaban tidak demikian." Perkataan ini dinukil oleh Ibnu Abidin dari al-Kamal bin Humam.

    Dengan demikian, kita dapat berpegang pada makna eksplisit dari mazhab Hanafi ini jika kemaslahatan akhir akan didapatkan oleh orang muslim, meskipun dia yang membayar tambahannya.

    Dalam pendapatnya ini, para ulama mazhab Hanafi berpegang dengan beberapa buah dalil, di antaranya adalah:

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Makhul dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda,

لاَ رِبَا بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَبَيْنَ أَهْلِ دَارِ الْحَرْبِ فِي دَارِ الْحَرْبِ
"Tidak ada riba dalam transaksi yang dilakukan antara kaum muslimin dengan para musuh di negeri musuh."

    As-Sarkhasi berkata, "Meskipun hadis ini adalah mursal, hanya saja Makhul adalah seorang ulama fikih yang tsiqah (terpercaya). Sehingga, hadis mursal dari riwayat orang sepertinya adalah diterima." Hadis mursal ini pun dijadikan dalil oleh al-Marghinani dan al-Kamal bin Humam.

2. Muhammad bin Hasan berpegang juga pada hadis Bani Qainuqa`. Dalam hadis itu disebutkan bahwa ketika Nabi saw. mengusir mereka dari Madinah, mereka berkata, "Kami mempunyai piutang-piutang yang belum jatuh tempo". Maka, beliau lalu bersabda,
تَعَجَّلُوْا أَوْ ضَعُوْا
"Segerakanlah [pengambilan pelunasannya] atau gugurkanlah [sebagian hutangnya]."

    Begitu juga ketika beliau mengusir Bani Nadhir dari Madinah, mereka pun berkata, "Kami mempunyai piutang pada orang-orang." Maka, Rasulullah saw. bersabda,
ضَعُوْا أَوْ تَعَجَّلُوْا
"Gugurkanlah [sebagian hutangnya] atau segerakanlah [pengambilan pelunasannya]."

    As-Sarkhasi berkata, "Diketahui bersama bahwa melakukan transaksi seperti ini –yaitu transaksi ribawi yang terjadi dalam bentuk kesepakatan pengguguran sebagian hutang dengan menyegerakan pelunasan (akad batalkanlah atau segerakanlah)— adalah transaksi yang dilarang bagi kaum muslimin. Karena, tidak boleh bagi seseorang yang menghutangi orang lain dalam tenggat waktu tertentu mengugurkan sebagian piutangnya dengan syarat orang yang berhutang menyegerakan pembayaran sebagian yang lain. Perbuatan itu dimakruhkan oleh Umar, Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum. Lalu Rasulullah saw. membolehkan transaksi itu untuk mereka (Bani Nadhir) karena mereka adalah musuh Islam ketika itu, sehingga mereka diusir dari Madinah. Dari sini kita mengetahui bahwa terdapat transaksi yang boleh dilakukan oleh seorang muslim dengan musuh namun tidak boleh dilakukan antar kaum muslimin."

3. Kisah pertandingan gulat yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan Rukanah ketika beliau masih di Mekah. Beliau bertanding gulat dengannya dengan imbalan sepertiga dari harta Rukanah di setiap kali pertandingan. Seandainya imbalan semacam itu tidak boleh dilakukan dalam suatu pertandingan, niscaya beliau tidak akan melakukannya. Ketika Rasulullah saw. telah menyelesaikan pertandingan yang ketiga, Rukanah berkata, "Tidak ada seorang pun yang dapat menjatuhkan tubuhku ke tanah. Dan bukan engkau yang mengalahkanku dalam pertandingan ini." Lalu Rasulullah saw. mengembalikan semua hartanya kepadanya.

    As-Sarkhasi berkata, "Rasulullah saw. mengembalikan imbalan itu sebagai suatu kebaikan beliau kepada Rukanah. Begitu banyak contoh lain yang menjelaskan bahwa beliau melakukan hal itu terhadap orang-orang musyrik guna melembutkan hati mereka sehingga mereka beriman." Dan jelas bahwa Mekah pada waktu itu bukanlah negeri musuh, tapi hanya negeri non-muslim (kafir).

4. Hadis Ibnu Abbas dan yang lainnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيَّ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؛ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
"Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan Jahiliyah adalah dibatalkan di bawah telapak kakiku. Dan riba pada masa Jahiliyah pun dibatalkan. Dan riba pertama yang saya batalkan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib. Semua riba itu dibatalkan."
    Hadis ini menunjukkan bahwa Abbas r.a., setelah masuk Islam –ketika ditawan pada perang Badr— meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk kembali ke Mekah, lalu beliau pun mengizinkannya. Selama di Mekah, Abbas mempraktekkan riba hingga tiba masa Penaklukkan Kota Mekah. Perbuatannya itu tidak luput dari pengetahuan Rasulullah saw., namun beliau tidak melarangnya sehingga hal itu menunjukkan kebolehannya. Rasulullah saw. membatalkan seluruh riba di negeri musuh yang belum diambil, hingga tiba Penaklukkan Kota Mekah dan berubahlah Mekah menjadi negeri Islam. Karena itulah, Rasulullah saw. membatalkan seluruh riba ketika menaklukkan kota Mekah.

5. Abu Bakar melakukan taruhan dengan orang-orang musyrik Quraisy sebelum hijrah ketika Allah menurunkan ayat:
"Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (Ar-Rûm: 1-5).

    Orang-orang Quraisy itu berkata, "Apakah menurutmu bangsa Romawi akan menang?" "Ya," jawab Abu Bakar. Mereka berkata lagi, "Apakah kamu berani bertaruh dengan kami akan hal itu?" "Ya," jawab Abu Bakar lagi. Lalu dia bertaruh dengan mereka. Kemudian Abu Bakar menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw., maka beliau pun bersabda,

اِذْهَبْ إِلَيْهِمْ فَزِدْ فِي الْخَطَرِ
"Kembalilah kepada mereka dan tambahlah uang taruhannya."

    Abu Bakar pun melakukan perintah Rasulullah saw. tersebut. Beberapa tahun kemudian bangsa Romawi berhasil mengalahkan bangsa Persia, sehingga Abu Bakar pun mengambil seluruh hasil taruhannya. Rasulullah saw. membolehkan taruhan yang dilakukan Abu Bakar dengan orang-orang Quraisy tersebut yang nyata-nyata merupakan bentuk perjudian. Ketika itu, Mekah merupakan negeri non muslim, bukan negeri musuh, karena peristiwa itu terjadi sebelum perintah untuk melakukan jihad.

6. Harta orang kafir adalah harta mubah, sehingga boleh diambil tapi tidak dengan cara menipu dan berkhianat, karena menipu dan berkhianat adalah perbuatan yang dilarang. Jika kaum muslimin mengalahkan mereka, maka kaum muslimin akan mengambil harta mereka tersebut sebagai harta rampasan perang.

    Dengan demikian, mazhab Hanafi berpendapat bahwa melakukan transaksi yang tidak sah dengan non-muslim di negeri non-muslim adalah perbuatan yang dibolehkan, baik transaksi itu dalam bentuk jual beli bangkai, babi, minuman keras, ataupun perjudian.

    Seseorang yang membaca pendapat para ulama mazhab Hanafi ini perlu mengetahui juga bahwa para ulama mazhab lainnya mempunyai kaidah dan metode yang dapat digunakan dalam melakukan transaksi dalam keadaan darurat. Sehingga, dapat dibuat sebagai penghubung antara pendapat para ulama mazhab Hanafi tersebut dengan pendapat para ulama dari mazhab-mazhab lainnya dalam masalah ini. Di antara kaidah-kaidah yang dapat digunakan adalah:

1. Mentaklid (mengikuti) pendapat yang membolehkan dalam keadaan darurat guna menghilangkan kesulitan dan kesempitan. Syaikh al-'Allamah Ibrahim al-Baijuri mengatakan, "Barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang masih diperdebatkan, maka dia boleh mentaklid (mengikuti) pendapat yang membolehkannya".

