Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon izin bertanya, bolehkah kita tayammum
dengan menggunakan debu-debu yang menempel di dinding atau di tembok rumah kita
dan bukan dengan tanah yang sesungguhnya? Dan khususnya ketika kita sedang di
dalam pesawat, apakah bisa dibenarkan media yang kita gunakan bukan tanah
tetapi debu-debu yang menempel di kursi atau dinding pesawat?
Mohon penjeasalannya dan terima kasih. Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tentang media tanah yang bagaimana yang
dibolehkan untuk bertayammum, para ulama ada yang mengharuskan tanah yang
sesungguhnya dan bukan debu-debu yang menempel. Namun ada juga yang agak luas
membolehkan tayammum pakai debu-debu yang menempel.
Kalau pun kita mau pakai pendapat yang
membolehkan tayammum pakai debu itu, maka yang harus diperhatikan apakah debu
itu memang betul-betul ada dan menempel di dinding rumah kita. Ini yang
sebenarnya jadi masalah, yaitu biasanya tembok rumah kita seringkali
dibersihkan, apalagi pesawat terbang, tentunya selalu dibersihkan. Tidak masuk
akal kalau dinding pesawat dan kursinya dibiarkan kotor berdebu. Pasti para
penumpang akan merasa tidak nyaman, bahkan boleh jadi bersin-bersin sepanjang
perjalanan.
Sayangnya banyak orang yang kurang
memperhatikan masalah ini. Sebenarnya debu yang dimaksud tidak tidak ada,
tetapi tetap saja orang-orang 'berpantomim' berpura-pura lagi tayammum, padahal
tidak ada medianya. Lucunya, kelakuan seperti ini luput dari perhatian kita,
ditambah lagi banyak 'ustadz-ustadz' amatiran yang membiarkan saja tindakan
keliru ini. Malah ikut-ikutan berpantomim tayammum ria.
Semua itu dengan catatan bahwa seandainya kita
pakai pendapat yang membolehkan bertayammum dengan debu. Sementara cukup banyak
ulama yang tidak membolehkan tayammum kecuali dengan menggunakan media tanah
yang sebenarnya. Maka kalau kita pakai pendapat yang satu lagi ini, tentu saja
sejak awal bertayammum pakai tembok rumah atau dinding dan kursi pesawat tidak
sah sejak awal.
Berikut ini adalah rinciannya disusun sesuai
dengan urutan masing-masing mazhab
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w.593 H.), salah satu ulama
mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu
Al-Mubtadi sebagai berikut :
ويجوز التيمم عند أبي حنيفة ومحمد
رحمهما الله بكل ما كان من جنس الأرض كالتراب والرمل والحجر والجص
Tayammum diperbolehkan dengan menggunakan semua
jenis tanah seperti debu, pasir, batu dan kapur …[1]
Dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Hidayah
Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, beliau juga menuliskan sebagai berikut :
أن الصعيد اسم لوجه الأرض سمي
به لصعوده والطيب يحتمل الطاهر
Sesungguhnya shoid adalah sesuatu yang ada
dipermukaan tanah, dinamakan demikian karena debu itu bertebaran.[2]
Al-Qadhi Zaadah (w.1087 H.), salah satu ulama
mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa
Al-Abhur sebagai berikut :
الصعيد اسم لوجه الأرض ترابا وغيره
Shaid adalah debu yang terdapat di permukaan
bumi dan lainnya.[3]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w.741 H.), salah satu
ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya القوانين الفقهية
sebagai berikut :
والصعيد هو التراب ويجوز التيمم بما صعد على الأرض
من أنواعها كالحجارة والحصى والرمل والجص
Sha’id adalah debu, dan diperbolehkan tayammum
dengan semua permukaan yang naik (lebih tinggi) dari tanah, seperti bebatuan,
kerikil, pasir dan kapur.[4]
3. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Al-Mawardi (w.450 H.), salah satu ulama mazhab
Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya الحاوي الكبير
sebagai berikut :
التيمم مختص بالترابِ ذي الغبار، ولا يجوز بما سواه
من نورة أو كحل
Tayammum khusus dengan tanah yang berunsur
debu, dan tidak boleh selain dari itu. [5]
An-Nawawi
(w.676 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya المجموع
شرح المهذب sebagai berikut :
لا يصح التيمم إلا بتراب هذا هو المعروف في المذهب
“Tidak sah tayammum kecuali menggunakan tanah,
ini adalah pendapat yang ma’ruf dalam madzhab.[6]
Al-Hishni
(w.829 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya كفاية
الأخيار sebagai berikut :
وهو يقع على التّراب وعلى كل ما على وجه الأرض
Sha'id adalah yang mengandung unsur-unsur tanah
dan semua yang ada di permukaan tanah (bumi). [7]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Al-Khiraqi (w.334 H.), salah satu ulama mazhab
Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Mukhtshar Al-Khiraqi sebagai berikut
:
يضرب بيديه على الصعيد الطيب وهو التراب
Menepukan kedua tangan pada sho'id yang suci
yaitu tanah.[8]
Ibnu Qudamah (w.620 H.), salah satu ulama
mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya الكافي في فقه الإمام أحمد
sebagai berikut :
ولا يجوز التيمم إلا بتراب طاهر
له غبار يعلق باليد؛ لقوله تعالى: {فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه}
[المائدة: 6] وما لا غبار له لا يمسح شيء منه.
Dan tidak diperbolehkan tayammum kecuali
menggunakan tanah suci yang debunya dapat menempel pada tangan, berdasarkan pada
firman Allah ta’ala “maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajahmu
dan kedua tanganmu dengan debu itu” (al-maidah:6) dana pa yang tidak ada
debunya tidak dapat digunakan untuk mengusap.[9]
Ibnu Hazm (w.456 H.), salah satu ulama mazhab
Adzh-Dzhahiriyah menuliskan di dalam kitabnya المحلى بالآثار
sebagai berikut :
أنه لا يجوز التيمم إلا بما نص
عليه الله تعالى ورسوله - صلى الله عليه وسلم - ولم يأت النص إلا بما ذكرنا من الصعيد،
وهو وجه الأرض.... وبالأرض - وهي معروفة - وبالتراب فقط فوجدنا التراب سواء كان منزوعا
عن الأرض، محمولا في ثوب أو في إناء أو على وجه إنسان أو عرق فرس أو لبد أو كان لبنا
أو طابية أو رضاض آجر أو غير ذلك فإنه تراب لا يسقط عنه هذا الاسم، فكان التيمم به
على كل حال جائزا
Tidak diperbolehkan tayammum kecuali yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya - saw - tidak ada teks kecuali yang telah
kami sebutkan bahwa So'id adalah permukaan bumi.. tanah dan debu baik yang
diambil dari bumi, terbawa oleh baju, bejana, wajah manusia, pacuan kuda atau
yang lainnya termasuk dalam katagori debu dan diperbolehkan untuk bertayamum
dengan itu semua.[10]
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
[1] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu
Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[2] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu
Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[3] Al-Qadhi Zaadah Majma’ Al-Anhur fii Syarhi
Multaqa Al-Abhur , jilid 1 hal. 39
[4] ابن جزي الكلبي القوانين الفقهية,
hal. 30
الماوردي الحاوي الكبير[5]
, jilid 1 hal. 237
الإمام النووي المجموع شرح المهذب[6]
, jilid 2 hal. 213
[7] الحضني كفاية الأخيار,
jilid 1 hal. 57
[8] Al-Khiraqi Mukhtshar Al-Khiraqi, jilid 1
hal. 15
ابن قدامة الكافي في فقه الإمام أحمد[9]
, jilid 1 hal. 129
ابن حزم المحلى بالآثار [10]
, jilid 1 hal. 378
0 comments:
Post a Comment