Fatwafikih.com

Wednesday, April 11, 2018

Hukum Khitan Bagi Wanita



by : Aini Aryani, Lc

Khitan bagi anak perempuan tidak semasyhur khitan yang dilakukan pada anak laki-laki. Jika khitan pada anak laki-laki adalah menyunnat kulup dari batang dzakar (penis), maka tindakan khitan pada anak perempuan adalah menyunnat bagian 'clitoral hood'.
Menurut Wikipedia: "Clitoral Hood atau disebut juga preputium clitoridis and clitoral prepuceadalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral glans [batang klitoris]. Berkembang sebagai bagian dari labia  [bibir]minora dan merupakan homolog dari kulup penis [biasa disebut preputium] pada kelamin laki-laki".
Dalil yang menjadi dasar pensyariatan khitan adalah sebagai berikut:
  1. Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS. An-Nahl: 23).
  2. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi)
  3. Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nabi Ibrahim as. Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak. (HR Bukhari dan muslim)
  4. Dari Aisyah ra, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR. Muslim)
Dari dalil-dalil diatas, khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan. Namun jika ditinjau dari hukumnya, para ulama fiqih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan atas perempuan.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab ini sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya dari kacamata hukum taklifi, namun sebagai kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :
  الختانان موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل مكرمةٌ لها
Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan.
Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiqmenuliskan sebagai berikut :
وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع
Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami istri.[1]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Al-Qarafi (684 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirahsebagai berikut :
كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
Makruh bagi imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan.[2]
Al-Hathab Ar-Ru'aini (954 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai berikut :
وأما الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء الرسالة مكرمة وروى
Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.[3]
2. Mazhab Asy-Syafi’i
Madzhab ini  memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan sebagai berikut :
ويجب ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب تعجيله في سابعة
Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.[4]
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل
Dengan memotong sebagian daging kecil -yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama).[5]
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu Al-Muhtajmenuliskan sebagai berikut :
ويجب أيضًا (ختان) المرأة والرّجل
Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki .[6]
Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :
(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه
Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya.[7]
3. Mazhab Al-Hanabilah
Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ النّساء، وليس بواجبٍ عليهنّ
Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya.[8]
Kesimpulan 

Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Wallahu a’lam bishshawab
Aini Aryani, Lc
Referensi :
  1. Az-Zaila'iTabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1, hal 227
  2. Al-QarafiAdz-Dzakhirah, jilid 4, hal 167
  3. Al-Hathab Ar-Ru'ainiMawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal 258
  4. An-NawawiMinhajut Thalibin Wa Umdatul Muftiin, jilid 1, hal 306
  5. Zakaria Al-AnshariAsnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib, jilid 4, hal 164
  6. Al-HaitamiTuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, jilid 9, hal 198
  7. Al-Khatib Asy-SyirbiniMughni Al-Muhtaj , jilid 5, hal 539
  8. Ibnu QudamahAl-Mughni, jilid 1, hal 64



Hukum Darah Keluar Saat Hamil





by : Aini Aryani, Lc


Lazimnya, wanita hamil tidak mengalami haid. Namun ternyata sebagian wanita ada yang keluar darah selama kehamilannya. Ada yang mengalaminya beberapa hari di trimester tertentu, bahkan adapula yang mengalaminya secara konsisten tiap bulan hingga usia kehamilan mencapai 9 bulan. Apakah darah ini haid ataukah istihadhah?

Para ulama berbeda pendapat mengenai  hal ini:

a. Madzhab al-Hanafiyah dan al-Hanabilah.
Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar selama kehamilan bukanlah darah haid, melainkan darah fasad yang hukumnya sama dengan istihadhah. Sebab wanita hamil tidak bisa mengalami haid. Maka, saat keluar darah wanita hamil ini tetap wajib melaksanakan shalat dan puasa sebagaimana saat ia suci.[1]

Sebagaimana yang disabdakan Nabi terhadap seorang lelaki yang hendak menikahi wanita hamil karena zina :

"Dan wanita hamil (sebab zina) tidak boleh dijima' sampai ia melahirkan, dan begitu pula yang tidak hamil sampai ia mengalami haid." (HR. Abu Dawud)

Dari hadits diatas diketahui bahwa haid menjadi suatu sebab atas kosongnya rahim dari janin. Dengan demikian, maka kedua hal itu (Hamil dan Haid) tidak bisa dialami dalam satu waktu.

Begitupula dalam hadits Rasulullah saat beliau melarang Ibnu Umar untuk menceraikan isterinya yang sedang dalam keadaan haid.

"Perintahkan padanya (Ibnu Umar) agar merujuk isterinya kembali, jika ia ingin menceraikannya maka ceraikan pada saat isterinya itu sedang dalam keadaan suci atau dalam keadaan hamil".(HR. Muslim)

Dalam hadits diatas diketahui bahwa kehamilan menjadi tanda ketiadaan haid.

Pendapat ini dijelaskan oleh As-Sarakhsi, salah satu ulama dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Al-Mabsuth [2]

ومن الدماء الفاسدة ما تراه الحامل فقد ثبت لنا أن الحامل لا تحيض، وذلك مروي عن عائشة - رضي الله عنها - وعرف أنها إذا حبلت انسد فم رحمها فالدم المرئي ليس من الرحم فيكون فاسدا
"Salah satu jenis darah fasid adalah darah yang keluar saat hamil, dan telah jelas bagi kami (madzhab Hanafi) bahwa wanita hamil tidaklah mengalami haid. Hal itu sebagama yang diriwayatkan dari Aisyah RA 'Diketahui bahwa wanita jika hamil, maka tertutuplah mulut rahimnya, maka darah yang terlihat saat hamil itu bukanlah keluar dari dalam rahimnya, sehingga darah itu dihukumi sebagai darah fasid'.

Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Az-Zaila'i yang juga dari madzhab Hanafi dalam kitabnya Tabyin al-Haqa'iq [3] :

عن ابن عباس - رضي الله عنهما - أنه قال: إن الله رفع الحيض عن الحبلى وجعل الدم رزقا للولد وقالت عائشة - رضي الله عنها - إن الحامل لا تحيض؛ ولأن فم الرحم ينسد بالحبل كذا العادة وفيما ذكر أنه ينفتح فمه بخروج الولد
"Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah telah mengangkat haid dari wanita hamil, dan menjadikan darah itu sebagi rizki untuk si janin. Dan Aisyah RA juga berkata: ”wanita hamil itu tidak haid”. Dan karena pada saat hamil mulut rahim tertutup dan dia akan membuka lagi saat si bayi itu keluar."

Walau madzhab ulama Hambali mengatakan bahwa darah yang keluar pada saat hamil bukanlah darah haid, namun mereka tetap menganjurkan (mustahab) wanita hamil yang mengalaminya untuk mandi janabah setelah darah berhenti keluar, untuk tujuan ihtiyath (berhati-hati) dan khuruj 'anil khilaf (menghindari perbedaan pendapat ulama).[4]

b. Madzhab al-Malikiyah dan asy-Syafi'iyyah
Ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid jika memenuhi syarat, seperti durasinya, warnanya maupun gejalanya. Misalnya jika ada wanita hamil yang melihat darah keluar selama minimal sehari semalam dan warnanya kehitaman, maka darah itu adalah haid[5].

Ulama dari madzhab ini mengambil keumuman dalil dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Asiyah RA :

"Darah haid itu dikenal dengan warnanya yang kehitaman ".(HR. Abu Dawud)

Ada pula atsar dari Aisyah RA mengenai wanita hamil yang melihat keluarnya darah, Aisyah RA mengatakan : "sesungguhnya wanita ini harus meninggalkan shalat" Dan hal ini menjadi ijma' di kalangan penduduk Madinah[6].

Ibnu Abdil Barr, salah satu ulama dari madzhab Maliki mengatakan dalam kitabnya Al-Istidzkar[7] sebagai berikut :

ذكر مالك أنه سأل بن شهاب عن (المرأة) الحامل ترى الدم قال تكف عن الصلاة قال مالك وذلك الأمر عندنا ولم يختلف عن يحيى بن سعيد وربيعة أن الحامل إذا رأت دما فهو حيض تكف من أجله عن الصلاة
"Malik menyebutkan bahwasanya Ibnu Syihab bertanya tentang wanita hamil yang melihat darah keluar, ia menjawab: dia (wanita itu) tidak boleh shalat. Malik berkata: itu adalah pendapat mazhab kita. Dan tidak ada yang menyelisihi riwayat dari Yahya bin Said dan Robiah bahwasanya wanita hamil jika melihat darah maka itu adalah haid, oleh karena itu ia tidak boleh shalat."

