Fatwafikih.com

Thursday, May 15, 2025

Untuk Apa Membangun Masjid Baru, Kalau Masjid Lama Masih Bisa Direhab dan Diperindah?

 


Untuk Apa Membangun Masjid Baru, Kalau Masjid Lama Masih Bisa Direhab dan Diperindah?

Angin sore menyapu halaman masjid tua di ujung kampung. Cat dindingnya mulai kusam, sebagian ubin retak, dan pengeras suara kadang-kadang mendecit nyaring tak karuan. Tapi di balik semua kekurangannya, masjid itu punya sejarah panjang. Tempat anak-anak mengaji, remaja belajar adzan, dan orang-orang tua menenangkan hati.

Sore itu, Teungku Daud, Geusyik Gampung (Kepala Desa), berdiri di pelataran masjid sambil menatap papan pengumuman. Sebuah tulisan besar tertempel:

"Musyawarah Rencana Pembangunan Masjid Baru –  Warga Diharapkan Hadir Hari Minggu"

Tak jauh dari situ, duduk dua orang yang sudah lama tak saling menyapa—Arman dan Wati. Dulu, mereka sering terlihat bersama. Kini, hanya diam dan sesekali melirik sekilas, seperti dua orang asing yang tak sengaja duduk di halte yang sama.

Cinta yang Retak

Tiga tahun menikah, dua tahun berpisah. Alasannya klise—tidak cocok. Arman bilang bahwa Wati terlalu keras kepala. Wati membalas, Arman terlalu dingin. Mereka tak pernah benar-benar bertengkar besar, tapi luka-luka kecil yang dibiarkan menumpuk membuat mereka menyerah. Tanpa suara, tanpa drama. Hanya keputusan sepihak: berpisah.

Tapi yang tidak pernah benar-benar selesai adalah rasa.

Wati masih menyimpan cangkir kesukaan Arman di dapurnya. Arman masih menyimpan syal yang pernah diberikan Wati, meski ia bilang sudah dibuang. Keduanya masih mendengar azan dari masjid yang sama, membaca Al-Qur'an yang diajarkan oleh ustaz yang sama.

Dan keduanya duduk di sana, sore itu, karena Teungku Daud memanggil semua warga untuk musyawarah. Tentang masjid tua itu.

Musyawarah dan Makna

"Masjid ini sudah tua," ujar Pak RT. "Sebagian orang ingin bangun yang baru di tanah sebelah. Lebih besar, lebih modern."

Tapi kemudian, seorang ibu tua angkat tangan. "Anak-anak saya belajar mengaji di sini. Suami saya dulu azan pertama kali di sini. Kenapa tidak kita perbaiki saja? Bukankah yang lama ini masih bisa diperindah?"

Suara lain menimpali. "Memori tak bisa dipindahkan ke bangunan baru. Mungkin yang tua ini perlu waktu dan kerja keras untuk diperbaiki, tapi bukankah itu lebih bermakna?"

Arman dan Wati saling melirik. Entah kenapa, kata-kata itu seperti menampar hati mereka.

Masjid dan Rumah Tangga

Di jalan pulang, Arman menyusul langkah Wati.

"Aku baru sadar," katanya perlahan, "kenapa orang bisa rela memperbaiki masjid tua yang mulai rusak. Karena yang lama punya sejarah. Punya kenangan."

Anisa menunduk, menahan mata yang mulai basah. "Aku juga salah. Kita terlalu cepat menyerah."

Arman mengangguk. "Mungkin… kita terlalu fokus pada retaknya ubin dan cat yang mengelupas. Kita lupa, fondasinya masih kuat."

Wati tersenyum kecil. "Untuk apa membangun masjid baru, kalau yang lama masih bisa direhab dan diperindah, ya?"

Arman membalas senyum itu. Untuk pertama kalinya setelah lama, mereka berjalan berdampingan.

Dan dari kejauhan, masjid tua itu tampak lebih hidup dari biasanya, seolah ikut tersenyum menyambut dua hati yang mulai memperbaiki dirinya sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *