Nomor Urut : 632
Apakah boleh melaksanakan ibadah haji dengan uang hasil
keuntungan akad yang tidak sah –seperti menjual minuman keras dan uang hasil
riba—yang dilakukan dengan orang non-muslim di negeri non-muslim?
Jawaban
Masalah ini adalah salah
satu masalah fikih yang telah lama dibicarakan oleh para ulama. Imam Abu
Hanifah dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa tidak ada riba dalam transaksi
yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non-muslim di negeri-negeri
non-muslim. Keduanya berpendapat bahwa di negeri non-muslim itu, seorang muslim
boleh mengambil harta non-muslim dengan transaksi apapun walaupun dengan
transaksi tidak sah (al-'aqd al-fâsid), seperti perjudian, menjual bangkai dan minuman
keras, transaksi yang mengandung riba dan lain sebagainya, selama
transaksi-transaksi itu tercapai dengan keridhaan mereka. Muhammad berkata,
"Jika seorang muslim masuk ke negeri musuh (dâr al-harb) setelah mendapat
izin masuk, maka dia dibolehkan untuk mengambil harta mereka dengan cara apapun
jika ada kerelaan dari mereka."
Muhammad bin Hasan dan
ulama lainnya menyebut negeri non-muslim sebagai negeri musuh (dâr al-harb)
karena didasarkan pada sistem pembagian wilayah yang umum digunakan pada zaman
para ulama tersebut. Ketika itu, seluruh dunia memerangi kaum muslimin,
sehingga para ahli fikih membagi wilayah di dunia menjadi dua bagian, yaitu
wilayah negeri Islam –yang di dalamnya dilaksanakan syiar-syiar Islam— dan
negeri musuh yang di dalamnya tidak ditegakkan hukum Islam. Sedangkan setelah
mereka tidak lagi memerangi kaum muslimin, maka sistem pembagian wilayah yang
biasa digunakan para ulama kontemporer adalah pembagian wilayah menjadi negeri
muslim dan negeri non-muslim. Negeri-negeri non-muslim itu mempunyai hukum yang
sama dengan negeri musuh pada masa lampau, kecuali yang berkaitan dengan perang
itu sendiri yang saat ini tidak terjadi lagi, alhamdulillahi rabbil 'âlamîn.
Oleh karena itu, hendaknya kita memperhatikan hal ini dengan baik, karena kita
sedang menukil suatu masalah dari kitab-kitab klasik guna menjelaskan pendapat
para ulama mazhab Hanafi, sehingga kita harus menjaga dan memperhatikan
istilah-istilah yang mereka gunakan.
Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa maksud para ulama Hanafiyah dengan
negeri musuh (dâr al-harb) adalah negeri kafir secara umum, baik sedang terjadi
peperangan dengan mereka atau tidak. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa
sebagian besar dalil yang mereka gunakan adalah berkaitan dengan negeri kafir,
bukan negeri musuh, yaitu Mekah sebelum hijrahnya Nabi saw., sebagaimana akan
diterangkan nanti. Dan ketika itu, tidak ada negeri musuh di dunia. Deskripsi
dalil tentu sangat berpengaruh terhadap pengambilan hukum sebagaimana ditetapkan
berdasarkan ijmak. Imam Muhammad bin Hasan mengatakan, "Jika seseorang
yang mendapatkan izin untuk masuk ke daerah musuh (al-musta`man) menghutangi
kepada mereka (para musuh) satu dirham dengan pelunasan dua dirham dalam
tenggang waktu satu tahun, lalu orang itu kembali ke negeri kita setelah itu
pergi lagi ke negeri mereka, atau dia meninggalkan negeri musuh pada tahun yang
sama kemudian pergi lagi ke negeri itu untuk mengambil dirham-dirhamnya setelah
lewat satu tahun, maka perbuatan orang tersebut adalah dibolehkan."
Setelah menyebutkan hadis
riwayat Makhul yang mursal yang menyebutkan, "Tidak ada riba dalam
transaksi yang dilakukan antara kaum muslimin dengan para musuh di negeri
musuh," as-Sarkhasi berkata, "Riwayat ini adalah dalil bagi Abu
Hanifah dan Muhammad bin Hasan rahimahumallah mengenai kebolehan penukaran satu
dirham dengan imbalan dua dirham yang dilakukan oleh seorang muslim dengan
seorang musuh di negeri musuh. ... Begitu juga, jika dia menjual kepada mereka
sepotong bangkai atau memenangkan sejumlah uang dari perjudian dengan mereka,
maka uang tersebut adalah uang halal baginya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah
dan Muhammad rahimahumallah."
Pendapat Imam Abu Hanifah
dan Muhammad adalah pendapat yang dipegangi dan dipilih dalam mazhab Hanafi.