2. Dibolehkan mengingkari perbuatan yang dianggap menyimpang jika perbuatan itu dilarang berdasarkan ijmak para ulama. Al-'Allamah Suyuthi berkata, "Perbuatan yang masih diperselisihkan tidak boleh diingkari. Yang boleh diingkari adalah sesuatu yang disepakati keharamannya." Kaidah ini bermakna bahwa sebuah masalah jika masih diperdebatkan oleh para ulama dalam berbagai mazhab fikih, maka tidak boleh bagi salah satu pengikut mazhab tersebut mengingkari pendapat pengikut mazhab lain, karena masalah tersebut masih diperselisihkan.

3. Membedakan antara batasan fikih dan hukum dengan batasan sikap wara'. Para ulama sepakat bahwa batasan sikap wara' lebih luas daripada batasan makna hukum fikih. Karena, seorang muslim kadang meninggalkan sejumlah perbuatan yang dibolehkan karena ingin bersikap wara'. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat yang meninggalkan 90% dari perbuatan yang dibolehkan karena ingin bersikap wara' dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka meninggalkan perbuatan yang dibolehkan itu. Bersikap wara' tidak mempunyai batas, bahkan kadang seseorang mengeluarkan semua hartanya karena ingin bersikap wara' untuk menjauhi sesuatu yang dilarang.

    Dengan demikian, berdasarkan pendapat para ulama mazhab Hanafi yang telah disebutkan di atas, melaksanakan ibadah haji dengan harta yang dihasilkan dari transaksi yang tidak sah antara seorang muslim dan non-muslim di negeri non-muslim adalah dibolehkan, karena harta tersebut adalah harta halal, sebagaimana dikatakan oleh as-Sarkhasi. As-Sarkhasi berkata, "Begitu juga jika dia menjual kepada para musuh sepotong bangkai atau memenangkan sejumlah uang dari perjudian dengan mereka, maka uang tersebut adalah uang yang halal baginya." Jika harta tersebut adalah harta yang halal, maka menurut kesepakatan para ulama dibolehkan melaksanakan ibadah haji dengan uang tersebut.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=632

Tidak berpuasa pada bulan ramadhan bagi para pemain bola



Nomor Urut : 1202

Permintaan fatwa tanggal 10 Agustus 2008, yang berisi:

    Kami mendengar bahwa sebagian pemain bola tidak berpuasa pada bulan Ramadhan ketika mengikuti pertandingan atau latihan di siang hari bulan Ramadhan. Hal itu mereka lakukan karena beratnya kegiatan-kegiatan tersebut, sehingga mereka tidak mampu melakukannya sambil berpuasa.

    Pertanyaan kami, apa hukum syara' dalam masalah ini?

Jawaban

    Pemain bola yang terikat kontrak dengan klubnya berstatus hukum seperti orang sewaan (al-ajîr) yang harus melakukan pekerjaan tertentu sebagaimana ditetapkan dalam akad. Jika pekerjaan tersebut --dalam hal ini adalah bermain bola-- merupakan sumber rezekinya dan dia harus mengikuti pertandingan di siang hari bulan Ramadhan, sedangkan jika berpuasa maka kemungkinan besar puasanya dapat mengurangi kualitas permainannya, maka pemain itu diberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa dalam kondisi ini. 

    Para ulama telah menyatakan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan berat atau orang yang disewa untuk melakukan pekerjaan berat yang tidak mampu atau merasa kesulitan untuk melakukan pekerjaan itu sambil berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa.

    Dinyatakan dalam fikih Mazhab Hanafi bahwa orang yang bekerja pada orang lain dengan diupah dalam jangka waktu tertentu –ini terwujud dalam kontrak pemain dalam olah raga--, kemudian datang bulan Ramadhan sedangkan dia tidak mampu bekerja dengan baik jika berpuasa, maka dia dibolehkan tidak berpuasa walaupun mempunyai nafkah yang cukup untuk kehidupannya.

