by
: Ahmad Zarkasih, Lc
Kalau
pertanyaan apakah kita harus mengikut madzhab dalam menjalankan syariat ini?
jawabannya bisa haram alias tidak boleh dan terlarang, tapi bisa jadi wajib
alias harus, tidak bisa tidak.
Dalam kitabnya,
Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam
wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan
seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui
hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau
tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang
ia belajar kepadanya.
Sedangkan
seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung
dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus
lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.
Nah, tinggal di
lihat dengan penuh kesadaran diri, kita masuk dalam kategori yang mana; awam
kan atau mujtahid kan kita? Apakah bisa kita memahami teks-teks syariah yang
ada tanpa melirik sedikitpun kepada pemaparan dan penjelasan ulama terdahulu?
Seberapa baik kemampuan bahasa arab kita? Seberapa paham kita tentang maqasihd
syariah? Kalau jauh dari itu semua, maka segera sadari, kita adalah awam yang
hanya bisa mengikuti ulama madzhab agar selamat dalam beragama dan tidak keliru
memahami al-Qur’an serta hadits Nabi s.a.w. yang suci. Karena memang pada
dasarnya, mengikuti ulama-ulama madzhab tersebut itu sama juga mengikuti
al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w.; karena memang mereka tidak mendatangkan
hukum-hukum ysriah dari otak dan nafsu mereka, akan tetapi itu semua dari
al-Qur’an dan hadist Nabi s.a.w..
Konsisten Satu
Madzhab?
Pertanyaan
lanjutannya, apakah harus konsisten dalam satu madzhab? atau juga yang biasa
disebut dengan istlah talfiq, apakah dibenarkan? Ini juga masalah yang memang
menjadi bahan diskusi para ulama sejak dulu. Setidaknya ada 3 pendapat ulama
dalam hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu;
Pertama, pendapat konservatif dari kelompok ulama yang
mewajibkan umat Islam untuk bermadzhb satu dan tidak boleh berpindah.
Kedua, pendapat kebanyakan ulama yang membolehkan
dan membebaskan umat untuk memilih madzhab mana saja yang ia suka dan boleh
berpindah-pindah.
Ketiga, pendapat yang lebih rinci; yakni jika seorang
dalam hal shalat memakai pendapat madzhab al-Syafi’i, misalnya. Maka wajib ia
konsisten dalam hal tersebut; artinya dalam shalat tidak boleh mengambil
pendapat lain selain al-Syafi’iyyah. Sedangkan masalah selain shalat, boleh
dengan madzhab lain.
Ketiga pendapat
di atas punya nilai positif dan juga yang pastinya tidak lepas dari kekurangan
di beberapa sisi. Pendapat pertama ini adalah pendapat beberapa ulama di
masa-masa terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang ada. Bahwa bagi mereka yang
tidak sampai pada derajat mujtahid, wajib baginya mengikuti madzhab, tidak
boleh tidak. Pendapat ini berguna agar syariah dan agama ini tidak terkotori
dan terkontaminasi oleh tangan dan mulut-mulut orang jahil yang punya kemampuan
minim dalam hal syariah yang coba memahami teks syariah secara tekstual tanpa
merujuk kepada ulama. Serta menghindari orang muslim dari berbuat dalam syariah
ini sesuai nafsu dan kesukaannya saja. Serta menutup pintu untuk lahirnya
fatwa-fatwa nyeleneh dari pihak-pihak yang tidak otoritatif.
Sisi
negatifnya, pendapat ini mengekang orang sehingga tidak ada pilihan lain,
padahal dalam kondisi-kondisi tertentu, seorang muslim bisa saja tidak bisa
mengikuti pendapat madfzhab yang diikuti karena sebab dan udzur yang
mengharuskannya beralih ke pendapat lain. Terlebih lagi bahwa mengikuti satu madzhab
saja, tidak punya landasan argumen kuat dari teks syariah.
Pendapat kedua
ini lebih moderat dan sepertinya memudahkan. Karena memang agama ini mewajibkan
kita untuk mengikuti ahli ilmu; “bertanyalah kepada ahli ilmu” (al-nahl:
34) tapi dalam perintah-Nya tidak ada pengkhususan kepada ahli ilmu manapun.
Jadi selama memang ia adalah seorang mujtahid, layak untuk diikuti, dan tidak
harus selalu satu, bisa dan boleh seorang muslim beralih ke ahli ijtihad yang
lain. Negatifnya, pendapat ini dikhawatirkan membuka pintu fatwa prematur yang
dihasilkan oleh orang-orang yang tidak mampu. Karena sudah terbiasa pindah sana
sini, ia beranggapan bahwa seperti tidak ada masalah kalau ia melahirkan
pendapat baru, padahal dirinya bukan orang yang layak. Sedangkan pendapat
ketiga ini sejatinya sama seperti pendapat pertama, hanya saja ada
perkembangannya. Dan sisi kelemahan dari pendapat ini, sama seperti kelemahan
pendapat pertama.
Bagi penulis,
sebaiknya seorang muslim itu dalam beribadah, segala amalnya itu punya sandaran
argumen yang kuat dan bukan mengada-ngada. Karenanya, tidak dibenarkan seorang
muslim beribadah dan mengamalkan ajaran agama tanpa mendapat bimbingan seorang
ahli agama yang bisa menjadi akses baginya menuju para mujtahid-mujtahid yang
ada. Dengan bahasa yang lebih dekat “berguru kepada guru”, bukan kepada buku,
apalagi laman internet yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Dengan bahasa lain madzhab awam itu madzhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan
gurunya, itulah madzhab yang ia harus ikuti. Jangan sekali-kali mencoba untuk
menafsirkan dan meneliti ayat serta hadits sendirian yang akhirnya justru
menghinakan al-Qur’an itu sendiri bukan memuliakan, karena ditafsiri
serampangan dengan nalar yang dangkal dan metode asal-asalan.
Wallahu a’lam.
sumber: https://www.rumahfiqih.com/z-134-mencampuradukan-madzhab-bolehkah.html
0 comments:
Post a Comment