Imam Nawawi, salah satu ulama dari madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dalam Kitab Raudhah at-Thalibin [8], beliau menyebutkan pendapat Imam as-Syafi'i mengenai hal ini :

القديم: أنه دم فساد. والجديد الأظهر: أنه حيض. وسواء ما تراه قبل الحمل وبعدها، على المذهب
"Dalam qoul qodimnya (Imam Syafi'i): bahwasanya itu darah fasid (istihadhoh). Dan dalam qoul jadidnya: itu darah haid, baik itu yang keluar sebelum hamil ataupun sesudahnya."

Pada kitab yang sama, di halaman berikutnya beliau menambahkan [9] :

ثم على القديم: هو حدث دائم، كسلس البول. وعلى الجديد: يحرم فيه الصوم والصلاة. وتثبت جميع أحكام الحيض
"Dalam qaul qadim: ia (darah itu) adalah hadats yang berlangsung lama, seperti halnya wasir. Dan dalam qaul jadid beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: haram baginya melaksanakan shalat dan puasa (karena itu darah haidh), dan bagi wanita itu berlaku semua hukum terkait haidh."

Kesimpulan
Mayoritas wanita hamil tidak mengalami perdarahan yang berlangsung lama, jikapun ada flek atau bercak darah yang keluar, biasanya hanya keluar sedikit dan tidak lama. Namun sebagian dari mereka ada juga yang mengalami pedarahan yang lumayan lama dan berlangsung beberapa hari, bahkan sebagian yang lain juga ada yang mengalaminya setiap bulan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ulama dari madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa wanita hamil tidak mengalami haid. Maka, jika ada wanita hamil keluar darah selama kehamilannya, maka itu bukan haid, melainkan darah rusak (fasid). Bahkan jikapun darah yang keluar itu berlangsung selama berhari-hari dan kehitaman layaknya haid.

Darah fasid hukumnya sama dengan istihadhah, ia bukan hadats besar. Artinya, wanita ini tetap wajib melaksanakan semua kewajiban wanita suci, seperti shalat dan puasa Ramadhan.

Sedangkan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil bisa disebut darah haid jika memenuhi beberapa syarat, seperti durasi dan sifat-sifat darahnya. Maka, jika wanita hamil melihat darah keluar minimal sehari semalam secara konsisten, dan darahnya kehitaman, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid. Untuk itu berlaku baginya semua larangan wanita haid, seperti haramnya shalat dan thawaf, serta larangan berhubungan seksual dengan suaminya.

Adapun darah yang tidak memenuhi sifat-sifat darah haid, maka itu tidak dinamakan darah haid. Seperti darah yang keluarnya tidak konsisten dan hanya berupa flek dan bercak, atau tetesan darah yang warnanya merah segar bercampur lendir, ini semua tidak disebut dengan darah haid melainkan darah istihadhah. Begitu juga darah yang keluar setelah bayi lahir, darah ini bukanlah haid, melainkan darah nifas.

Wallahu A'lam Bishshawab.

Aini Aryani, Lc, LLB (Hons)

Bibliografi :

[1] Hasyiyah Ibn Abdin jilid 1 hal 189.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth jilid 3 hal 149.
[3] Az-Zaila'i, Tabyin al-Haqa'iq jilid 1 hal 67.
[4] Al-Buhutiy, Kasysyaf al-Qinna' jilid 1 hal 202.
[5] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj jilid 1 hal 118.
[6] Ibnu Abdin, Hasyiyah jilid 1 hal 189.
[7] Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar jilid 1 hal 327
[8] Imam Nawawi, Raudhah At-Thalibin jilid 1 hal 174
[9] Ibid, hal 175



Sumber: https://www.rumahfiqih.com/z-121-darah-keluar-saat-hamil-haid-atau-bukan.html

Contact Form

Name

Email *

Message *