Nomor
Urut : 361
fatwa
No. 176 tahun 2007 yang berisi:
Apa pendapat anda mengenai kelompok Jamaah
Tabligh dan pendirinya, Syaikh Muhammad Ilyas, yang pernah menyatakan dalam
salah satu suratnya kepada para pengikutnya, "Jika Allah tidak
menginginkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak mungkin
melakukannya, bahkan jika orang itu adalah nabi. Jika Allah menginginkan para
kaum lemah seperti kalian untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dilakukan oleh para nabi, niscaya Allah dapat melakukannya. Oleh karena itu,
kalian harus melakukan apa yang diminta dari kalian dan jangan melihat
kelemahan kalian."
Dalam suratnya yang lain dia berkata,
"Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat akhir zaman,
bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan pahala lima puluh orang
sahabat."
Dengan ucapannya itu, apakah dia telah
berbuat kesalahan terhadap Allah dalam masalah pemilihan para rasul? Karena,
perkataannya itu mengandung pengertian bahwa Allah telah mengutus para rasul
yang tidak mampu mengemban risalah, padahal Allah telah berfirman,
"Allah
lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan". (Al-An'âm:
124).
Dan
firman-Nya,
"Allah
memilih utusan-utusan- (Nya) dari malaikat dan dari manusia". (Al-Hajj:
75).
Jika para rasul itu layak mengemban risalah
tapi Allah tidak menghendaki mereka untuk melaksanakan tugas yang diembankan
kepada mereka, maka ini berarti suatu kekurangan dalam keinginan dan kehendak
Allah. Syaikh Muhammad Ilyas menghendaki agar para pengikutnya melakukan apa
yang tidak dapat dilakukan oleh para rasul, sehingga hal ini merendahkan
martabat para rasul dan juga Allah yang mengutus mereka.
Ucapannya dalam surat yang kedua pun
demikian. Semua ini tentu saja bertentangan dengan akidah kaum muslimin. Apa
pendapat anda mengenai masalah ini?
Jawaban:
Para penuntut ilmu hendaknya menjauhi
tindakan dan sikap suka mengafirkan, memfasikkan, membid'ahkan dan menyesatkan
orang lain, sebagaimana banyak tersebar di kalangan pelajar pada zaman ini.
Hendaknya mereka memperhatikan etika berselisih dan berbeda pendapat dengan
saudara-saudara mereka dan tidak menjadikannya sebagai alasan untuk menuduh
kaum muslimin yang berbeda pendapat dengannya telah keluar dari agama. Karena,
sikap seperti ini merupakan tindakan jahat dalam berselisih yang oleh Nabi saw.
dikategorikan sebagai salah satu dari tanda-tanda kaum munafik. Beliau
bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا
خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ
النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اْؤتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada
empat hal yang jika terkumpul pada diri seseorang maka ia menjadi seorang
munafik sejati. Jika salah satu saja dari keempat hal itu terdapat pada diri
seseorang maka ia memiliki sebagian sifat munafik sampai ia meninggalkannya.
(Yaitu) jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji
ia tidak menepati dan jika berselisih ia berikap jahat (curang)."
(Muttafaq alaih dari hadis Ibnu Umar r.a.).
Tidaklah sama antara perbedaan dalam sarana
dakwah yang digunakan –yang merupakan hal biasa dan dapat diterima karena
perbedaan tabiat dan fitrah manusia— dengan perbedaan yang mengakibatkan
perpecahan dan usaha mencari-cari kesalahan orang lain guna menuduhnya telah
fasik dan keluar dari tuntunan Allah. Bahkan, terkadang tuduhan itu mencapai
derajat pengafiran, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok kaum
muslimin di zaman ini. Perbedaan dalam bentuk kedua ini telah dilarang oleh Allah
SWT dalam Alquran,
"Dan
janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan
hilang kekuatan kalian". (Al-Anfâl: 46).
Nabi saw. juga mengancam seseorang yang
menuduh saudaranya dengan tuduhan kafir. Beliau bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفِسْقِ
وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ
كَذَلِكَ
"Tidaklah
seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekafiran, kecuali tuduhan
itu kembali kepadanya jika orang yang dia tuduh itu tidak demikian." (HR.
Bukhari dari hadis Abu Dzar r.a.).
Dan
sabda Rasulullah saw.,
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
"Jika
seseorang mengafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali kepada salah satu
dari keduanya." (HR. Muslim dari hadis Abdullah bin Umar r.a.).