Imam as-Sarkhasi juga mengatakan, "Dalil kami adalah hadis yang kami
riwayatkan dan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas r.a. serta yang lainnya bahwa
Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah khutbahnya,
كُلَّ رِبًا كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ قَضَى أَنَّ أَوَّلَ رِبًا يُوضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
"Setiap riba yang dilakukan pada masa Jahiliyah adalah
dibatalkan. Dan sesungguhnnya Allah 'azza wa jalla memutuskan bahwa riba
pertama yang dibatalkan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib."
Hal itu karena Abbas,
setelah memeluk Islam, kembali ke Mekah dan melakukan riba. Perbuatannya itu
diketahui oleh Rasulullah saw. tapi beliau tidak melarangnya, sehingga hal itu
menunjukkan bahwa perbuatan Abbas tersebut adalah dibolehkan. Beliau menjadikan
riba yang dibatalkan adalah yang belum diterima hingga tiba Pembukaan Kota
Mekah, maksudnya adalah sampai Mekah menjadi negeri muslim.
Al-Marghinani, al-Kamal
bin Humam, al-Hashkafi dan Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak ada riba dalam
transaksi yang dilakukan antara seorang muslim dengan seorang musuh di negeri
musuh. Mereka juga menyatakan bahwa seorang muslim boleh mengambil harta musuh
dengan cara apapun tapi tanpa adanya unsur penipuan dan pengkhianatan, karena
penipuan dan pengkhianatan adalah perbuatan haram.
Makna eksplisit dari
pendapat para ulama Hanafiyah tersebut adalah bahwa hukum kebolehan riba itu
bersifat umum, baik orang muslim itu mengambil ataupun memberikan riba di negeri
musuh. Namun, al-Kamal bin Humam menyebutkan bahwa para ulama Hanafiyah ketika
mengajar, membatasi makna kebolehan itu jika orang muslim tersebut mengambil
harta dari musuh saja. Al-Kamal bin Humam lalu berkata, "Namun nampak
jelas bahwa hal ini menuntut kebolehan melakukan akad riba jika tambahan itu
didapatkan oleh orang muslim. Sedangkan akad riba lebih luas daripada itu,
karena baik dua dirham yang dihasilkan dari satu dirham itu diberikan oleh
pihak muslim ataupun pihak orang kafir, keduanya sama-sama tercakup di
dalamnya. Jawaban kehalalan bagi masalah ini adalah bersifat umum untuk kedua
pihak itu. Begitu juga dengan perjudian, yang terkadang keuntungan judi itu
milik orang kafir, karena dia yang memenangkan perjudian itu. Padahal makna
eksplisit dari kebolehan di atas adalah jika orang muslim tersebutlah yang
mendapatkan tambahan. Para ulama kami, dalam penjelasan mereka ketika mengajar,
tetap berpegang bahwa maksud mereka dari kebolehan riba dan judi dengan
non-muslim adalah jika keuntungannya diperoleh oleh orang muslim. Hal itu
didasarkan pada sebab hukum ('illat), meskipun keumuman jawaban tidak
demikian." Perkataan ini dinukil oleh Ibnu Abidin dari al-Kamal bin Humam.
Dengan demikian, kita
dapat berpegang pada makna eksplisit dari mazhab Hanafi ini jika kemaslahatan
akhir akan didapatkan oleh orang muslim, meskipun dia yang membayar
tambahannya.
Dalam pendapatnya ini,
para ulama mazhab Hanafi berpegang dengan beberapa buah dalil, di antaranya
adalah:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Makhul dari Rasulullah saw., bahwa
beliau bersabda,
لاَ رِبَا
بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَبَيْنَ أَهْلِ دَارِ الْحَرْبِ فِي دَارِ الْحَرْبِ
"Tidak ada riba dalam transaksi yang dilakukan antara kaum
muslimin dengan para musuh di negeri musuh."
As-Sarkhasi berkata,
"Meskipun hadis ini adalah mursal, hanya saja Makhul adalah seorang ulama
fikih yang tsiqah (terpercaya). Sehingga, hadis mursal dari riwayat orang
sepertinya adalah diterima." Hadis mursal ini pun dijadikan dalil oleh
al-Marghinani dan al-Kamal bin Humam.
2. Muhammad bin Hasan berpegang juga pada hadis Bani Qainuqa`.
Dalam hadis itu disebutkan bahwa ketika Nabi saw. mengusir mereka dari Madinah,
mereka berkata, "Kami mempunyai piutang-piutang yang belum jatuh
tempo". Maka, beliau lalu bersabda,
تَعَجَّلُوْا
أَوْ ضَعُوْا
"Segerakanlah [pengambilan pelunasannya] atau gugurkanlah
[sebagian hutangnya]."
