by
: Aini Aryani, Lc
Khitan bagi
anak perempuan tidak semasyhur khitan yang dilakukan pada anak laki-laki. Jika
khitan pada anak laki-laki adalah menyunnat kulup dari batang dzakar (penis),
maka tindakan khitan pada anak perempuan adalah menyunnat bagian 'clitoral
hood'.
Menurut
Wikipedia: "Clitoral Hood atau disebut juga preputium clitoridis and clitoral
prepuceadalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral
glans [batang klitoris]. Berkembang sebagai bagian dari labia
[bibir]minora dan merupakan homolog dari kulup penis
[biasa disebut preputium] pada kelamin laki-laki".
Dalil yang
menjadi dasar pensyariatan khitan adalah sebagai berikut:
- Kemudian
kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS.
An-Nahl: 23).
- Dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki dan
memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi)
- Dari Abi
Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nabi Ibrahim as.
Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak. (HR
Bukhari dan muslim)
- Dari
Aisyah ra, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan
berkhitanlah” (HR. Muslim)
Dari
dalil-dalil diatas, khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan. Namun jika
ditinjau dari hukumnya, para ulama fiqih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan
wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan atas perempuan.
1. Mazhab
Al-Hanafiyah
Madzhab ini
sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan, mayoritas ulama dari
madzhab ini tidak memandangnya dari kacamata hukum taklifi, namun sebagai
kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam (w.
681 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul
Qadir menuliskan sebagai berikut :
الختانان موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل
مكرمةٌ لها
Khitan itu
memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan
perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah
kemuliaan.
Az-Zaila’i (w.
743 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq
Syarh Kanzu Ad-Daqaiqmenuliskan sebagai berikut :
وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال
لأنه ألذ في الجماع
Tidaklah sunnah
bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat
menambah keintiman dalam berhubungan suami istri.[1]
2. Mazhab
Al-Malikiyah
Al-Qarafi (684
H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan
dalam kitabnya Adz-Dzakhirahsebagai berikut :
كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل
اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة
للرجال مكرمة للنساء
Makruh bagi
imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena
itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak
berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh
tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki
sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan.[2]
Al-Hathab
Ar-Ru'aini (954
H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan
dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai
berikut :
وأما الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء
الرسالة مكرمة وروى
Adapun khitan
bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.[3]
2. Mazhab
Asy-Syafi’i
Madzhab
ini memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya
wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:
An-Nawawi (w.
676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam
kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan
sebagai berikut :
ويجب ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج
والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب تعجيله في سابعة
Wajib bagi
perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di
bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit
penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk
menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.[4]
Zakaria
Al-Anshari (w.
926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal
Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في
أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل
Dengan memotong
sebagian daging kecil -yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat
keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal
(utama).[5]
Ibnu Hajar
Al-Haitami (w.
974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu
Al-Muhtajmenuliskan sebagai berikut :
ويجب أيضًا
(ختان) المرأة والرّجل
Diwajibkan juga
berkhitan bagi perempuan dan laki-laki .[6]
Al-Khatib
Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama
mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan
sebagai berikut :
(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه
Diwajibkan
berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas
kemaluannya.[7]
3. Mazhab
Al-Hanabilah
Adapun madzhab
Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Wajib
bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.
Ibnu Qudamah (w.
620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan
sebagai berikut :
فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ
النّساء، وليس بواجبٍ عليهنّ
Diwajibkan bagi
laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan
hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya.[8]
Kesimpulan
Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Wallahu a’lam
bishshawab
Aini Aryani, Lc
Aini Aryani, Lc
Referensi :
- Az-Zaila'i, Tabyin
Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1, hal 227
- Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah,
jilid 4, hal 167
- Al-Hathab
Ar-Ru'aini, Mawahibul Jalil fi Syarhi
Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal 258
- An-Nawawi, Minhajut
Thalibin Wa Umdatul Muftiin, jilid 1, hal 306
- Zakaria
Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhu
Ath-Thalib, jilid 4, hal 164
- Al-Haitami, Tuhfatul
Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, jilid 9, hal 198
- Al-Khatib
Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj ,
jilid 5, hal 539
- Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal 64