Secara hukum asal, perkataan dan perbuatan
yang berasal dari seorang muslim harus dipahami dengan makna yang tidak
bertentangan dengan akidah tauhid serta tidak boleh terburu-buru menuduhnya
sebagai kafir atau musyrik. Karena, keislaman orang tersebut merupakan indikasi
kuat yang mengharuskan kita untuk tidak mengartikan perbuatannya itu dengan
sesuatu yang mengandung kekafiran. Ini adalah ketentuan atau kaidah umum yang
sepatutnya diterapkan pada semua tindakan dan ucapan yang berasal dari kaum
muslimin. Imam Malik berkata mengenai hal ini, "Barang siapa yang dari
dirinya keluar sesuatu yang dapat dimaknai sebagai bentuk kekafiran dari
sembilan puluh sembilan sisi, namun dapat juga dimaknai sebagai bentuk keimanan
dari satu sisi saja, maka hal itu harus dipahami sesuai dengan makna keimanan
itu."
Seorang muslim wajib meyakini bahwa Nabi
Isa a.s. dapat menghidupkan orang yang telah meninggal tapi dengan izin Allah
SWT. Beliau tidak dapat melakukan itu dengan kemampuannya sendiri, melainkan
dengan kekuasaan dan kekuatan Allah. Sedangkan kaum Nasrani berkeyakinan bahwa
beliau dapat menghidupkan orang yang telah meninggal dengan kekuatan beliau
sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s. adalah Allah, atau putra
Allah, atau salah satu oknum Allah. Dengan demikian, jika kita mendengar
seorang muslim berkata, "Saya berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s. dapat menghidupkan
orang yang telah meninggal.", maka perkataannya ini –yang juga dikatakan
oleh orang Kristen— tidak sepatutnya kita jadikan alasan bahwa orang muslim
tersebut telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Akan tetapi, kita wajib
mengartikan perkataan tersebut dengan makna yang sesuai dengan keislaman dan
akidah tauhidnya.
Begitu pula, seorang muslim berkeyakinan
bahwa ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah, dan sebaliknya,
seorang musyrik berkeyakinan bahwa ibadah boleh ditujukan kepada selain Allah.
Oleh karena itu, jika kita melihat seorang muslim melakukan suatu perbuatan
untuk selain Allah yang bisa mengandung arti penyembahan dan bukan, maka kita
wajib mengartikannya dengan makna yang sesuai dengan akidahnya sebagai seorang
muslim. Karena, seseorang yang benar-benar telah mengikrarkan diri sebagai
seorang muslim, maka ikrar tersebut tidak dapat dibatalkan dengan suatu
keraguan atau kebimbangan.
Jika hukum seperti ini saja diberlakukan
untuk para muslimin yang awam, maka tentu akan lebih layak untuk diberlakukan
pada orang yang dikenal kebenaran akidahnya. Apalagi orang tersebut telah
diakui kelebihan dan keutamaannya dalam berdakwah, serta sosok yang berada di
garda depan dalam menyampaikan agama Allah dan mengajak kaum muslimin untuk
kembali berpegang teguh kepada agama mereka dan sunnah nabi mereka. Syaikh
Muhammad Ilyas adalah termasuk dalam kategori ini, insyaallah.
Adapun perkataan beliau, "Jika Allah
tidak menginginkan seseorang melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak mungkin
melakukannya, bahkan jika dia seorang nabi pun", adalah perkataan yang
sesuai dengan akidah Islam. Karena, perkataan ini menegaskan bahwa tidak ada
sesuatu pun yang terjadi kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Hal ini sesuai
firman Allah,
"Dan
kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Al-Insân:
30).
Adapun perkataannya setelah itu, "Jika
Allah menginginkan para kaum lemah seperti kalian untuk melakukan suatu
perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh para nabi, maka Allah pasti dapat
melakukannya. Oleh karena itu, kalian harus melakukan apa yang diminta dari
kalian dan jangan melihat kelemahan kalian," maka perkataan ini bisa saja
menjadi kenyataan berdasarkan hukum akal (rasio) yang masuk dalam lingkup
kekuasaan Allah, namun tidak mungkin terjadi berdasarkan hukum dan realitas
syarak. Seandainya pun hal itu terjadi dalam realitas, maka hal itu tidak
berarti bahwa pelakunya lebih utama dari para nabi. Karena keistimewaan tidak
harus menyebabkan keutamaan. Jihad para sahabat bersama Rasulullah saw.,
misalnya, merupakan keistimewaan yang tidak diberikan kepada para nabi. Tapi,
meskipun demikian, para nabi lebih utama dari para sahabat.
