Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pak Ustadz yang dirahmati Allah, saya beberapa
kali hadir dalam majelis takllim yang ustadz menjadi nara sumbernya. Cuma tidak
sempat bertanya on the spot karena tidak kebagian waktu. Jadi saya mohon izin
bertanya di web ustadz saja, semoga berkenan.
Ini terkait dengan masalah baca Quran.
Sepanjang yang saya ketahui dan saya sudah diajarkan sejak kecil bahwa kita
wanita yang sedang haidh ini haram baca Quran. Namun dari beberapa ceramah yang
saya dengar baik langsung di majelis taklim atau di youtube kok beberapa ustadz
dan ustadzan ada yang ceramah katanya boleh karena nanti takut kalau tidak baca
Al-Quran nanti hafalannya lupa. Padahal seingat saya sejak kecil saya diajarkan
kalau lagi haidh tidak boleh baca Quran.
Saya jadi bingung dan mohon kasih saya
penjelasan.
Terima kasih,
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelumnya harus kita tegaskan terlebih dahulu
bahwa yang sedang kita bicarakan ini adalah hukum melafadzkan ayat-ayat
Al-Quran bagi wanita yang sedang haidh. Sedangkan menyentuh mushaf Al-Quran ada
pembahasannya tersendiri, demikian juga dengan hukum membaca Al-Quran dalam
hati tanpa menggerakkan lidah alias membatin dalam hati.
Umumnya para ulama sepakat bahwa wanita yang
sedang haidh itu termasuk orang yang sedang berjanabah. Dan orang yang sedang
berjanabah memang diharamkan untuk membaca Al-Quran.
Dalil keharamannya ada banyak sekali, di
antaranya adalah hadits berikut ini :
لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ
الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Janganlah seorang yang sedang haidh atau junub
membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Tirmizy)
Dan juga ada hadits Ali bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu berikut ini :
عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ
- عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - لَا يَمْنَعُهُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ
إِلَّا الْجَنَابَةُ
Dari Ali bin Abi thalib bahwa Rasulullah SAW
tidak pernah terhalang dari membaca Al-Quran kecuali janabah.(HR. Ahmad)
Selain itu juga berdasarkan perbuatan dan
perkataan Rasulullah SAW ketika usai membaca suatu ayat Al-Quran, beliau
mengatakan sebagai berikut :
هذا لمن ليس جنباً أمَّا الجنب
فلا ولا آية
Membaca Al-Quran dibolehkan untuk yang tidak
berjanabah, sedangkan yang sedang berjanabah, maka tidak boleh walaupun hanya
baca satu ayat. (HR. Ahmad)
Dengan sekian banyak hadits di atas, maka
nyaris hampir seluruh ulama dan mujtahid di empat mazhab utama sepakat
mengharamkan wanita yang sedang haidh untuk membaca Al-Quran secara lisan.
Kalau pun ada yang membolehkan, sebenarnya tidak bisa dipungkiri, namun
sebenarnya ijtihad semacam itu di kalangan ulama salaf sendiri tidak banyak
pendukungnya, yaitu hanya sebagian ulama mazhab Maliki saja. Dan yang
tegas-tegas bilang halal cuma satu yaitu Ibnu Hazm sebagai representasi dari
mazhab Azh-Zhahiriyah. Kalau mazhab ini memang selamanya selalu berbeda. (baca
: Ibnu Hazm Dan Beberapa Pendapat Kocaknya)
Berikut ini adalah rincian dan kutipan dari
berbagai kitab fiqih yang muktamad terkait dengan masalah ini :
A. Mazhab Al-Hanafiyah
1. Kitab Al-Mabsuth
As-Sarakhsi (w. 483 H) menuliskan di dalam
kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
وَلَيْسَ لِلْحَائِضِ مَسُّ الْمُصْحَفِ
وَلَا دُخُولُ الْمَسْجِدِ وَلَا قِرَاءَةُ آيَةٍ تَامَّةٍ مِنْ الْقُرْآنِ،
Tidaklah seseorang yang haid boleh memegang