    Al-'Allamah Ibnu Abidin, seorang ulama Mazhab Hanafi dalam Hâsyiyah-nya, Radd al-Muhtâr 'alâ Durr al-Mukhtâr, menuliskan, "Dalam masalah orang yang melakukan profesi tertentu, yang seyogyanya dinyatakan adalah jika orang tersebut memiliki nafkah yang cukup untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka tidak halal baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini karena diharamkan baginya untuk meminta-minta dalam kondisi ini, maka lebih diharamkan lagi untuk tidak berpuasa. Jika dia tidak memiliki nafkah yang cukup, maka dia boleh bekerja untuk sekedar mencukupi kebutuhannya meskipun hal itu membuatnya harus tidak berpuasa, selama tidak mungkin baginya melakukan pekerjaan lain yang membuatnya tidak perlu membatalkan puasa."

    Begitu pula jika seseorang mengkhawatirkan tanamannya akan rusak atau dicuri orang jika tidak segera dipanen, sedangkan dia tidak menemukan orang yang mau bekerja dengan upah yang umum, walaupun dia mampu untuk membayarnya. Hal ini karena dia boleh memutus salat untuk alasan yang lebih ringan dari itu.

    Akan tetapi, jika seseorang menyewakan dirinya untuk bekerja pada orang lain hingga waktu tertentu, lalu datang bulan Ramadhan ketika masa bekerjanya belum selesai, maka pendapat yang zahir adalah dia boleh untuk tidak berpuasa walaupun dia memiliki apa yang mencukupinya jika orang yang mengupahnya tidak rela dengan pembatalan akad ijarah (sewa) itu. Masalah ini sama seperti masalah mengupah ibu susuan. Ibu susuan yang disewa wajib menyusui bayi yang disusukan kepadanya berdasarkan akad, dan dia boleh untuk tidak berpuasa jika khawatir puasanya dapat membahayakan si bayi. Jika dibolehkan tidak berpuasa karena kekhawatiran terhadap jiwa orang lain, maka lebih dibolehkan jika kekhawatiran itu terhadap jiwanya sendiri. Renungilah dengan baik. Hukum inilah yang saya anggap tepat. Wallahu a'lam bish shawâb." Demikian penjelasan Al-Allamah Ibnu Abidin.

    Al-'Allamah al-Haththab dari Mazhab Maliki berkata dalam kitab Mawâhib al-Jalîl Syarh Mukhtashar Khalîl, "Al-Barzili berkata, "Permasalahan: Hukum debu kain linen, debu arang dan debu timbunan gandum adalah seperti hukum debu semen." Dia berkata, "Berdasarkan hal ini muncul pertanyaan di zaman kita ini, jika bulan Ramadhan jatuh pada musim panas, apakah orang yang diupah untuk memanen tanaman dibolehkan untuk memanen meskipun hal itu memaksanya untuk tidak berpuasa? Fatwa untuk masalah ini dalam mazhab kami (Mazhab Maliki) adalah bahwa jika dia memerlukan pekerjaan itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya padahal pekerjaan itu tidak mungkin dilepaskan, maka dia boleh untuk tidak berpuasa. Jika dia tidak begitu memerlukan pekerjaan itu guna memenuhi kebutuhannya, maka dimakruhkan baginya untuk tidak berpuasa. Adapun pemilik kebun, maka tidak ada perbedaan ulama mengenai kebolehannya memanen hasil kebunnya walaupun hal itu mengakibatkan dia tidak berpuasa. Karena jika dia tidak memanennya maka dia telah melakukan sesuatu yang dilarang yaitu menyia-nyiakan harta. Demikian juga hukum para wanita yang bekerja menenun benang linen atau melembutkan benang dengan menggunakan mulut mereka. Jika bahan dasar benang linen itu dari wilayah Mesir maka hal itu dibolehkan secara mutlak. Tapi, jika bahan linen itu dari wilayah Daman yang mempunyai cita rasa sehingg dapat bercampur dengan bersama air liur, maka hukumnya seperti para pekerja lainnya. Hukum kebolehan ini jika kondisi badannya lemah. Namun, jika dia tidak memerlukan pekerjaan itu untuk menutupi kebutuhannya, maka dimakruhkan baginya melakukannya pada siang bulan Ramadhan."

    Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami dari Mazhab Syafi'i berkata dalam kitab Tuhfah al-Muhtâj, "Dibolehkan bagi orang yang sakit untuk tidak berpuasa pada hari Ramadhan, demikian juga sudah tentu puasa wajib lainnya. Dibolehkan juga (untuk tidak berpuasa) bagi para pekerja seperti tukang panen atau pekerja bangunan yang bekerja untuk dirinya atau untuk orang lain, baik dengan upah ataupun tidak –hukum ini tidak terbatas pada orang-orang ini saja berdasarkan apa yang akan dijelaskan dalam masalah ibu susuan— jika dia khawatir hartanya akan hilang jika dia berpuasa, sedangkan dia tidak mampu bekerja di malam hari. Atau dia dapat melakukannya di malam hari tetapi tidak cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu sehingga dikhawatirkan kekayaannya itu akan rusak atau berkurang dengan kadar yang cukup banyak. Inilah yang dapat dipahami secara eksplisit dari perkataan para ulama. Akan disebutkan beberapa hal yang menguatkan penjelasan di atas dalam bab penyelamatan harta terhormat." Demikian penjelasan Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami.

    Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani dalam Hâsyiyah-nya berkata, "Al-Adzru'i memfatwakan bahwa para pemanen wajib berniat puasa pada malam hari di setiap malam bulan Ramadhan. Kemudian barang siapa yang mendapatkan kesulitan yang besar dalam berpuasa di siang harinya maka dia boleh membatalkan puasanya. Sedangkan yang tidak merasa kesulitan, maka tidak boleh membatalkan puasanya. Pengarang kitab al-Î'âb menambahkan, "Secara eksplisit, dapat dipahami bahwa semua pemilik pekerjaan berat disamakan dengan pemanen. Bentuk kemutlakan kata dalam masalah ini menunjukkan tidak adanya perbedaan antara pemilik kebun, pekerja upahan –baik kaya atau tidak—dan orang yang melakukan pekerjaan secara suka rela. Memperkuat hal ini adalah adanya kemutlakan kata dalam masalah ibu susuan yang diupah atau yang tidak diupah, walaupun wanita yang disewa itu bukan sosok yang definitif. Memang –berdasarkan penjelasan yang akan kami paparkan—, dalam hal ini bisa dibenarkan adanya pembatasan makna kata, yaitu jika pekerjaan itu perlu dilakukan karena adanya kekhawatiran akan hilangnya kekayaan apabila tidak dilakukan di siang hari berdasarkan kebiasaan yang berlaku."

    Penjelasan di atas adalah berkaitan dengan pertandingan yang tidak bisa ditinggalkan oleh seorang pemain. Adapun latihan maka selama waktunya dapat diatur sesuai keinginan, maka harus dilaksanakan pada malam hari sehingga tidak menggangu pemain yang sedang berpuasa.

    Jika pihak yang bertanggung jawab dalam latihan tersebut tetap menjadwal waktu latihan di siang hari, padahal mereka mampu menempatkannya di malam hari, maka mereka berdosa karenanya. Sebab sesuatu yang dibolehkan karena kondisi darurat, atau karena adanya kebutuhan yang menempati posisi darurat, maka hanya dibatasi pada kondisi darurat atau kebutuhan itu saja. Dalam sebuah kaidah fikih dinyatakan: adh-dharûratu tuqaddar biqadarihâ (sesuatu yang darurat maka dibatasi sesuai dengan kadarnya). Allah ta'ala berfirman,

"Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui baras, maka tidak ada dosa baginya." (Al-Baqarah [2]: 173).

    Dalam ayat di atas Allah mengaitkan pengangkatan dosa dengan tidak adanya pelanggaran dan tindakan melampaui batas.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=1202

Contact Form

Name

Email *

Message *