Syaikh Muhammad Ilyas tidak mengatakan
bahwa orang yang dengan seizin Allah dapat melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh para nabi adalah lebih baik dari para nabi tersebut. Lalu
bagaimana perkataan yang dinukil darinya itu bisa diartikan dengan makna yang
tidak sesuai dengan isinya? Yaitu dianggap mengandung pelecehan terhadap para
nabi dan rasul, sehingga dianggap telah menyalahkan Allah dalam hal pemilihan
para rasul-Nya karena telah memilih para rasul yang tidak mampu mengemban
risalah-Nya. Dan jika para rasul itu layak mengemban risalah itu tapi kemudian
Allah tidak menghendaki mereka melaksanakan tugas yang diembankan kepada
mereka, maka ini berarti terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam
keinginan dan kehendak Allah itu. Sungguh, kata-kata ini sangat tidak pantas
dan tidak dapat diterima oleh akal maupun naql (dalil syarak).
Tuduhan
ini dapat dibantah dari beberapa sudut:
1.
Pemilik perkataan ini (Syeikh Ilyas) tidak mengatakan bahwa perbuatan yang
tidak diizinkan oleh Allah untuk dilakukan oleh para nabi adalah tugas yang
dibebankan kepada mereka sehingga hal itu tidak bisa dianggap sebagai pelecehan
terhadap para rasul.
2.
Bahkan, seandainya pun yang dimaksud adalah tugas yang dibebankan kepada para
nabi itu, maka hal itu tidak mengharuskan adanya ketidaksempurnaan dalam
keinginan dan kehendak Allah ataupun pelecehan terhadap para nabi. Karena,
terdapat perbedaan antara kehendak penciptaan (al-masyî`ah al-kawniyyah) dan
keinginan pensyar'iatan (al-irâdah asy-syar'iyyah). Allah terkadang
memerintahkan suatu perbuatan berdasarkan keinginan pensyariatan (berdasarkan
syarak), namun Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam kehendak
penciptaan (kenyataan). Misal untuk keinginan pensyariatan adalah Allah telah
memerintahkan Nabi Adam a.s. untuk tidak memakan buah pohon Khuldi, tapi dalam
kehendak penciptaan, Nabi Adam a.s. memakannya. Misalnya juga, secara keinginan
pensyariatan Allah memerintahkan Ibrahim a.s. untuk menyembelih anaknya, tapi
dalam kehendak penciptaan Allah tidak menghendaki hal itu terjadi dalam
kenyataan. Tidak membedakan antara kedua hal tersebut merupakan pendapat
kelompok Muktazilah dan para pelaku bid'ah yang bertentangan dengan Alquran,
Sunnah dan ijmak salaf saleh.
3.
Allah SWT adalah Maha Berkehendak, sehingga Dia tidak wajib atau tidak harus
melakukan sesuatu. Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya dan
memutuskan hukum sesuai dengan keinginan-Nya. Tidak ada seorangpun yang boleh
menghukumi Allah dalam urusan makhluk-Nya dengan mengatakan bahwa jika para
nabi tidak melakukan suatu perkara maka Allah tidak akan membiarkan orang lain
melakukannya, walaupun hal itu tidaklah mustahil baik secara akal maupun
syarak.
4.
Adapun menuduh bahwa para rasul tidak mampu mengemban tugas risalah karena
tidak melaksanakan beberapa hal yang diperintahkan kepada mereka, maka ini
adalah sikap tidak sopan dan tidak tahu malu terhadap mereka. Para ulama
muhaqqiqin menyatakan bahwa jika memang ada perintah Allah yang tidak dilakukan
oleh sebagian rasul, maka hal itu sama sekali bukanlah suatu perbuatan maksiat
dari mereka, tapi bisa saja mereka dimaafkan berdasarkan alasan mereka atau
bisa jadi itu bukan perintah yang wajib.
Adapun perkataan Syaikh Muhammad Ilyas,
"Kita mempunyai kabar gembira dan janji yang benar bagi umat akhir zaman,
bahwa pahala satu orang dari kalian dapat setara dengan pahala lima puluh orang
sahabat," maka kata-kata ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam
sebuah hadis shahih. Diriwayatkan dari Abu Umayyah asy-Sya'bani, dia berkata,
"Saya mendatangi Abu Tsa'labah al-Khusyaniy r.a., lalu saya berkata
padanya, "Apa pendapatmu mengenai ayat ini?" "Ayat apa?" tanyanya.