mushaf, dan tidak pula masuk masjid, serta tidak diperbolehkan membaca satu
ayat Al-Qur’an dengan sempurna.[1]
2. Kitab Badai' Ash-Shanai'
Al-Kasani (w. 587 H) menuliskan di dalam
kitabnya Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai' sebagai berikut :
وَأَمَّا حُكْمُ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ
فَمَنْعُ جَوَازِ الصَّلَاةِ، وَالصَّوْمِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَمَسِّ الْمُصْحَفِ
إلَّا بِغِلَافٍ، وَدُخُولِ الْمَسْجِدِ، وَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
Adapun hukum wanita haid dan nifas maka tidak
diperbolehkan shalat, puasa, membaca al-Qur’an, memegang mushaf tanpa sampul,
masuk masjid, dan thawaf di baitullah [2]
3. Syarah Fath Al-Qadir
Ibnul Humam (w. 681 H) menuliskan di dalam
kitabnya Syarah Fath Al-Qadir sebagai berikut :
وليس للحائض والجنب والنفساء قراءة
القرآن) لقوله - عليه الصلاة والسلام - «لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن»
Dan tidaklah wanita haid, junub, dan nifas
membaca al-Qur’an. Dikarenakan sabda Rasulullah: "Tidak boleh seorang yang
haid dan junub membaca al-Qur’an. [3]
4. Kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu
Ad-Daqaiq
Az-Zaila'i (w. 743 H) menuliskan di dalam
kitabnya Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
قال - رحمه الله - (وقراءة القرآن)
أي يمنع الحيض قراءة القرآن، وكذا الجنابة
Seseorang yang haid dilarang membaca al-qur’an
begitu juga dengan junub. [4]
B. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Rusyd (w 595 H) dalam kitabnya Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menuslikan bahwa para ulama berbeda pendapat
dalam hal ini, khususnya mazhab Maliki yang membolehkan dengan syarat dan
alasan tertentu.
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ لِلْجُنُبِ
: اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي ذَلِكَ: فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى مَنْعِ ذَلِكَ، وَذَهَبَ
قَوْمٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ، وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ الِاحْتِمَالُ الْمُتَطَرِّقُ إِلَى
حَدِيثِ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - لَا يَمْنَعُهُ
مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلَّا الْجَنَابَةُ»
Membaca Al-Quran bagi yang berjanabah :
orang-orang berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama mengharamkannya,
namun ada sebagian yang membolehkannya. Penyebabnya karena adanya perbedaan
pandangan dalam hadits Ali : bahwa Rasulullah SAW tidak pernah terhalangi dari membaca Al-Quran
kecuali janabah.
وَقَوْمٌ جَعَلُوا الْحَائِضَ
فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ بِمَنْزِلَةِ الْجُنُبِ، وَقَوْمٌ فَرَّقُوا بَيْنَهُمَا،
فَأَجَازُوا لِلْحَائِضِ الْقِرَاءَةَ الْقَلِيلَةَ اسْتِحْسَانًا؛ لِطُولِ مَقَامِهَا
حَائِضًا، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
Sebagian kalangan mengatakan bahwa haidh itu
termasuk ke dalam status janabah, namun sebagian kalangan lain membedakan
antara keduanya. Maka mereka pun membolehkan bagi wanita haidh untuk membaca
Quran tapi sedikit saja dengan dasar istihsan. Dan mengingat bahwa haidh itu
cukup panjang waktunya. Dan itu adalah pendapat mazhab Maliki. [5]
C. Mazhab Asy-Syafi'iyah
1. Kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab
An-Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam
kitabnya Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
في مذاهب العلماء في قراءة الحائض
القرآن قد ذكرنا أنّ مذهبنا المشهور تحريمها ولا ينسى غالبا في هذا القدر ولأنّ خوف
النّسيان ينتفي بإمرار القرآن على القلب
...
