Pertanyaan :
Ustad, numpang tanya lagi.
Dulu saya pernah dapat file tentang
qadha puasa dari ustadz, tapi kayaknya masih ada yang harus saya tanyakan.
Bagaimana mengganti puasa ramadhan yang telah lama lewat, diakibatkan karena
sengaja berbuka dengan makan/minum. Apakah cukup dengan berpuasa sebagai
penggantinya.
Bagaimana kalau kita tidak tahu
berapa jumlah puasa yang batal itu ? Misalnya cara menggantinya hanya dengan
puasa pengganti, bolehkan dikerjakan dengan model puasa Daud tapi niat puasa
pengganti?
Terima kasih ustadz.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Para ulama sepakat bahwa masa yang
telah ditetapkan untuk mengqadha’ puasa yang terlewat adalah setelah habisnya
bulan Ramadhan sampai bertemu lagi di Ramadhan tahun depan.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan siapa yang sakit atau dalam
perjalanan, boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain. (QS.
Al-Baqarah : 185)
Hutang Puasa Yang Lama Belum Dibayar
Lantas bagaimana aturannya bila
seseorang punya hutang puasa, namun tidak dibayar-bayar sampai lewat Ramadhan
berikutnya? Bahkan boleh jadi sudah berkali-kali Ramadhan terlewat sedangkan
hutang puasa belum dibayar juga.
Dalam hal ini seluruh ulama sepakat bahwa
hutang puasa itu tidak gugur, walaupun sudah lama terlewat dan belum dibayar
dengan qadha'. Tidak ada istilah hangus atau pemutihan dalam masalah ini.
Bahkan hutang puasa ini tidak bisa dikonversi menjadi bentuk lain seperti
sedekah atau memberi makan fakir miskin, selagi masih sehat dan mampu berpuasa.
Maka bila masih sehat dan ada usia,
segeralah bayarkan hutang qadha' puasa itu secepatnya. Dalam hal ini harus
berlomba dengan malaikat Izrail, agar jangan sampai dia datang duluan,
sementara hutang puasa masih banyak.
Mumpung masih ada kesempatan
menikmati alam dunia, maka bayarkan hutang puasa itu. Semoga bisa menutup
dosa-dosa dan kesalahan, dan semoga Allah SWT mengampuni. Amin.
Apakah Cukup Qadha' Saja Atau Ada
Denda Lain?
Kalau hutang puasa biasa, memang
yang harus dibayarkan cukup qadha' puasa sejumlah hari yang ditinggalkan. Para
ulama umumnya sepakat akan hal itu.
Namun mereka agak berbeda pendapat
kalau kasusnya hutang puasa tidak dibayarkan, hingga lewat setahun sampai
bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun kemudian. Apalagi bila bukan cuma setahun
tetapi bertahun-tahun lamanya hutang puasa itu masih belum dibayarkan.
1. Jumhur Ulama : Denda Fidyah
Sebagian fuqaha seperi Imam Malik,
Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha‘
setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda).
Perlu diperhatikan, meski disebut
dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan
kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir
miskin.
Dasar pendapat mereka adalah qiyas,
yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga
Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa
di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah
(bentuknya Fidyah).
2. Al-Hanafiyah : Tidak Ada Denda
Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup
mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Madzhab
Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha‘i.
Menurut mereka tidak boleh kita
mengqiyas ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas.
Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha‘ saja. Yang penting
jumlah hari puasa qadha'nya sesuai dengan jumlah hutang puasanya.
Bagaimana Kalau Lupa Jumlah Hutangnya?
Nah, kalau masalah yang satu ini
memang agak sulit juga menjawabnya. Sebab hutang kita kepada Allah SWT itu
seharusnya kita catat baik-baik.
Maka cara yang paling masuk akal
adalah dengan cara melakukan appraisal atau perkiraan. Cara ini biasa dilakukan
oleh lembaga profesional untuk menaksir kira-kira nilai suatu asset. Biasanya
perbankan menggunakan jasa ini untuk menaksir nilai suatu asset yang dijadikan
jaminan.
Kalau dalam bahasa fiqihnya, kita
bisa pakai istilah ijtihad. Maksudnya, orang yang berhutang ini dipersilahkan
berijtihad untuk menghitung-hitung sendiri sesuai dengan perkiraannya.
Namanya cuma perkiraan, tentu tidak
100% akurat. Tetapi setidaknya ada dasar-dasar pijakan yang bisa dijadikan
patokan dalam mengira-ngira jumlah hutang puasa.
Katakanlah misalnya dalam sekali
Ramadhan ada kurang lebih 50% hari yang ditinggalkan tidak berpuasa. Maka kalau
selama berturut-turut 5 tahun hal itu terjadi, kita bisa hitungan dengan
mengalikan 15 hari selama 5 tahun. Hasil totalnya adalah 75 hari.
Buatlah list di atas catatan, isinya
kolom nomor, hari ke berapa, dan tanggal pelaksanaan. Kemudian mulai lakukan
qadha' puasa itu sehari demi sehari secara santai. Yang penting setiap kali
selesai satu hari puasa, contrenglah catatan itu serta beri tanggal pelaksanaannya.
Semua itu agar kita punya catatan pasti dan tahu progres jadwal pembayaran
hutang kita kepada Allah SWT.
Dalam pelaksanaan teknisnya, boleh
saja puasa qadha' itu dijatuhkan pada hari-hari khusus yang nilai pahalanya
bisa dapat plus, seperti hari Senin atau Kamis. Atau boleh juga dijatuhkan pada
tiap tanggal 13,14 dan 15 tiap bulan qamariyah, sebagaimana halnya puasa
ayyamul biidh.
Dan kalau mau puasa berselang-seling
seperti puasa Nabi Daud alaihissalam juga boleh, malah akan lebih bagus lagi.
Tetapi semua teknis di atas bukanlah
aturan baku dalam mengqadha' puasa. Tidak mampu seperti itu juga tidak mengapa.
Yang penting dan paling utama adalah bagaimana agar jumlah hutang puasa bisa
tertutup hingga selesai.
Dan kalau mau memperbanyak nilai
pahala puasa, silahkan rajin-rajin mengerjakan ibadah puasa sunnah. Apalagi
kalau bisa lebih banyak bersedekah, tentu pahalanya akan kita nikmati sendiri
di akhirat.
Pesan saya, sebaiknya semua bisa
selesai selagi kita masih segar bugar, sehat wal afiat dan tentu saja sebelum
ajal datang menjemput. Sebab kalau terlanjur nikmat sehat ini dicabut satu per
satu, apalagi kalau sudah dipanggil Allah, sementara masih ada sisa hutang yang
belum terbayarkan, kita akan kerepotan sendiri nanti di hari perhitungan kelak.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
0 comments:
Post a Comment