Saya menjawab, "Allah berfirman,
"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petujuk". (Al-Mâidah:
105).
Abu Tsa'labah al-Khusyaniy r.a. menjawab,
"Ketahuilah, demi Allah saya telah bertanya mengenai ayat ini kepada
pakarnya. Saya telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw., maka beliau
menjawab,
بَلِ ائْتَمِرُوْا بِالْمَعرُوْفِ وَتَنَاهَوْا
عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا، وَهَوًى مُتَّبَعًا، وَدُنْيَا
مُؤْثَرَةً، وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِيْ رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ
وَدَعِ الْعَوَامَّ؛ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيْهِنّ مِثْلُ
الْقَبْضِ عَلَى الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيْهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِيْنَ رَجُلاً
يَعْمَلُوْنَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَجْرُ خَمْسِيْنَ رَجُلاً
مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ
"Justru,
lakukanlah amar makruf dan nahi mungkar, hingga jika kamu telah melihat
kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, urusan dunia yang lebih
dipilih dari urusan agama dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri,
maka pikirkanlah dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena di
belakang kalian terdapat masa-masa yang ketika itu bersikap sabar adalah
seperti menggenggam bara api. (Pahala) orang yang berbuat kebajikan ketika itu
seperti pahala lima puluh orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan
kalian." Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, sama dengan pahala
lima puluh orang dari kami atau dari mereka?" Beliau menjawab,
"Pahala lima puluh orang dari kalian." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan
dihasankan oleh Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban." Hadis ini
juga mempunyai jalur-jalur lain yang tidak sedikit.)
Maka, bagaimana mungkin perkataan yang
sesuai dengan sabda Nabi saw. seperti ini dituduh telah melecehkan para nabi
dan bertentangan dengan akidah kaum muslimin? Lihatlah, bagaimana sikap senang
berselisih telah membuat pelakunya melakukan hal seperti ini, bahkan membuatnya
mengingkari sabda Rasulullah saw. tanpa berdasarkan ilmu dan pemahaman yang
benar.
Sebagaimana diketahui pula bahwa besarnya
pahala tidak mengharuskan keutamaan secara mutlak. Kebersamaan para sahabat
dengan Rasulullah saw. merupakan satu keutamaan yang tidak dapat disamai oleh
keutamaan dan amalan yang lain. Menurut para ulama, membandingkan pahala suatu
perbuatan dapat dilakukan jika perbuatan yang dibandingkan adalah sama. Adapun
bertemu dengan Rasulullah saw., maka itu adalah satu keutamaan yang tidak bisa
ditandingi dengan keutamaan dan kedudukan yang lain. Sebagaimana telah
disebutkan juga bahwa sebuah keistimewaan yang dimiliki seseorang tidak
mengharuskan dia menjadi lebih utama.
Oleh karena itu, kaum muslimin hendaknya
bertakwa kepada Allah dalam bersikap terhadap para saudaranya. Janganlah sampai
perbedaan yang bersifat variatif menyebabkan perdebatan dan munculnya tuduhan
kafir, fasik atau menyimpang. Seorang muslim tidak boleh menyibukkan dirinya
dengan mencari-cari kesalahan saudaranya, karena hal itu ibarat berperang bukan
di medan tempur. Semua itu hanya akan menghancurkan barisan, mencerai-beraikan
usaha dan membuat kita lupa dari kewajiban membangun masyarakat dan persatuan
umat.
Imam Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah
hadis yang menurut beliau berderajat hasan dari Abdullah bin Umar r.a., dia
berkata, "Rasulullah saw. menaiki mimbarnya dan menyeru dengan suara yang
keras, "Wahai orang-orang yang telah berikrar Islam dengan mulutnya tapi
belum sampai iman ke dalam hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin,
janganlah kalian menghina mereka dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan
mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari kesalahan saudaranya semuslim,
maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan barang siapa yang kesalahannya
dicari-cari oleh Allah maka Allah pasti akan membuka aibnya itu meskipun dia
berada dalam rumahnya."
Kami memohon kepada Allah agar menyatukan
hati kaum muslimin dalam Alquran dan Sunnah serta memberikan pemahaman yang
baik dan maksud Allah dalam penciptaan-Nya.
Wallahu
subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewMoslemFatawa.aspx?ID=361