Pendapat para ulama mengenai hukum wanita haid
membaca al-Qur’an adalah haram.....Masa haid yang berangsung beberapa hari
biasanya tidak sampai bisa membuat orang lupa pada hafalannya. Dan jika tetap
khawatir lupa pada hafalannya, maka cukuplah ia menghafal/muraja'ah di dalam
hatinya. [6]
2. Kitab Asna Al-Mathalib Syarah Raudhatu
At-Thalib
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) menuliskan di
dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Syarah Raudhatu At-Thalib sebagai berikut :
لم يحلّ وطؤها ولا غيره من التّمتّع
المحرّم والقراءة ومسّ المصحف ونحوها
Dan tidak di halalkan seorang wanita untuk
digauli pada saat haid, begitu juga percumbuan yang diharamkan, serta
melafadzkan Al-Quran serta menyentuhnya. [7]
3. Kitab Mughni Al-Muhtaj
Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) menuliskan di
dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj sebagai berikut :
وقيل
تباح لها القراءة مطلقا خوف النّسيان بخلاف الجنب لقصر زمن الجنابة، وقيل تحرم الزّيادة
على الفاتحة في الصّلاة كالجنب الفاقد للطّهورين
Dan ada yang berpendapat: diperbolehkan bagi
wanita haid membaca Al-qur’an karena takut akan lupa hafalannya, karena masa
haid lebih lama di banding dengan junub. Dan ada juga yang berpendapat :
diharamkan wanita haid membaca lebih dari al-Fatihah dalam shalat. [8]
D. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan di dalam
kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
ولنا: ما روي عن علي، - رضي الله
عنه - «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - لم يكن يحجبه، أو قال: يحجزه، عن قراءة القرآن
شيء، ليس الجنابة.» رواه أبو داود، والنسائي، والترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. وعن ابن
عمر، «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن.»
رواه أبو داود، والترمذي
Pendapat kami yaitu hadist yang di riwayatkan
oleh bin Umar: Bahwasannya Nabi bersabda: Wanita haid dan orang junub
berhalangan untuk membaca Al-qur’an. (HR Abu Daud, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi).
Hadits Hasan Shahih. Dan Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: "Wanita
haid dan junub tidak boleh membaca apapun dari al-Quran." (HR. Abu Daud
dan At-Tirmidzi) [9]
E. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam
kitabnya Al-Muhalla bil Atsar sebagai berikut :
وقراءة القرآن والسّجود فيه ومسّ
المصحف وذكر اللّه تعالى جائز، كلّ ذلك بوضوء وبغير وضوء وللجنب والحائض. برهان ذلك
أنّ قراءة القرآن والسّجود فيه ومسّ المصحف وذكر اللّه تعالى أفعال خير مندوب إليها
مأجور فاعلها، فمن ادّعى المنع فيها في بعض الأحوال كلّف أن يأتي بالبرهان.
Dan membaca Al-Qur'an, sujud, menyentuh mushaf,
dzikir, itu semua boleh (bagi wanita haid). Semua itu boleh dilakukan dengan
atau tanpa wudhu', Dan boleh dilakukan oleh wanita haid maupun orang junub.
Alasannya adalah bahwa membaca al-Quran, sujud, menyentuh mushaf dan dzikir
adalah perbuatan yang baik, hukumnya sunnah, dan berpahala bagi yang
melakukannya. Barang siapa yang melarang wanita haid untuk melakukan itu semua,
maka harus disertai alasan. [10]
F. Fatwa Kontemporer
Di masa kontemporer ini kita menemukan fatwa
tentang hal ini, di antaranya :
1. Syeikh Bin Baz
Syeikh Bin Baz (w. 1420 H) yang pernah menjadi
mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu di dalam fatwanya juga mengharamkan
wanita haidh baca Quran. Dan seandainya dia takut lupa hafalannya, maka cukup
membaca dalam hati saja. Berikut petikan fatwa beliau :
والأرجح أنها تقرأ عن ظهر قلب؛
لأنها قد تنساه وقد تطول المدة.