Begitu juga ketika beliau
mengusir Bani Nadhir dari Madinah, mereka pun berkata, "Kami mempunyai
piutang pada orang-orang." Maka, Rasulullah saw. bersabda,
ضَعُوْا
أَوْ تَعَجَّلُوْا
"Gugurkanlah [sebagian hutangnya] atau segerakanlah
[pengambilan pelunasannya]."
As-Sarkhasi berkata,
"Diketahui bersama bahwa melakukan transaksi seperti ini –yaitu transaksi
ribawi yang terjadi dalam bentuk kesepakatan pengguguran sebagian hutang dengan
menyegerakan pelunasan (akad batalkanlah atau segerakanlah)— adalah transaksi
yang dilarang bagi kaum muslimin. Karena, tidak boleh bagi seseorang yang
menghutangi orang lain dalam tenggat waktu tertentu mengugurkan sebagian
piutangnya dengan syarat orang yang berhutang menyegerakan pembayaran sebagian
yang lain. Perbuatan itu dimakruhkan oleh Umar, Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhum. Lalu Rasulullah saw. membolehkan transaksi itu untuk
mereka (Bani Nadhir) karena mereka adalah musuh Islam ketika itu, sehingga
mereka diusir dari Madinah. Dari sini kita mengetahui bahwa terdapat transaksi
yang boleh dilakukan oleh seorang muslim dengan musuh namun tidak boleh
dilakukan antar kaum muslimin."
3. Kisah pertandingan gulat yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
dengan Rukanah ketika beliau masih di Mekah. Beliau bertanding gulat dengannya
dengan imbalan sepertiga dari harta Rukanah di setiap kali pertandingan.
Seandainya imbalan semacam itu tidak boleh dilakukan dalam suatu pertandingan,
niscaya beliau tidak akan melakukannya. Ketika Rasulullah saw. telah
menyelesaikan pertandingan yang ketiga, Rukanah berkata, "Tidak ada
seorang pun yang dapat menjatuhkan tubuhku ke tanah. Dan bukan engkau yang
mengalahkanku dalam pertandingan ini." Lalu Rasulullah saw. mengembalikan
semua hartanya kepadanya.
As-Sarkhasi berkata,
"Rasulullah saw. mengembalikan imbalan itu sebagai suatu kebaikan beliau
kepada Rukanah. Begitu banyak contoh lain yang menjelaskan bahwa beliau
melakukan hal itu terhadap orang-orang musyrik guna melembutkan hati mereka
sehingga mereka beriman." Dan jelas bahwa Mekah pada waktu itu bukanlah
negeri musuh, tapi hanya negeri non-muslim (kafir).
4. Hadis Ibnu Abbas dan yang lainnya, bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
أَلاَ
وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيَّ، وَرِبَا
الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ؛ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
"Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
urusan Jahiliyah adalah dibatalkan di bawah telapak kakiku. Dan riba pada masa
Jahiliyah pun dibatalkan. Dan riba pertama yang saya batalkan adalah riba Abbas
bin Abdul Muththalib. Semua riba itu dibatalkan."
Hadis ini menunjukkan
bahwa Abbas r.a., setelah masuk Islam –ketika ditawan pada perang Badr— meminta
izin kepada Rasulullah saw. untuk kembali ke Mekah, lalu beliau pun
mengizinkannya. Selama di Mekah, Abbas mempraktekkan riba hingga tiba masa
Penaklukkan Kota Mekah. Perbuatannya itu tidak luput dari pengetahuan
Rasulullah saw., namun beliau tidak melarangnya sehingga hal itu menunjukkan
kebolehannya. Rasulullah saw. membatalkan seluruh riba di negeri musuh yang
belum diambil, hingga tiba Penaklukkan Kota Mekah dan berubahlah Mekah menjadi
negeri Islam. Karena itulah, Rasulullah saw. membatalkan seluruh riba ketika
menaklukkan kota Mekah.
5. Abu Bakar melakukan taruhan dengan orang-orang musyrik Quraisy
sebelum hijrah ketika Allah menurunkan ayat:
"Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri
yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa
tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di
hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,
karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (Ar-Rûm: 1-5).
Orang-orang Quraisy itu
berkata, "Apakah menurutmu bangsa Romawi akan menang?"
"Ya," jawab Abu Bakar. Mereka berkata lagi, "Apakah kamu berani
bertaruh dengan kami akan hal itu?" "Ya," jawab Abu Bakar lagi.
Lalu dia bertaruh dengan mereka. Kemudian Abu Bakar menceritakan hal itu kepada
Rasulullah saw., maka beliau pun bersabda,
اِذْهَبْ
إِلَيْهِمْ فَزِدْ فِي الْخَطَرِ
"Kembalilah kepada mereka dan tambahlah uang taruhannya."
Abu Bakar pun melakukan
perintah Rasulullah saw. tersebut. Beberapa tahun kemudian bangsa Romawi
berhasil mengalahkan bangsa Persia, sehingga Abu Bakar pun mengambil seluruh
hasil taruhannya. Rasulullah saw. membolehkan taruhan yang dilakukan Abu Bakar
dengan orang-orang Quraisy tersebut yang nyata-nyata merupakan bentuk
perjudian. Ketika itu, Mekah merupakan negeri non muslim, bukan negeri musuh,
karena peristiwa itu terjadi sebelum perintah untuk melakukan jihad.
6. Harta orang kafir adalah harta mubah, sehingga boleh diambil
tapi tidak dengan cara menipu dan berkhianat, karena menipu dan berkhianat
adalah perbuatan yang dilarang. Jika kaum muslimin mengalahkan mereka, maka
kaum muslimin akan mengambil harta mereka tersebut sebagai harta rampasan
perang.
Dengan demikian, mazhab
Hanafi berpendapat bahwa melakukan transaksi yang tidak sah dengan non-muslim
di negeri non-muslim adalah perbuatan yang dibolehkan, baik transaksi itu dalam
bentuk jual beli bangkai, babi, minuman keras, ataupun perjudian.
Seseorang yang membaca
pendapat para ulama mazhab Hanafi ini perlu mengetahui juga bahwa para ulama
mazhab lainnya mempunyai kaidah dan metode yang dapat digunakan dalam melakukan
transaksi dalam keadaan darurat. Sehingga, dapat dibuat sebagai penghubung
antara pendapat para ulama mazhab Hanafi tersebut dengan pendapat para ulama
dari mazhab-mazhab lainnya dalam masalah ini. Di antara kaidah-kaidah yang dapat
digunakan adalah:
1. Mentaklid (mengikuti) pendapat yang membolehkan dalam keadaan
darurat guna menghilangkan kesulitan dan kesempitan. Syaikh al-'Allamah Ibrahim
al-Baijuri mengatakan, "Barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus
melakukan perbuatan yang masih diperdebatkan, maka dia boleh mentaklid
(mengikuti) pendapat yang membolehkannya".
2. Dibolehkan mengingkari perbuatan yang dianggap menyimpang jika
perbuatan itu dilarang berdasarkan ijmak para ulama. Al-'Allamah Suyuthi
berkata, "Perbuatan yang masih diperselisihkan tidak boleh diingkari. Yang
boleh diingkari adalah sesuatu yang disepakati keharamannya." Kaidah ini
bermakna bahwa sebuah masalah jika masih diperdebatkan oleh para ulama dalam
berbagai mazhab fikih, maka tidak boleh bagi salah satu pengikut mazhab
tersebut mengingkari pendapat pengikut mazhab lain, karena masalah tersebut
masih diperselisihkan.
3. Membedakan antara batasan fikih dan hukum dengan batasan sikap
wara'. Para ulama sepakat bahwa batasan sikap wara' lebih luas daripada batasan
makna hukum fikih. Karena, seorang muslim kadang meninggalkan sejumlah
perbuatan yang dibolehkan karena ingin bersikap wara'. Hal itu sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat yang meninggalkan 90% dari perbuatan yang
dibolehkan karena ingin bersikap wara' dan khawatir terjerumus ke dalam
perbuatan yang diharamkan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka
meninggalkan perbuatan yang dibolehkan itu. Bersikap wara' tidak mempunyai
batas, bahkan kadang seseorang mengeluarkan semua hartanya karena ingin
bersikap wara' untuk menjauhi sesuatu yang dilarang.
Dengan demikian,
berdasarkan pendapat para ulama mazhab Hanafi yang telah disebutkan di atas,
melaksanakan ibadah haji dengan harta yang dihasilkan dari transaksi yang tidak
sah antara seorang muslim dan non-muslim di negeri non-muslim adalah
dibolehkan, karena harta tersebut adalah harta halal, sebagaimana dikatakan
oleh as-Sarkhasi. As-Sarkhasi berkata, "Begitu juga jika dia menjual
kepada para musuh sepotong bangkai atau memenangkan sejumlah uang dari
perjudian dengan mereka, maka uang tersebut adalah uang yang halal
baginya." Jika harta tersebut adalah harta yang halal, maka menurut
kesepakatan para ulama dibolehkan melaksanakan ibadah haji dengan uang
tersebut.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=632
0 comments:
Post a Comment