Yang lebih rajih wanita haidh itu baca Quran
dalam hati saja, biar tidak lupa karena terlalu lama haidhnya. [11]
2. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (w. 1421
H) yang pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu ketika ditanya
tentang masalah wanita haidh apakah boleh membaca Al-Quran dan melafadzkannya,
beliau menjawab :
وأما قراءة القرآن للحائض فإنه
لا بأس بها إذا كان المقصود التعليم أو التعلم أو أوراد الصباح أو المساء وأما إذا
كان قصد الحائض من قراءة القرآن التعبد بذلك فإن فيه خلاف بين العلماء فمنهم من يجيزه
ومنهم من لا يجيزه والاحتياط ألا تقرأ للتعبد لأنها إذا قرأت للتعبد دار الأمر بين
أن تكون آثمة أو مأجورة ومعلوم أن من الورع أن يترك الإنسان ما يريبه إلى ما لا يريبه
Sedangkan membaca Al-Quran bagi wanita yang
sedang haidh tidak mengapa, asalkan maksudnya untuk mengajar atau belajar, atau
dengan niat membaca wirid (dzikir) pagi dan petang. Namun bila niatnya
semata-mata untuk beribadah, maka para ulama berbeda pendapat dalam hukumnya.
Sebagian membolehkan dan sebagian tidak membolehkan. Namun demi kehati-hatian
jangan baca untuk tujuan beribadah, sebab ada dua kemungkinan antara berdosa
atau berpahala. Dan sudah jadi maklum untuk kita bersifak wara' (berhati-hati)
dengan meninggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan. [11]
Catatan :
1. Mayoritas
ulama sepakat mengharamkan wanita haidh melafadzkan Al-Quran dengan lisan, baik
dengan suara lirih atau pun suara keras, hukumnya tetap haram. Namun bila bukan
dengan lisan, hukumnya boleh, misalnya
a. Dalam Hati : Ayat Quran hanya dibatin
dalam hati tanpa menggerakkan lidah, hukumnya boleh
b. Mendengar : Mendengarkan bacaan atau
alunan ayat-ayat suci Al-Quran, hukumnya boleh.
c. Terjemah : Melafadzkan terjemahan
Al-Quran dan bukan lafadz Arabnya, hukumnya boleh.
d. Doa dan Dzikir : Membaca doa dan dzikir
yang diiqtibas dari ayat Al-Quran, asalkan tidak diniatkan membaca Al-Quran,
tetapi hanya sebatas doa atau dzikir, hukumnya juga dibolehkan.
2. Dasar
keharamannya adalah hadits-hadits yang melarang orang yang sedang berjanabah
untuk melafadzkan Al-Quran, sedangkan wanita yang haidh termasuk ke dalam
hitungan orang yang sedang berjanabah.
3. Namun ada
satu dua ulama yang membolehkan wanita haidh melafadzkan Al-Quran, dengan
beberapa alasan, diantaranya :
a. Haidh Beda Dengan Janabah : Menurut
pandangan mereka bahwa wanita haidh tidak termasuk orang yang berjanabah.
Sehingga tidak termasuk yang dilarang melafadzkan Al-Quran.
b. Darurat : Bagi wanita yang sedang
menghafalkan Al-Quran, bila tidak membaca dikhawatirkan nanti lupa hafalannya.
Sehingga dibolehkan karena darurat.
Wallahu 'alam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat,
Lc.,MA
Maraji'
[1] As-Sarakhsi Al-Mabsuth, jilid 3 hal. 195
[2] Al-Kasani Badai Ash-Shanai fi Tartib
Asy-Syarai, jilid 1 hal. 44
[3] Ibnul Humam Syarah Fath Al-Qadir, jilid 1
hal. 258
[4] Az-Zailai Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu
Ad-Daqaiq, jilid 1 hal. 57
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, jilid 1 hal. 55
[6] An-Nawawi Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab,
jilid 2 hal. 356
[7] Zakaria Al-Anshari Asna Al-Mathalib Syarah
Raudhatu At-Thalib, jilid 1 hal. 102
[8] Al-Khatib Asy-Syirbini Mughni Al-Muhtaj,
jilid 1 hal. 290
[9] Ibnu Qudamah Al-Mughni, jilid 1 hal. 106
[10] Ibnu Hazm Al-Muhalla bil Atsar, jilid 1
hal. 94
[11] http://www.binbaz.org.sa/noor/6633 Diakses
pada tanggal 6/10/2017
[12] Al-Utsaimin, Fatawa Nurun Ala Ad-Darbi,
jilid 7 hal. 2
0 comments:
Post a Comment